Di sini, saya mau sedikit membahas tentang dunia pendidikan di Indonesia yang sudah menjadi barang komoditi dan sudah tak layak untuk dijadikan sandaran utama.
Saya sudah beberapa kali menerima email yang berisikan tentang reaksi makhluk-makhluk di dunia maya yang (mungkin) geregetan membaca catatan-catatan saya tentang sekolah. Ada yang (mungkin) kagum, sebel, menilai saya negatif secara sepihak, dan menganggap saya skeptis. Dan bermacam ungkapan lainnya.
Tidak perlu saya jelaskan lebih lanjut sepertinya Anda sudah sering mendengar, menonton dan membaca berita ada anak sekolah yang mati bunuh diri karena tidak lulus ujian nasional. Mendengar berita itu saja sudah bikin muak dengan sistem pendidikan kita. Terdengar skeptis, tapi Anda sepakat bahwa semua ini gara-gara budaya yang menomorsatukan sekolah dan kuliah. Jangan dulu membawa nama agama, karena toh dari dasarnya sudah menomorsatukan sekolah, dan kita tahu bahwa mata pelajaran untuk rohani di sekolah hanyalah sebatas pengetahuan, dan bukan sebagai dasar. Lebih parah lagi yaitu komersialisasi pendidikan yang benar-benar diskriminasi untuk orang yang tidak mampu. Yang lebih nelongso adalah sekolah mahal-mahal, kuliah mahal-mahal, dan bukan hanya materinya saja yang digembosi tapi juga tenaga dan pikiran. Ujung-ujungnya kerja hanya untuk ngejar UMR. Siapa lagi yang harus disalahkan?
Semua itu akan berujung pada nilai. Kalau mau lulus syaratnya nilai, kalau mau lanjut ke pendidikan yang lebih tinggi atau melamar kerja harus punya nilai, mau beasiswa harus punya nilai, dan lain-lain. Lalu, mengapa hati, kreatifitas, emosi, budi pekerti, dan lain-lain tidak mendapatkan apresiasi? Jadi, ya wajar saja ketika siswa, guru, dan pihak sekolah ada yang berusaha sekuat tenaga agar siswanya dapat nilai bagus dengan menghalalkan berbagai cara. Kalau murid mendapatkan nilai tidak bagus, guru yang akan jadi kambing hitam. Kalau sudah begini akan meluber pada pembicaraan masalah baru.
Banyak yang tidak memperhatikan sekeliling dan terlalu fokus mengikuti arus. Mungkin seandainya mau meluangkan sejenak waktu untuk mengintip sisi lain yang tidak populer, ternyata ada banyak terobosan yang sejatinya bisa dimanfaatkan dengan sangat efektif dan efisien. Segala daya yang dikeluarkan sebanding dengan apa yang didapatkan.
Berat sama dipikul, mudah sama dicontekan. Hal yang sudah lumrah sejak jaman mbaheula. Saling memberikan jawaban satu sama lain. Dengan alasan yang bisa bermacam-macam, maka praktek kolusi-nepotisme seolah menjadi pelajaran pokok di sekolah. Ya, meski secara tidak langsung, tapi percayalah bahwa hal itu akan tertanam kokoh dalam pikiran bawah sadar manusia. Saya jadi teringat perkataan saudara saya yang sekolah di Jakarta, tepatnya MAN 13 Jakarta (timur), yang sempat dikunjungi Gubernur DKI sebelum menjalani UN 2011. Pak Fauzi Bowo mengatakan, “Jaman sekarang bukan jamannya contek-contekan. Itu adalah jamannya saya dulu.” Pernyataannya memang secara tak langsung mengatakan bahwa contek-mencontek sudah menjadi budaya bangsa yang wajib dipelihara demi keinginan luhur. Melihat dari history dan keberlangsungannya sekarang, sepertinya budaya ini akan tetap langgeng diterapkan dalam aktifitas normal di sekolah. Pembahasan lebih lanjutnya dengan bahasa yang agak skeptis bisa Anda baca di sini: http://www.vatih.com/wajah-pendidikan-indonesia/.
Sekarang, bagaimana pendapat Anda tentang Wajah Pendidikan negara kita?