Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Dibalik Penyelenggaraan Deklarasi Capres - Cawapres Poros PDI-P

20 Mei 2014   18:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:19 87 0
Penyelenggaraan deklarasi calon presiden dari PDI-P, Joko Widodo pada 14 Maret 2014 lalu dan deklarasi calon pendamping Jokowi pada pilpres mendatang yang dilakukan pada Senin, 19 Mei 2014 kemarin dinilai cacat hukum. Hal itu terkait lokasi tempat penyelenggaraan kedua acara tersebut yang berlokasi didua bangunan cagar budaya.

Menurut beberapa pihak, penggunaan bangunan cagar budaya untuk kegiatan politik dinilai telah melanggar UU no 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam UU no 11 tahun 2010 memang jelas mengatur tentang pengamanan bangunan cagar budaya yang harus memperhatikan penggunaannya untuk kepentingan sosial, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, agama, kebudayaan, dan atau pariwisata (Pasal 64 UU No. 11 tahun 2010). Dan pasal 85 mengatur pemerintah, pemerintah daerah dan setiap orang boleh memanfaatkan bangunan cagar budaya untuk kepentingan-kepentingan tersebut. Dan jika terjadi pelanggaran atas kepentingan-kepentingan diatas, sesuai pasal 112 dapat dikenakan sangsi pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 500 juta. Terlebih jika pelaku pelanggaran tersebut adalah seorang pejabat, pasal 114 mengatur hukuman dapat ditambah 1/3 dari yang telah ditentukan.

Lalu terkait penggunaan cagar budaya untuk kegiatan politik Jokowi sebenarnya sudah mendapat aksi protes. Seperti protes keras yang dilakukan oleh masyarakat Betawi atas penggunaan Rumah Si Pitung di Marunda, Jakarta Utara sebagai lokasi pendeklarasian kesediaan Jokowi untuk maju sebagai capres dari PDI-P. Seperti yang diberitakan di kompas.com pada Sabtu, 22 Maret 2014, Ketua Lembaga Antar Bidang Musyawarah Masyarakat Betawi, Muhammad Rifky menyatakan keberatannya dan meminta Jokowi untuk meminta maaf kepada masyarakat Betawi atas hal tersebut.

Budayawan Betawi tersebut pun mengatakan ada beberapa hal yang membuat tokoh-tokoh Betawi dan masyarakat Betawi keberatan atas penyelenggaraan acara tersebut. Pertama, acara tersebut dilakukan tanpa melakukan koordinasi sebelumnya kepada masyarakat Betawi yang notabenenya sebagai "pemilik" rumah. Acara tersebut diselenggarakan di Rumah Si Pitung dengan tiba-tiba yang mana tokoh-tokoh Betawi dan masyarakat Betawi tidak mengetahui sama sekali acara tersebut. Kedua yakni status Rumah Si Pitung yang merupakan bangunan cagar budaya yang menurutnya, tidak seharusnya bangunan cagar budaya dibawa keranah politik.

Hal lain yang paling membuat geram masyarakat dan tokoh-tokoh Betawi atas pendeklarasian Jokowi adalah penggunaan kata Si Pitung sebagai simbol perlawanan. Menurutnya, istilah tersebut tidak cocok digunakan Jokowi pada saat pencapresan dirinya. Karena Si Pitung berjuang dan melawan penjajah Belanda untuk membela rakyat, sedangkan Jokowi yang maju sebagai capres dari kelompok tertentu akan memperebutkan kursi RI 1 dan bersaing dengan lawan-lawan politiknya yang padahal mereka juga sama-sama kader bangsa yang juga dipercaya baik, kenapa dilawan.

Tapi rupanya protes yang timbul atas penggunaan bangunan cagar budaya untuk kegiatan politik yang ditujukan kepada Jokowi tersebut tidak dihiraukan oleh (pihak)nya. Terbukti dengan acara pendeklarasia cawapres pendamping Jokowi yang kembali dilangsungkan disalah satu bangunan cagar budaya lainnya, yaitu Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin, 19 Mei kemarin. Dan seperti yang terjadi sebelumnya, kegiata itu pun kabarnya dilakukan tanpa koordinasi sebelumnya kepada pihak terkait. Seperti yang dikutip vivanews pada Selasa, 20 Mei 2014. Martini, Staf Dewan Harian Nasional Angkata 45 membenarkan hal tersebut, bahwa tidak adanya koordinasi penyelenggaraan acara itu baik pada pengurus Museum Joang 45 atau pihaknya.

Sungguh disayangkan jika Jokowi yang digadang-gadang sebagai sosok yang akan membawa banyak perubahan baik kepada bangsa ini, serta berbagai imej baik dan sederhana yang melekat padanya tidak memperhatikan hal-hal tersebut. Baik kenyataan adanya UU yang tidak mengizin bangunan cagar budaya untuk kegiatan politik ataupun protes dari pihak lainnya. Terlebih tanpa adanya koordinasi atas penggunaan cagar budaya tersebut bisa mendatang persepsi masyarakat kalau Jokowi "memanfaatkan" jabatannya sebagai Gubernur DKI untuk kepentingan politik partainya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun