Kompasiana sebagai media sosial sekaligus wadah pewarta warga tidak dipungkiri telah menghasilkan banyak penulis berbakat dengan genre-nya masing-masing. Banyak dari mereka yang selalu hadir memberikan inspirasi kepada para pembaca lewat opini, reportase, maupun karya-karya fiksi. Tidak kalah pentingnya juga adalah artikel-artikel mereka bisa dijadikan acuan dalam teknis kepenulisan untuk menghasilkan karya yang bermutu. Dan kita semua sangatlah beruntung memiliki mereka sebagai sahabat di rumah sehat ini, dan itu layak untuk kita apresiasi.
Ada yang mengenal guru Fisika sekaligus pecinta sejarah yang rajin menulis di Kompasiana? Dia adalah Kompasianer Teguh Hariawan. Bapak dari 2 orang anak yang sudah beranjak remaja ini memulai “karir” kepenulisannya di Kompasiana hampir tepat 1 tahun yang lalu itu masih tergolong baru namun Teguh Hariawan termasuk salah satu jawara untuk urusan HL. Artikel Teguh Hariawan setiap minggu selalu wira-wiri di headline Kompasiana. “Ya....Teguh lagi...Teguh lagi yang nangkring di HL”. Tapi rasanya tidak ada pembaca yang bosan. Terbukti ketika Teguh Hariawan absen menulis selama 2 minggu karena ada kegiatan sekolah yang tidak bisa ditinggalkan, banyak yang kirim pesan via inbox menanyakan kabar Teguh Hariawan. Mungkin rindu reportase Teguh Hariawan dan sekaligus bentuk perhatian sebagai sesama keluarga Kompasiana.
Berbicara mengenai karya-karya Teguh Hariawan, tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa melalui reportasenya, pembaca bukan sekedar diajak ‘jalan-jalan’ tetapi disuguhi ilmu pengetahuan. Pembaca diajak sama-sama belajar tentang sejarah Indonesia yang terkadang luput dari buku-buku sejarah sekolah. Silakan simak artikel Goa Lowo: Abris Sous Roche nan Eksotis di Ponorogo. Ketertarikan Pak Teguh, demikian saya biasa memanggil Teguh Hariawan, pada sejarah Majapahit membuat iya banyak mengeksplore sisa-sisa kejayaan Majapahit lalu dibaginya pembaca Kompasiana lewat reportase yang lengkap dan detail.
By the way, ada yang tahu jika Jember memiliki pantai berpasir putih yang sangat indah, yang konon termasuk dalam 10 pantai indah yang ada di dunia? Rasanya tidak banyak dari kita yang kenal, atau bahkan pernah mendengar obyek wisata Tanjung Papuma. Papuma, nama yang sedikit aneh ditelinga kita bukan? Namun Pak Teguh Hariawan telah menghadiahkan informasinya secara lengkap kepada kita dalam artikel ini.
Pria berusia 45 tahun yang saat ini aktif sebagai pengajar sekaligus pemimpin di sebuah sekolah menengah atas di kawasan wisata Tretes Prigen itu memang hobi menulis. Mengaku sudah aktif menulis sejak duduk di bangku SMP. Kala itu Teguh Hariawan aktif mengisi majalah “Siswa” terbitanTaman Siswa Yogyakarta. Jadi jangan heran jika artikel Teguh Hariawan yang dipublish di Kompasiana enak dibaca, runut dan begitu detail.
Jika rajin mengikuti perjalanan Teguh Hariawan di Kompasiana ini, artikel-artikelnya memang punya kelas. Kekuatan artikel Teguh Hariawan, baik reportase maupun opini, tidak hanya pada deskripsi semata. Bukan sekedar kepiawaian dalam merangkai kata-kata. Namun ada yang kekuatan lain yaitu foto yang berkualitas dan bercerita. Hampir di setiap artikel selalu Teguh Hariawan sisipkan foto-foto pendukung, hasil jepretan Canon 1000D yang setia menemani. Boleh dibilang reportase Teguh Hariawan sempurna dalam dunia jurnalisme warga ini.
Nama Teguh Hariawan memang identik dengan reportase jalan-jalan. Namun sembari memberikan reportase wisata Teguh Hariawan tetap kritis. Seperti yang pernah kita baca mengenai situs-situs yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan terancam punah seperti dalam artikel Relief Cerita Panji... . Atau cerita korban Lapindo dalam artikel Pesan Pilu dari Korban Tragedi Lumpur Lapindo.
Selain hobi musik, jalan-jalan dan naik gunung, ternyata Teguh Hariawan ini suka sekali dengan dunia kuliner. Jadi tidak heran disamping menghasilkan reportase wisata dan sejarah, Teguh Hariawan juga tidak lupa memberikan laporan tentang kekayaan kuliner khususnya yang ada di Jawa Timur. Jadi jika suatu saat ada pembaca pas singgah di kota Bangil Kab. Pasuruan misalnya, tidak usah bingung lagi cari makanan apa yang khas di sana. Sudah tentu ada yang namanya nasi Punel seperti yang pernah ia sajikan di Kompasiana.
Selama satu tahun ini, total ada 158 artikel yang sudah dihasilkan. Artinya rata-rata setiap 2 hari 7 jam, Teguh Hariawan menghasilkan 1 karya untuk Kompasiana. Tanpa pernah copas dan “copas”. Keren bukan? Plus raihan prestasi 3 kali artikel Teguh Hariawan masuk Kompas Freez. Lalu 1 kali mendapat hadiah utama lomba menulis dan 1 kali juara hiburan. Sebuah prestasi dan pencapaian tersendiri yang patut diapresiasi. Konsistensinya dalam menulis pun tak pernah surut. Seperti halnya ketika Kompasiana versi mobile berubah pada bulan November tahun lalu dan berujung pada menurunnya jumlah pengunjung namun Teguh Hariawan tetap eksis berbagi.
Apakah berlebihan jika menjadikan Teguh Hariawan sebagai salah satu sosok inspiratif Kompasiana? Rasa tidak, dari semua artikel Teguh Hariawan pembaca bisa banyak belajar. Bahkan tergugah lebih mencintai Indonesia. Baik itu Alam, peninggalan peradaban masa lampau, dan kebudayaannya. Banyak pembaca yang akhirnya kepincut ingin bisa melihat sendiri obyek wisata atau peninggalan sejarah yang kita miliki bersama setelah membaca karya Teguh Hariawan. Bahkan kita pun seperti dibukakan mata dan menjadi sadar bahwa betapa nenek moyang dan budaya asli Indonesia itu sungguh luar biasa hebat.
Dari Teguh Hariawan kita bisa belajar banyak dalam hal tulis menulis. Bagaimana membuat reportase yang baik. Reportase yang detail dan disertai foto-foto yang bukan pemanis artikel semata. Juga belajar bagaimana melakukan pendekatan pada narasumber sehingga bisa menghasilkan reportase yang kredibel. Kita pun bisa belajar dari sikapnya yang santun pada siapa saja. Bagaimana berinteraksi-sharing and connecting secara positif walau hanya di dunia maya, dunia Kompasiana.
Ketika ditanya cita-cita dan harapan apa yang ingin diraih, ternyata bukan jawaban klise “keliling Indonesia”. Sebuah cita-cita yang biasa dimiliki oleh pecinta travelling. Cita-cita Teguh Hariawan tidak jauh-jauh dari dunia yang selama ini ia dedikasikan, dunia pendidikan tentunya. Teguh Hariwan hanya ingin mewujudkan sekolah murah tapi berkualitas. Ia mengakui bahwa memang sudah ada program BOS dan BSM tapi itu belum mengcover semua kebutuhan.
Satu pertanyaan terakhir, apakah ada pesan atau nasehat untuk penulis lain? Dengan rendah hati Teguh Hariawan menjawab,
“Wah nggak ada deh nasehat mas... saya juga belajar kok bagaimana nulis yg baik....”
salam