Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

(MBA) Dia Itu...

8 Agustus 2012   21:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:04 454 6
Aku masih terus menujukan pandangan ke puncak berselimut bening di selatan sana. Tidak hanya sampai di situ, tapi ke suatu tempat di balik gunung beribu-ribu kilometer jaraknya. Sebuah rasa yang sering menyapaku tengah betah bertamu. Kicauan burung di sepagi ini membuat semuanya sempurna. Sempurna untuk menikmati gemuruhnya di dada. Benar, aku hanya bisa mencoba menikmatinya. Kucampurkan dengan hangatnya sinar mentari yang menyapaku walau harus saling bunuh dengan dinginnya angin awal musim gugur.

Berbeda memang dengan pagi yang yang biasa ku lalui di Desa. Bau tanah yang ku pijak setelah semalaman diguyur hujan.hamparan Strawberry yang ku tanam sendiri. Suara lembut Bunda yang membangunkanku dengan lantunan Ayat Suci. Dan bunga anggrek yang selalu ku temukan di depan pintu pondok sepulang berlari pagi.Perkelanaan memoriku berhenti di situ. Rasa yang sedari tadi menggelitik meminta ruang, kini berhamburan memenuhi hati. Mengapa harus dia yang melakukan itu? Dan mengapa harus sekarang, disaat aku berada jauh, baru ku tahu semuanya?
" Dia masih setia melakukannya, Dhenok." Lapor Bunda saat kami mengobrol santai melalui sambungan internasional.
" Dia akan mengendap-endap diantara rimbun strawberrymu, dan meletakkannya di tempat dan posisi yang sama. Tepat dibagian hidung." Lanjut Bunda. Keset rumah kami memang aku yang membuatnya. Aku menggambarkan wajah yang sedang tersenyum di atasnya.
" Setelah itu dia akan mematung ke arah kamu biasa datang, dan kemudian memandang ke arah kamarmu, seakan meyakinkan dirinya bahwa kamu ada di situ, dan akan keluar dengan senyuman melihat pot anggrek itu." AKu merasakan intonasi yang berbeda dari suara Bunda.
" Bunda kasihan melihatnya, Dhenok!" Suara Bunda menjadi sedikit parau. Aku hanya bisa menarik nafas panjang, dan diam. Begitulah. Aku tak pernah bisa menerjemahkan rasa yang berkecamuk di hati saat mendengar cerita Bunda. Sesaat hanya suara tarikan nafas kami berdua yang terdengar.

"Bagaimana kabar abang dan istrinya, Bunda?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
" Mereka baik-baik saja." jawab Bunda . dan mulailah ia bercerita tentang abangku yang lama pergi. Terdengar jelas nada bahagia yang ia rasakan . Tawa renyahnya sesekali menyelingi cerita tentang iparku. Dari cerita Bunda, aku tak perlu merasa khawatir tentang beliau. Ada iparku, Mbak Asih yang merawatnya. Begitupun dengan kebun strawberry ku, dia menyempatkan diri di sela-sela tugasnya sebagai SekDes untuk mengambil alih pekerjaanku. Dan Kang Inin masih sesekali datang untuk membantu, sekedar menyiangi rumput liar atau mengatasi hama yang sering datang ,karena aku tak pernah memakai anti hama kimia. Begitupun dengan bunga-bunga anggrekku. Tak perlu aku mengkhawatirkannya. Bunda, dan Mbak asih begitu telaten merawat mereka. Dan Mba Asih pula yang mencetuskan ide untuk membuat taman anggrek di sebelah timur pondok.
Benar, aku memang tak harus punya rasa cemas yang berlebih untuk mereka. tapi aku selalu merasakan yang aneh saat memikirkan si pengirim itu. Aku tersenyum sendiri, kemudian diam terpaku, setelahnya jantungku akan berdenyut lebih cepat. Rasa ini asing sekali.Tak jarang aku merinding dan kemudian mual. Ini semua membuat otakku tak mau diajak melahap buku-buku tebal dan kertas-kertas yang setiap malam berserakan di atas meja belajarku. Aku memang tidak sebodoh itu. Aku tahu nama dari ini. Tapi sekali lagi mengapa harus dia dan kenapa sekarang?

* ini sambungan yang ini yaaaa.... http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/05/08/misteri-bunga-anggrek/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun