Pada dekade 1980 -1990 menurut Tarmansyah, (2007 : 26 ) pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sudah mulai dikelompokan sesuai dengan spesialisasinya. Pemerintah mulai membuka pendidikan khusus (SDLB Negeri) untuk tiap-tiap kabupaten atau kota di seluruh Indonesia. Selanjutnya dilakukan penggabungan antara pendidikan khusus dengan sekolah normal dalam bentuk sekolah integrasi. Yaitu berbagai jenis anak berkebutuhan khusus dilayani dalam satu lembaga pendidikan, dan Selanjutnya di Indonesia ditetapkan beberapa daerah untuk melaksanakan pendidikan terpadu yaitu menggabungkan anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler. Pada dekade 1990-2000, dengan munculnya partadigma pendidikan untuk semua yang telah menjadi kesepakatan masyarakat dunia. Maka semua anak berhak mendapat layanan pendidikan dengan konsep inklusi. Dimana sekolah-sekolah reguler secara bertahap dapat menerima anak-anak berkebutuhan khusus yang berada di sekitar sekolah tersebut. Pada bulan Agustus 2004 Indonesia bertempat di Bandung mendeklarasikan bahwa Indonesia Menuju pendidikan Inklusif. Kondisi Indonesia dalam kaitannya dengan pendidikan inklusi cukup responsip. Antara lain telah diterbitkannya Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pdidikan Nasional. Selanjutnya deklarasi Bandung pada bulan Agustus 2004 yang menyatakan Indonesia menuju Inklusi. Program Magister dalam Pendidikan Inklusif dan Pendidikan Kebutuhan Khusus di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung mulai berjalan dengan baik. Bekerjasama dengan Universitas Oslo sejak tahun 2003, telah 7 berhasil meluluskan angkatan pertama sebanyak 15 Orang untuk tahun akademik 2004-2005 Selanjutnya perjalanan menuju Inklusi, Universitas Pendidikan Indonesia telah mengembangkan kerjasama dengan Universitas Tsukuba Jepang, sejak tahun 2003. Telah mempublikasikan sebuah Jurnal Profesional dengan nama Jassy, yang mengangkat tentang penelitian dan informasi tentang pendidikan inklusif. Gagasan pengembangan pendidikan inklusi di propinsi lain yaitu mulai tahun 2004 : di Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Bali, NTB, dan Jawa Tengah Suatu tantangan yang sekaligus peluang bagi para pengembang pendidikan inklusif di Indonesia, bahwa kondisi Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan kepulauan, dengan berbagai ragam suku bangsa dan bahasa daerah, yang terbentang luas dengan batas- batas, selat, sungai. Ragam budaya dan agama, adalah sebagai modal dasar yang perlu dicermati dalam upaya-upaya mengembangkan pendidikan inklusif.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangan mengalami kelainan atau penyimpangan fisik mental-intelektual sosial atau emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya, sehingga mereka memerlukan pelayanan khusus (Darmawanti dan Jannah, 2004: 15). Meskipun anak termasuk kedalam kategori anak berkebutuhan khusus, tetapi memiliki hak yang sama dengan anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus berhak mendapatkan kasih sayang yang sama dari kedua orang tuanya, perlakuan khusus sesuai kategori yang dialaminya, serta mendapatkan mendapatkan pendidikan yang layak dan memenuhi setiap kebutuhannya. Sebagaimana diketahui bahwa anak dengan berkebutuhan khusus memiliki kebutuhankebutuhan khusus sesuai dengan kategorinya yang harus terpenuhi, baik di rumah atau bahkan di sekolah terlebih bagi anak tunagrahita. Karena keterlambatan dalam perkembangan kecerdasannya, siswa tunagrahita akan mengalami berbagai hambatan dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, bahkan diantara mereka ada yang mencapai sebagaian atau kurang, tergantung pada berat ringannya hambatan yang dimiliki anak serta perhatian yang diberikan oleh lingkungannya. Menurut Witmer & Kotinsky (Frampton & Gail, 1955: 117-119). Â Menurut Witmer & Kotinsky (Frampton & Gail, 1955: 117-119) menjabarkan kedelapan kebutuhan tersebut, yaitu :
1.Perasaan terjamin kebutuhannya akan terpenuhi (The Sense of Trust)
2.Perasaan Berwenang mengatur diri (The Sense of Autonomy)
3.Perasaan dapat berbuat menurut prakarsa sendiri (The Sense of Intiative)
4.Perasaan puas telah melaksanakan tugas (The Sense of Duty and Accomplisment)
5.Perasaan bangga atas identitas diri (The Sense of Identity)
6.Perasaan Keakraban (The Sense of Intimacy)
7.Perasaan Keorangtuaan (The Parental Sense) 8. Perasaan Integritas (Integrity Sense)
B.Landasan, tujuan dan Fungsi Pendidikan
1.Landasan Pendidikan
a.Landasan Religius
*Kodrat Manusia
Secara kodrati manusia memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1. Manusia dilahirkan dalam keadaan yang lemah
2.Tiada manusia yang sempurna
3.Manusia sebagai makhluk individu
*Kewajiban
Sebagai Umat Beragama Setiap umat beragama, apapun agama yang dianut, berkewajiban untuk saling tolong menolong dan berbuat kebaikan terhadap sesama manusia.
