Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop Artikel Utama

Menyambut 60 tahun Konferensi Asia-Afrika, Masih adakah Semangat Anti Penjajahan?

31 Maret 2015   22:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:43 557 0
“Bebaskan jiwa Asia-Afrika dan tuan-tuan akan tuan-tuan akan memperoleh perdamaian, bukan perdamaian dengan paksaan pedang, tetapi perdamaian berdasarkan kemauan baik, Jiwa Asia-Afrika pada dasarnya adalah jiwa damai!” –Manifesto Bersama

Sesudah Perang Dunia ke II berakhir konfigurasi politik dunia ditandai oleh munculnya dua kekuatan raksasa dunia yang saling bertentangan, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua kekuatan raksasa itu masing-masing mempunyai sistem  politik  dan bentuk pemerintahan yang berbeda. Kedua kekuatan itu saling bertentangan dan berlomba-lomba menyusun dan mengembangkan kekuatannya baik secara politis maupun militer. Situasi pertentangan itu disebut dengan Perang Dingin.

Situasi Internasional yang terjadi kisaran tahun 1954-1955, dimana Amerika Serikat yang memiliki kepentingan ekonomi-politik di Asia membentuk SEATO (South-East Asian Treaty Organization, suatu persekutuan militer yang mengkonsolidasikan tiga negara di kawasan Asia, yaitu Pakistan, Muangthai dan Filipina. Sementara di kawasan Afrika telah ditandai juga dengan meningkatnya perjuangan kemerdekaan nasional di Aljazair, Tunisia, Maroko, Afrika.  Terjadinya gejolak beberapa negara di Asia dan Afrika tidak terlepas dari upaya perebutan pengaruh antara blok barat yang dipimpin Imperialisme Amerika Serikat (AS) dan blok timur pimpinan Uni Soviet di masa itu.

Atas dasar persatuan nasib yang sama lahirlah solidaritas Asia-Afrika yang kemudian terwujud melalui sebuah forum Konferensi Asia-Afrika yang dilaksanakan di Bandung pada tanggal 19-24 April 1955. KAA adalah forum konsolidasi pertama di dunia yang mempertemukan negara-negara terjajah dan baru merdeka, dengan prinsip dan semangat yang mulia, untuk “Membebaskan diri (negara-negara Asia dan Afrika) dari cengkraman kolonialisme dan melawan Neo-kolonialisme, membangun kedaulatan, menciptakan kesejahteraan dan memerangi kemiskinan, serta membangun Solidaritas dan kerjasama Internasional yang adil dan Setara”.

Dalam pidato pembukaan mengenai keadaan dunia, Presiden Soekarno mempertegas bahwa kolonialisme belum mati. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektual, penguasaan materiil yang nyata, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal ditengah-tengah rakyat. Ia merupakan musuh yang licin dan tabah, dan menyaru dengan berbagai cara. Tidak gampang ia mau melepaskan mangsanya. Dimana, bilamana, dan bagaimanapun ia muncul, kolonialisme adalah hal yang jahat, yang harus dilenyapkan dari muka bumi.

Pada pertemuan konferensi tersebut dihadiri oleh 29 negara dan 6 negara diantaranya berasal dari Afrika. KAA membahas beberapa persoalan yang dialami oleh negara-negara peserta. Beberapa permasalahan yang dibahas antara lain; 1) Usaha untuk meningkatkan kerjasama bidang ekonomi, sosial, budaya, dan masalah hak asasi manusia. 2) Hak menentukan nasib sendiri. 3) Melawan Rasialisme. 4) Kerjasama internasional. 5) Masalah pelucutan senjata. 6) Masalah rakyat terjajah di Afrika Utara. 7) Masalah Irian Barat. KAA kemudian melahirkan hasil kesepakatan berupa sepuluh asas, yang kemudian dikenal dengan Dasasila Bandung  sebagai acuan prinsipil dalam membangun hubungan kerjasama Internasional, khususnya kerjasama antarnegara dan kawasan di Asia dan Afrika.

Konferensi Asia-Afrika dan Perkembangannya

Dalam kurun waktu 10 tahun saja (1955-1965), ada 41 negara di Asia yang berhasil memerdekakan diri. Kemudian, antara 1966-1975, ada 24 negara yang merdeka. Selanjutnya, sejak 1976 hingga 1985, ada 13 negara di Asia dan Afrika yang menyatakan kemerdekaan. Sudah 60 tahun semangat Bandung 1955. Apakah semangat itu masih kuat atau sudah meredup? Hingga saat ini negara-negara kapitalisme monopoli, Amerika Serikat, masih mengalami krisis over produksi sehingga terus mengefisiensikan peranan seluruh instrumen ekonomi, budaya dan politiknya, untuk menebar pengaruh, menciptakan ketakutan dan ketergantungan, bahkan agresi dan perang.

Negara Asia-Afrika menjadi sasaran eksploitasi Kapitalisme Monopoli Amerika Serikat baik sumber daya alam maupun manusianya. Asia Afrika terus menjadi saranan pengerukan kekayaan alam dan terus didorong menyediakan buruh-buruh murah agar dapat menopang tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan milik kapitalisme. Juga, berkaitan dengan jumlah pendudukanya yang banyak (75% penduduk dunia), Asia Afrika menjadi pasar yang sangat potensial untuk menjual segala over produksi milik Amerika Serikat. Dan saat ini digalakkan, Negara Asia Afrika menjadi sasaran investasi utama bagi borjuasi-borjuasi internasional.

