Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Sebuah Slogan Menuju Pemilu

7 April 2014   15:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:58 252 0
Empat puluh delapan jam menjelang hari H pemilihan umum 9 April 2014, tampak para simpatisan beberapa partai politik mencopot poster, banner dan baliho-baliho besar di semua penjuru kota. Pemilu lima tahunan ini seakan menyedot banyak perhatian publik dengan aksi-aksi para caleg dalam berkampanye. Namun, dibalik euforia kampanye tersebut ternyata ironi dengan semakin beratnya tugas Bawaslu dan aparat keamanan dalam mengiringi jalannya pemilu.

Kampanye yang kebablasan?
Para caleg peserta pemilu tahun ini berasal dari latar belakang politik dan profesi yang berbeda. Dengan berbagai kasus yang belakangan ini menjerat beberapa aktor politik yang menyeret nama partai, tentulah elektabilitas para caleg mulai dipertanyakan. Apakah mereka mampu mengemban dan mewujudkan aspirasi rakyat atau tidak, hanya kita-lah para pemilih yang harus cerdas dalam menentukan. Jika mengikuti reportase di lapangan, pasti akan miris sekali jika kita melihat banyaknya pelanggaran lalin saat konvoi di jalan. Para simpatisan partai politik yang didominasi oleh kalangan muda dan anak-anak dibawah umur, sering tidak berlaku tertib saat konvoi di jalan-jalan umum. Selain tidak mengenakan helm, saat akan mengendarai sepeda motor lubang knalpot mereka diperbesar sehingga suaranya memekakkan telinga orang-orang yang ada di sekitarnya. Coba ditengok, kalangan muda  sering tidak mempunyai alasan yang objektif jika ditanya alasan apa yang mendasari mereka ikut serta dalam kampanye.
Maraknya aksi money politic, bagi-bagi kaos dan lain sebagainya dari para caleg yang bersifat materi menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk menjadi simpatisan baru dan dadakan dari sebuah parpol. Mereka cenderung hanya “iya-iya” saja dan bahkan bersuka rela jika suaranya “dibeli” oleh para caleg untuk memenangkan pemilu. Hal tersebut nampak pada saat kampanye akbar dibeberapa kota besar se-Indonesia, dengan menampilkan sejumlah artis ibukota dan penyayi dangdut yang erotis. Bukankah esensi dari sebuah kampanye hanyalah untuk mengenalkan partai politik, para caleg dan visi misinya jika (kelak) menjabat nanti?

Terima Uangnya, Jangan Pilih Orangnya!!
Adalah sebuah slogan sederhana dari spanduk yang saya jumpai disepanjang Jl. Jogja-Wonosari belakang ini. Entah alasan apa slogan ini dibuat, dari kalimatnya sudah mencerminkan adanya upaya minimalisasi money politic atau dengan kata lain menyadarkan para masyarakat untuk tidak menjual suaranya pada pemilu nanti. Slogan tersebut berisi nasihat kalaupun ada caleg yang membagi-bagikan uang kepada masyarakat, kita dihimbau untuk menerima uangnya saja tanpa ada maksud meyatukan suara untuk memilih caleg yang bersangkutan. Menyedihkan sekali jika kita mengetahui bahwa money politic seakan sudah mengakar menjadi budaya setiap menjelang pemilu. Para caleg berlomba-lomba mengeluarkan materi yang dipunyai, berharap dia bisa meraup suara terbanyak dari rakyat. Mereka seakan tidak mempunyai basis yang kuat untuk “nyaleg”, dan merasa belum mempunyai kepercayaan diri yang cukup untuk memenangkan suara dalam pemilu. Jika masih menjadi caleg saja mereka terbiasa money politic, bagaimana bisa kita percaya bahwa mereka tidak akan melakukan korupsi saat sudah menjabat? Hanya pemilih yang cerdas yang bisa menilai elektabilitas masing-masing partai politik dan calon anggota legislatif yang kelak akan mengemban semua aspirasi dari rakyat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun