Pengalaman-kesadaran melulu milik manusia. Dengan rasionalitas, manusia mampu menangkap makna di balik setiap pengalaman hidupnya. Rasionalitas meniscayakan refleksi dan evaluasi diri. Atau dengan kata lain, rasionalitas tidak lain adalah instrumen utama aktivitas refleksi dan evaluasi diri. Refleksi dan evaluasi diri pada akhirnya menyadarkan kita akan setiap kesalahan dan kekeliruan cara berpikir masa lalu.
Bahkan, substansi sejarah suatu bangsa pun tidak lain adalah cara berpikir manusianya. Perubahan sosial, politik dan kultural suatu bangsa merupakan produk cara berpikir manusianya. Perbedaan cara berpikir orang Abad Pertengahan  dengan Abad Modern kemudian memproduksi fashion, arsitektur dan tendensi politik yang berbeda pula. Kemajuan peradaban suatu bangsa sangat ditentukan oleh cara berpikir manusia-manusianya. Singkat kata, cara berpikir adalah sumber sejarah itu sendiri, baik sejarah personal maupun komunal.
Kristianitas pun pernah menampilkan suatu kisah hitam tentang kekeliruan cara berpikir. Banyak orang-orang cerdas di Abad Pertengahan yang kepalanya dipenggal, lantaran mendeklarasikan cara berpikir yang bertentangan dengan Gereja. Jauh setelah itu, Gereja baru menyadari bahwa cara berpikir orang-orang tersebut malah yang terbukti benar secara ilmiah. Gereja kemudian mengakui kekeliruannya dan bertobat.
Kekeliruan cara berpikir terkadang baru disadari saat direfleksi. Keliru adalah pengalaman yang sangat manusiawi. Semua orang bisa (pernah) keliru. Tetapi kadang-kadang, demi kepentingan tertentu, beberapa orang sengaja mempropaganda cara berpikir yang keliru. Dalam hal ini pun, kita semua diajak untuk memaafkan. Memaafkan itu identik dengan mencintai. Memaafkan tak harus beralasan. Hal ini sulit memang! Tetapi, kalian pasti pernah melihat atau mendengarkan kisah memaafkan yang tanpa syarat.
Oleh: Venan Jalang