Terbentuknya lembaga-lembaga keuangan semacam bank dunia (World Bank), IMF, ADB, maupun lembaga kerjasama macam WTO dan lain sebagainya, tiada bukan selain untuk memperhebat dominasi, mempererat intervensi dan ketergantungan Negara-negara berkembang. Demikian juga dengan pembangunan dan pemanfaatan berbagai forum dan kerjasama Internasional, baik bilateral maupun multilateral tingkat regional maupun global seperti: G-7 (1976), G-2, G-8 (1998), G-20, G-33 (2003), ASEAN (sekarang telah semakin diintegrasikan dengan berbagai perkembangannya), East Asia Community, APEC, NAFTA, TPPA, PPP dan lain sebagainya. Dalam skema tersebut, tidak terkecuali lembaga persatuan terbesar dunia seperti PBB ataupun kerjasama keamanan seperti NATO tetap sebagai alat intervensi dan pemaksa bagi kapitalisme global Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun bagaimanapun jua, skema-skema tersebut tidak akan pernah mampu menutup mata rakyat, atas kenyataan penghisapan dan penindasannya (kapitalisme monopoli) baik dilapangan ekonomi, politik dan kebudayaan yang tidak kalah beringas dan kejamnya dengan bentuk penindasan di masa kolonial.

Dalam perkembangannya, semangat anti imperialisme-anti kolonialisme KAA 1955 setahap demi setahap mulai memudar dan berubah orientasi. Negara-negara Asia Afrika yang awalnya mempunyai pemerintahan yang menunjukkan kegigihannya melawan penjajahan, berangsur-angsur takluk dan berubah wajah menjadi rejim-rejim boneka Amerika Serika yang notabenenya sebagai pemenang perang dunia ke-2 dan menjadi kapitalisme no.1 di dunia hingga saat ini. Konsolidasi-konsolidasi KAA mengalami kemandekan bahkan berlahan suara-suara perlawanan terhadap imperialisme terkubur dan sekaligus adanya ketertundukan rejim-rejim Asia Afrika terhadap dominasinya. Hal ini dapat dinilai dalam pertemuan KAA yang baru dapat terselenggara lagi pada tahun 2005 di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan 50 tahun KAA. Dalam pertemuan KAA 2005 menghasilkan NAASP (New Asian-African Strategic Partnership, Kerjasama Strategis Asia-Afrika yang baru. Inti pertemuan KAA 2005 yakni lebih menekankan pada aspek kerjasama investasi, keuangan, perdagangan, energi, kesehatan, pertanian, pendidikan yang terintegrasi dengan kepentingan Neo-liberalisme dari kapitalisme monopoli Amerika Serikat.

Pemerintahan Jokowi memberi ruang kepada Amerika Serikat untuk mengintervensi KAA 2015

Sebagai tuan rumah penyelenggara peringatan 60 KAA yang dilaksanakan pada 19-23 April di Jakarta dan 24 April 2015 di Bandung. tentunya Pemerintah Indonesia berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi negara-negara peserta. Anggaran peringatan KAA 2015 menelan total biaya sekitar 200-an Milyar dan di kota Bandung telah disiapkan 4000 aparat yang terdiri dari Polisi dan TNI untuk mengamankan berjalannya KAA. Tidak tanggung-tanggung pula Jokowi telah menyiapkan 33 Sniper yang tersebar di kota Bandung dalam pengamanan KAA. Apakah dengan biaya begitu mahal dan pengamanan super ketat dari peringatan KAA ini akan memberikan dampak yang positif bagi rakyat Asia-Afrika terutama dalam aspek kesejahteraan?

Dengan melihat perkembangan saat ini dimana mayoritas negara-negara Asia-Afrika melalui pemerintahan “bonekanya” justru memberikan ruang bagi perusahaan internasional khususnya milik Amerika Serikat untuk terus melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam dan manusia. Hal ini menegaskan bahwa peringatan KAA hanyalah sebuah forum konsolidasi para rezim mayoritas boneka Amerika Serikat  di negara-negara Asia-Afrika  untuk menguatkan kerjasama penghisapan dan penindasan terhadap rakyat. Jokowi selaku Presiden Indonesia malah memberikan ruang bagi Amerika Serikat untuk mengintervensi KAA 2015 dengan salah satu agenda pembahasan pembahasan mengenai pembaharuan kerjasama antar negara Asia Afrika. Dalam hal ini akan diisi juga dengan pertemuan para korporasi internasional untuk membahas bisnis di wilayah Asia Afrika. Dan Jokowi akan berharap pada Negara-negara kapitalisme global melalui perusahan-perusahan besar yang hadir untuk bersedia berinvestasi tahun ini sebesar 401 Triliun Rupiah untuk mendanai infrastuktur serta akan mendorong nilai investasi yang akan digenjot untuk investasi di bidang pendidikan dan teknologi, yang artinya akan semakin dikomersilkan atau diliberalisasi.

Dari pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwa Peringatan KAA 2015 telah jauh melenceng dari latar belakang terbentuknya solidaritas negara-negara Asia Afrika yang anti imperialisme dan kolonialisme. KAA telah menjadi forum untuk membahas skema investasi dan pembangunan yang akan dijalankan kapitalisme monopoli Amerika Serikat secara masif di negara-negara Asia Afrika. Maka kemerdekaan, kemandirian dan kedaulatan Rakyat Asia Afrika hanyalah sekedar slogan belaka dari peringatan KAA 2015. Tetapi momentum  adalah momentum yang tepat untuk menyerukan solidaritas internasional dan persatuan rakyat, menuju gerakan pembebasan nasional melawan dominasi kapitalisme monopoli dan pemerintahan-pemerintahan boneka di berbagai negeri.

Sumber rujukan:

Abdulgani, Roeslan. 2011. The Bandung Connection: Konperensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Jakarta: Kementerian Luar Negeri Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun