Tulisan ini pada dasarnya merupakan respon dari tulisan yang tercantum dalam
http://www.kandhani.net/2013/11/surat-terbuka-seorang-buruh-tentang.html yang
yah, saya pahami adalah buruh (atau pura-pura menjadi buruh) yang suka merendahkan dirinya sendiri (dengan
favorite tag line menganggap dirinya sendiri bodoh,
pekok, dan kalimat-kalimat yang menunjukkan kelainan kerendahan diri lainnya). Sebenarnyapun saya setuju beberapa poin dalam tulisan itu, tapi rasanya ngga akan seru kalau tulisan ini hanya meng-
iya-kan tulisan tersebut. Tapi jangan khawatir, kalau para pembaca malas membaca tulisan tersebut d iatas, maka pembaca akan tetap bisa memahami tulisan sederhana ini. Perkenalkan saya
Mr. Pelari Marathon, saya tidak pernah menganggap saya kelas proletarian (buruh), kelas menengah kebawah, kelas menengah
sedeng, kelas menengah atas, kelas atas ataupun kelas atas
banget. Kalau sampeyan bilang saya adalah kelas menengah
ngehek, ya
monggo kulo persilahken, kalau sampeyan nuduh saya orang kelas atas sombong yang saya hanya bisa berdoa semoga itu jadi kenyataan (bagian sombongnya
enggak lho), kalau sampeyan
nganggep saya kelas bawah yang bodoh, sok tahu dan
ngga ngerti apa-apa ya saya terima dengan senang hati juga
Sanikem, si penulis yang
ngakunya bernama seperti itu, mengaku sebagai seorang buruh menyindir soal menutup jalan karena acara Jakarta Marathon. Beliau membandingkannya dengan penutupan jalan yang dilakukan para buruh yang berdemonstrasi. Maaf ya mas/mbak Sanikem yang terhormat, tapi jujur saja, yang namanya manusia ituÂ
human nature nya (alaminya) lebih rela berkorban untuk hiburan dari pada hal lainnya. Lihat saja, berapa juta manusia yang rela mengeluarkan uang lebih untuk wisata, beli telepon genggam, beli motor CBR yang dipakai buruh-buruh berdemo dari pada untuk amal atau disumbang ke Panti Asuhan, ya
tho? Kalau belanja baju menjelang lebaran gila-gilaan, tapi begitu mau amal Rp. 20.000 saja rasanya berat sekali. Beli HP harga 2 juta kuat, tapi saat mau kurban kambing Rp. 1.500.000 rasanya seperti mau mati. Mau kelas bawah
kek sampai kelas atas semuanya ya sama saja, lebih suka menghambur-hamburkan untuk hiburan.
Mbandingin demonstrasi kok dengan Jakarta Marathon ya jauh toh mas/mbak Sanikem. Yang satu bikin macet untuk kepentingan kelompok tertentu, yang satu bikin macet karena hiburan untuk semua kalangan (situ
aja yang mengidap
inferiority complex sehingga merasa tidak pantas ikut Jakarta Marathon, padahal anak kampung pinggir Ciliwung tetangga saya juga banyak yang ikut dengan modal sepatu 40 ribuan sepasang), ya jauh
tho mas/mbak. Orang lebih rela jalan ditutup untuk acara hiburan. Coba situ
rasain aja, saat jalan kampung
sampeyan ditutup karena buat acara pasar kaget malam. Pasti tingkat kekesalannya lebih rendah dari pada kalau jalanan ditutup untuk kawinan satu orang
doang, ya kan? Situ tidak suka? Ya mau apa,
toh situ juga melakukan hal yang sama, begitupun halnya dengan milyaran manusia lain di bumi (walaupun mungkin tidak semuanya) yang lebih suka berkorban demi hiburan. Selanjutnya mas/mbak Sanikem ini juga menyentil soal hidup layak. Maaf sebelumnya, tapi kalau memang tidak mampu ya sudah tidak perlu
belagu sok kaya. Kalau miskin,
ngga kuat beli mobil atau motor baru, ya belilah motor bekas yang irit, kan bisa?
Ngaku miskin, bodoh, teraniaya tapi kredit motor 2 juta per bulan selama 2 tahun kuat, ya bagaimana orang mau simpati? Maunya dianggap orang teraniaya, tapi beli telepon genggam Blackberry atau Iphone 3 - 4 atau Android Nexus/Samsung... bagaimana orang mau memahami perjuangan sampeyan?
Mbok kalau berjuang
tuh yang sinkron dengan gaya hidup gitu lho supaya orang-orang bisa bersimpati Mas/Mbak Sanikem yang terhormat, definisi "Layak" itu subjektif mas/mbak Sanikem. Bagi saya yang pas-pasan ini, telepon genggam Nokia Asha 500 ribuan sudah lebih dari cukup (Kalau
ndak dibayari kantor saya untuk wajib beli hp sekarang ini, saya juga
ndak akan beli hp saya yang sekarang ini). Bagi saya yang "hidup tidak layak" ini ini,
Mio sporty lawas tahun 2008 yang harganya 5,5 juta sudah lebih dari cukup untuk pergi mencari nafkah, ndak perlu berlagak seperti orang kaya naik motor 150 cc ke atas. Maaf mas/Sanikem, hitungan Komponen Hidup Layak Buruh (KHL-Buruh) 2014 yang anda tuntut ke pemerintah itu tidak masuk akal. Sampeyan kok tega-teganya memasukkan TV 19 inch per tiga tahun? Lha wong saya punya TV tabung kotak sudah 6 tahun lebih saja ngga rusak-rusak kok, situ mau nonton TV apa
nimbun TV? Situ juga minta dompet kulit 1 biji per tahun, lha wong dompet saya sudah 8 tahun sejak SMA sampai sekarang ngga pernah ganti saja tidak apa-apa kok, hayo ngaku saja, situ mau jualan dompet kan?! Belum lagi Jam tangan, jam dinding, payung dan topi yang masing-masing satu buah per tahun.... situ mau bikin toko kelontong ya? Untuk lebih jelas hitung-hitungan KHL ala Buruh yang teraniaya ini, silahkan intip di
http://forum.detik.com/-t824552.html untuk lebih jelasnya. Yang pasti, bila semua poin itu dijadikan acuan hidup layak di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa hidup saya masih
sangat jauh dari kata layak, saya bilang
sangat lho yah, bukan hanya jauh. Sentilan Sanikem tentang demonstrasi juga perlu saya kritisi. Kalau demo 1-2 kali yah saya masih bisa saya maklumi, tapi kalau kita ikuti berita mulai dari 2 minggu terakhir ini (Oktober - November), demonstrasi buruh yang hampir terjadi setiap hari. Saya jadi kepikiran bagaimana perusahaan mau tidak bangkrut kalau kerja pegawainya hanya demo, demo dan demo? Mungkin mas/mbak Sanikem dan buruh lainnya tidak tahu kalau yang namanya pabrik tidak beroperasi satu hari saja kerugiannya sudah bisa milyaran rupiah, apalagi kalau berhari-hari, ya bisa gulung tikar itu tempatmu bekerja. Tapi situ
ndak perduli, situ hanya dengar propaganda "majikan" KSPI tentang gaji besar, persis seperti tikus yang terjebak lem tikus gara-gara iming-iming makanan: Kepingin makan tapi malah
semaput, kepingin gaji besar malah kena PHK. Situ juga
ndak mau tahu toh pada semester pertama 2013 (Januari - Juni), 44 ribu rekan-rekan buruh sampeyan sudah di PHK karena perusahaan tempat mereka bernaung mengalami kerugian karena tingginya UMP. Saya tahu situ mikirnya semua orang yang punya pabrik pasti kaya: ya memang kaya, tapi kalau pengeluaran lebih besar dari pemasukan ya tetap saja ujung-ujungnya gulung tikar karena rugi. Mas/mbak Sanikem juga "mungkin" lupa bahwa yang punya hak bukan hanya sampeyan para buruh lho, pengusaha juga punya hak. Kalo sampeyan punya hak
nuntut gaji besar (menurut saya 3,7 juta itu besar lho), maka pengusaha (investor, atau gampangnya si
bos yang memberi sampeyan pekerjaan) juga punya hak untuk pindah pabrik kemanapun yang dia mau. Kalau si pengusaha berpendapat kondisi di Jabotabek sudah sudah tidak kondusif (buruh minta gaji besar, sering bolos demonstrasi, kinerja loyo, infrastruktur buruk dan lain-lain), bisa saja si pengusaha memindahkan pabriknya ke Jawa tengah, Jawa timur atau provinsi-provinsi lain di luar Jawa. Atau bahkan kalau memang kondisi se-Indonesia sudah tidak kondusif semua, boleh-boleh saja si pengusaha
kabur ke luar negeri dengan kondisi yang lebih kondusif seperti Malaysia, Thailand atau Vietnam. Jangan lupa mas/mbak Sanikem, sekarang zamannya sudah terbuka, justru negara lain rebutan investor dari negara kita. Jadi maaf ya mas/mbak Sanikem, yang punya hak bukan hanya sampeyan, jangan mentang-mentang situ
wong cilik lantas yang orang kaya (yang memberi sampeyan pekerjaan) jadi tidak punya hak. Yang terhormat mas/mbak Sanikem, waktu sampeyan menutup jalan, yang protes bukan cuma kelas menengah
ngehe dan orang kaya yang penghasilannya lebih besar dari sampeyan lho. Apakah mas/mbak Sanikem lupa bahwa ada ribuan kendaraan umum, mulai dari Metromini, angkot hingga Transjakarta yang juga terhalangi saat sampeyan memblokir jalan? Sampeyan tahu manusia-manusia yang mengisi kendaraan-kendaraan umum itu banyak yang penghasilannya jauh dibawah sampeyan? Sampeyan tahu kan satu bus mini (Metromini/kopaja) bisa diisi berapa puluh manusia? Nah, apa sampeyan berpikir mereka juga tidak misuh-misuh saat kendaraan umum yang mereka tumpangi harus berhenti karena demo sampeyan? Mereka yang gajinya lebih kecil dari sampeyan, kalau sampai mereka terlambat kerja dengan ancaman pemotongan gaji, skorsing atau bahkan pecat, apa sampeyan juga mikir sampai situ? Kecuali kalau sampeyan memblokir jalan khusus mobil dan motor, sedangkan kendaraan umum tetap boleh lewat, maka baru situ boleh
nuduh kelas menengah yang misuh-misuh, tapi situ
ngga pernah kan?
Wong mobil Jenazah & Ambulan saja tetap anda larang lewat kok. Belum lagi kalau sampeyan demonstrasi suka memaksa buruh yang rajin bekerja untuk turut serta. Melakukan
sweeping ke pabrik-pabrik, seperti preman saja. Untuk informasi mas/mbak Sanikem serta para buruh yang terhormat, yang namanya manusia itu berbeda-beda, termasuk gaji. Ada buruh yang kerja di perusahaan besar sehingga memang gajinya diatas sampeyan sehingga merasa
ndak perlu ikut demonstrasi lagi. Ada juga buruh yang memang lebih suka bekerja ketimbang demonstrasi dengan gaji yang sama dengan sampeyan. Sampeyan ngga perlu maksa orang lain mengikuti kemauan sampeyan atau majikan KSPI kalian itu, orang ingin bekerja kok dilarang,
wong edyan! Satu lagi, saya
emoh menyebut mereka yang sweeping itu
OKNUM, ratusan orang kok disebut oknum. Maaf lho mas/mbak Sanikem, situ menyebut "
kelas menengah ngehe" tapi situ sendiri mengikuti gaya hidup kelas menengah. Situ menulis kalau kelas menengah
belagu gaya-gayaan pakai kendaraan/gadget mahal lebih dari kemampuannya, lah tapi kok sampeyean memakai alasan tersebut untuk membenarkan sifat konsumtif kalian untuk kredit barang mahal diluar kemampuan kalian, ya ndak salah kalau saya bilang sampeyan adalah "
kaum proletarian ngehe" dong? Artinya kalian para buruh
podo wae dengan kelas menengah yang kalian benci itu:
"Saya ngehe, anda ngehe, kita semua ngehe" Maaf sekali mas/mbak Sanikem dan para buruh yang terhormat bila ada yang tersinggung karena tulisan ini. Sekali lagi, saya persilahkan para hadirin
kelas proletarian ngehe untuk mencaci maki saya karena tulisan ini. Seperti yang sudah saya sebutkan di awal, saya
ndak keberatan dihujat, sudah biasa kok seumur hidup saya. Sebagai catatan, Saya, Mr. Pelari Marathon, penghasilan saya lebih kecil dari sampeyan yang nuntut 3,7 juta perbulan, tapi saya
ngga pernah menganggap diri saya kelas menengah, kelas buruh atau kelas atas. Saya juga
ndak selera demonstrasi bukan karena ndak berani seperti yang sampeyan tuduh, tapi karena saya merasa cukup dengan gaji sekian. Saya juga
ndak merasa berkewajiban untuk beli motor baru, beli gadget baru tiap tahun, beli baju di department store setiap bulan, beli jam tangan dan jam dinding tiap tahun (wong jam dinding saya sudah 23 tahun lebih masih jalan kok), beli TV 19 inch tiap 3 tahun, mesin cuci setiap 3 tahun dan lain-lain. Alhamdulillah sejauh ini cukup untuk hidup di kota Jakarta yang keras ini. Kadang saya juga nyambi jualan baju online untuk nambah-nambah uang, lumayanlah untuk bayar premi asuransi hari tua saya. Cukuplah sekian tulisan saya kali ini, semoga para
kelas proletarian ngehe dan
kelas menengah ngehe bisa memahami maksud tulisan saya ini terlepas dari gaya bahasa yang, maaf sekali, agak blak-blakan ini. Mohon dimaafkan juga bila ada salah tulis atau hal-hal yang terlewat, saya hanya
Homo sapiens biasa yang tidak lepas dari kesalahan Salam
Mr. Pelari Marathon. Sumber:
http://www.dagelanwayang.com/2013/11/kaum-buruh-ngehe-dan-kelas-menengah.html
KEMBALI KE ARTIKEL