Mohon tunggu...
KOMENTAR
Edukasi

Budaya Melahirkan di Pinggir Sungai

7 Januari 2012   00:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14 2817 0

Ketika Menteri Kesehatan masih dijabat oleh Siti Fadilah Supari, kita pernah mendengar adanya program “Selamatkan Papua” (Save Papua) yang dijalankan oleh Departmen Kesehatan. “Seluruh rakyat Papua dan Papua Barat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemeriksaan dokter, berobat, dan perawatan inap dan rawat jalan di kelas 3. Pemerintah pusat yang membayar seluruh biaya tersebut. Apabila ada yang menarik biaya, rakyat berhak melaporkannya ke polisi,” tegas ibu Menkes kala itu.

Untuk itu pelayanan Jamkesmas di Papua dan Papua Barat, tidak lagi membutuhkan pembuatan kartu Jamkesmas. Karena seluruh biaya kesehatan bagi masyarakat Papua dan Papua Barat dari pukesmas sampai rumah sakit dibayar oleh pemerintah pusat. Demikian pernyataan Siti Fadilah.

Mari kita komparasikan tekad dan angka-angka pencapaian di atas dengan pengalaman Dr. Antie Soleman yang sudah 25 tahun membantu orang Papua di daerah pedalaman, sebagaimana dipublikasikan The Jakarta Post hari ini.

Dokter wanita berusia 60 tahun ini hingga kini masih menemukan perempuan Papua menggunakan metode “tradisional” melahirkan tanpa bantuan.

Di wilayah Arfak misalnya, seorang ibu yang siap melahirkan akan pergi ke pondok dan berjuang sendiri untuk melahirkan. Dua minggu kemudian, dia akan muncul dengan bayinya atau tanpa bayi. Jika ia datang sendirian, itu berarti anaknya sudah meninggal dan sudah dikuburkan.

“Ibu dan kematian anak sangat tinggi di Papua,” ujar dr. Antie. http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/06/antie-soleman-fighting-papua0.html

Pengalaman dr. Antie di atas setidaknya menggambarkan bahwa orang-orang pedalaman Papua belum banyak mendapatkan pelayanan kesehatan secara memadai. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemda-pemda di sana, dan tentu saja di bawah bimbingan Pemerintah Pusat. Dokter dan tenaga medis di Jakarta mungkin saja berjubel dan bersaing memasang tarif praktik, sementara di pedalaman Papua, masih banyak ibu hamil yang harus berjuang sendirian untuk melahirkan seorang bayi dengan cara konvensional.

Mungkin ini terkait erat dengan persoalan budaya yang masih dianut oleh masyarakat setempat, namun dari aspek kesehatan tentu sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Aspek-aspek pelayanan dasar masyarakat Papua inilah yang barangkali patut dipertimbangkan menjadi  salah satu materi dalam ‘dialog Jakarta-Papua’ yang tengah diwacanakan saat ini.

Dari pada dialog itu terlalu bernuansa politis, lebih baik diarahkan untuk membenahi pelayanan-pelayanan dasar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, terutama bagaimana membenahi akses-akses ke fasilitas kesehatan di pusat-pusat populasi masyarakat asli Papua, yang selama ini masih terabaikan. Semoga para tokoh Papua yang memang peduli pada kemajuan daerahnya bisa mengubah mindsetnya, dari policy minded dan lebih fokus ke welfare orientation.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun