Dulu, jaman saya SMU, saya punya gank, beranggotakan 5 cewek. Kami berteman sejak kelas 1 SMU. Tapi yang eksis sampe lulus hanya tinggaal 3 orang. saya, Nita, dan Tity. Terutama dengan Tity saya sangat dekat. Dialah yang saya anggap sebagai sahabat. Saya bersahabat dengan Tity sedemikian eratnya. Tapi tak berarti tidak pernah ada konflik diantara kami. saya hitung, Selama bersahabat dengan dia, saya berkonflik 2 kali, yang terakhir sampai membuat saya memutuskan untuk tidak lagi bersahabat dengan dia. Jujur saja, saya yang memutuskan hubungan persahabatan itu, tapi bukan tanpa alasan. Apapun alasan itu, keputusannya adalah saya tidak lagi bersahabat dengan dia.
Menyesal? Kalo ditanya sekarang saya tidak tahu jawabannya. Karena saya diposisikan harus memilih antara persahabatan saya, dengan pilihan yang lain. Dan inilah pilihan yang buat saya amat sangat sulit. 16 tahun bersama bukan waktu yang sebentar. Meski sering saya masih tak mengerti pilihan-pilihan hidup mantan sahabat saya itu. Tapi saya berpikir, saya tetap mendapatkan kehidupan yang normal, meski tanpa seorang sahabat. Kangen hanya sesekali, karena bagi saya, hanya dengan dia saya tidak perlu menceritakan bagaimana saya. Dia sudah hapal kelakuan saya. Akan berbeda bila saya berkenalan dengan teman baru. Pastinya ada fase saling menyelami kepribadian satu sama lain.
Sahabat bukan segala-galanya, tapi juga bukan berarti kita tak butuh sahabat. Persahabatan yang sehat, saling bisa menjaga diri, adalah persahabatan yang ideal. Tapi seringnya kita kebablasan, merasa kita sudah sangat mengenal sahabat,, kita menginginkan sahabat menuruti setiap saran kita, yang kita anggap positif. Padahal sahabat juga manusia utuh, yang mereka punya pemikiran sendiri.
Sahabat bukan melulu teman sekolah. Ada kalanya pasangan hidup menjadi sahabat yang baik, meskipun mungkin tak menyenangkan seperti kalau kita bersahabat dengan teman sendiri. Saat ini saya tak bersahabat. Kalo teman hidup bagi saya ya teman. Yang tidak semua hal bisa kita bagi dengannya.