Atas dasar pandangan tersebut, maka anak tunagrahita mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan. Pendidikan sangat diperlukan anak tunagrahita. Pendidikan harus memberikan bantuan lebih banyak bagi mereka mengingat hambatan dan kekurangan mereka miliki. Hal ini dilakukan supaya mereka dapat mengembangkan potensi pribadinya secara optimal sehingga mereka dapat menunaikan kewajiban terhadap Allah SWT, masyarakat dan kepada dirinya sendiri
b.Landasan Yuridis
Landasan yuridis adalah landasan yang berdasarkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Landasan yuridis Pendidikan agama di Indonesia terdapat dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 30 ayat 1 berbunyi "Pendidikan keagamaan di selenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan".17 Dalam PP RI NO.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 7 ayat 1 berbunyi : "Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/ Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/ MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan, dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan".18 Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan anak didik di dalam dan diluar sekolah. Hambatan dan gangguan secara teknik edukatif anak berkelainan memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus, karena sekolah-sekolah umum tidak dapat memberikan pendidikan yang efektif bagi mereka. Faktor pendidikan memegang peranan penting pada anak tunagrahita untuk mengembangkan potensi dan bakat yang mereka miliki. Pendidikan agama Islam harus di ajarkan kepada anak tunagrahita.
2.Tujuan pendidikan
Tujan pendidikan pendidikan bagi anak tungarhita ialah memprsiapkan perseta didik untuk memproleh pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Memprsiapakan berarti proses menamkan kebiasaan tertentu dengan strategi yang sesuaidengan kebutuhan dan kemampuan anak sehingga mereka menjadi individu yang baik. Model pemebelajaran dirancang berdasarkan kebutuhan nyata setiap peserta didik dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah pendidikan yaitu pengetahuan keterampilan dan sikap. Tujuan pendidikan anak tunagrahita dikemukakan oleh Suhaeri HN (1980) sebagai berikut.
a.Tujuan pendidikan anak tunagrahita ringan
*agar dapat mengurus dan membina diri
*agar dapat bergaul di masyarakat
*agar dapat mengerjakan sesuatu untuk bekal hidupnya.
b.Tujuan pendidikan anak tunagrahita sedang
*agar dapat mengurus diri, seperti makan minum, berpakaian, dan kebersihan badan
*agar dapat bergaul dengan anggota keluarga dan tetangga,
*agar dapat mengerjakan sesuatu secara rutin dan sederhana.
c.Tujuan pendidikan anak tunagrahita berat dan sangat berat
*agar dapat mengurus diri secara sederhana (memberi tanda atau katakata apabila menginginkan sesuatu, seperti makan),
*agar dapat melakukan kesibukan yang bermanfaat (misalnya mengisi kotak-kotak dengan paku)
*agar dapat bergembira (seperti berlatih mendengarkan nyanyian, menonton TV, menatap mata orang yang berbicara dengannya).
3.Fungsi pendidikan
Fungsi yaitu untuk dalam mengembangkan potensi yang masih dimiliki secara optimal. sehingga mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diridengan lingkungan di mana mereka berada.
C.Tempat dan Syestem Pendidikan
Ada beberapa pendidikan dan layanan untuk anak tunagrahita menurut Endang Rochyadi dan Zainal Alimin (2005) yaitu :
a.Tempat Khusus atau Sistem Segregasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Tempat pendidikan yang termasuk sistem segregasi, adalah sebagai berikut.
1.Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa)
Sekolah khusus untuk anak tunagrahita disebut Sekolah Luar Biasa C (SLB-C) dan Sekolah Pendidikan Luar Biasa C (SPLB-C). Murid yang ditampung di tempat ini khusus satu jenis kelainan atau ada juga khusus melihat berat dan ringannya kelainan, seperti sekolah untuk tunagrahita ringan. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Penerimaan murid dilakukan setiap saat sepanjang fasilitas masih memungkinkan. Pengelompokan murid didasarkan pada usia kronologisnya dan usia mentalnya diperhatikan pada saat kegiatan belajar berlangsung. Model seperti ini tidak menyulitkan guru karena setiap anak mempunyai program sendiri. Penyusunan program menggunakan model Individualized Educational Program (IEP) atau program pendidikan yang diindividualisasikan; maksudnya program disusun berdasarkan kebutuhan tiap individu. Jenjang pendidikan yang ada di sekolah khusus ialah Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB, lamanya 3 tahun), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB, lamanya 6 tahun), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTPLB, lamanya 3 tahun), Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB, lamanya 3 tahun). Sekolah khusus ada yang menyediakan asrama sehingga murid tunagrahita langsung tinggal di asrama sekolah tersebut. Terdapat kesinambungan program pembelajaran antara yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, kelas khusus berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi murid yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
2.Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB di sini berdiri sendiri dan hanya menampung anak tunagrahita usia sekolah dasar. Model ini dibentuk agar mempercepat pemerataan kesempatan belajar bagi anak luar biasa. Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan dengan kekhususannya. Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan ketunaan masingmasing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi.
3.Kelas Jauh Kelas
jauh adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dalam hal ini anak tunagrahita yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Anak tunagrahita tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolahsekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Pengelenggaraan kelas jauh merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. Administrasi kelas jauh banyak dikerjakan di sekolah khusus (induknya), sedangkan administrasi kegiatan belajar mengajar dikerjakan oleh guru pada kelas jauh tersebut. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLBSLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung.
4.Guru Kunjung
Berdasarkan kalsifikasinya terdapat anak anak tunagrahita yang mengalami kelainan berat sehingga tidak memungkinkan untuk berkunjung ke sekolah khusus. Oleh karena itu, guru berkunjung ke tempat anak tersebut dan memberi pelajaran sesuai dengan kebutuhan anak.
5.Lembaga Perawatan (Institusi Khusus)
Lembaga perawatan ini disediakan khusus untuk anak tunagrahita yang tergolong berat dan sangat berat. Di sana mereka mendapat layanan pendidikan dan perawatan sebab tidak jarang anak tunagrahita berat dan sangat berat menderita penyakit di samping ketunagrahitaan.
b.Sekolah Umum dengan Sistem Integrasi (Terpadu)
Sistem integrasi memberikan kesempatan kepada anak tunagrahita belajar, bermain atau bekerja bersama dengan anak normal. Pelaksanaan sistem terpadu bervariasi sesuai dengan taraf ketunagrahitaan. Berikut ini beberapa tempat pendidikan yang termasuk sistem integrasi, (adaptasi dari Moh, 1995).
1.Kelas Biasa Tanpa Kekhususan Baik Bahan Pelajaran Maupun Guru
Anak tunagrahita yang dimasukkan dalam kelas ini adalah yang paling ringan ketunagrahitaannya. Mereka tidak memerlukan bahan khusus ataupun guru khusus. Anak ini mungkin hanya memerlukan waktu belajar untuk bahan tertentu lebih lama dari rekan-rekannya yang normal. Mereka memerlukan perhatian khusus dari guru kelas (guru umum), misalnya penempatan tempat duduknya, pengelompokan dengan temantemannya, dan kebiasaan bertanggung jawab.
2.Kelas Biasa Dengan Guru Konsultan
Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak normal di bawah pimpinan guru kelasnya. Sekali-sekali guru konsultan datang untuk membantu guru kelas dalam memahami masalah anak tunagrahita dan cara menanganinya, memberi petunjuk mengenai bahan pelajaran dan metode yang sesuai dengan keadaan anak tunagrahita.
3.Kelas Biasa Dengan Guru Kunjung
Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak normal di kelas biasa dan diajar oleh guru kelasnya. Guru kunjung mengajar anak tunagrahita apabila guru kelas mengalami kesulitan dan juga memberi petunjuk atau saran kepada guru kelas. Guru kunjung memiliki jadwal tertentu.
4.Kelas Biasa Dengan Ruang Sumber
Ruang sumber adalah ruangan khusus yang menyediakan berbagai fasilitas untuk mengatasi kesulitan belajar anak tunagrahita. Anak tunagrahita dididik di kelas biasa dengan bantuan guru pendidikan luar biasa di ruang sumber. Biasanya anak tunagrahita datang ke ruang sumber.
5.Kelas Khusus Sebagian
Waktu Kelas ini berada di sekolah biasa dan menampung anak tunagrahita ringan tingkat bawah atau tunagrahita sedang tingkat atas. Dalam beberapa hal, anak tunagrahita mengikuti pelajaran di kelas biasa bersama dengan anak normal. Apabila menyulitkan, mereka belajar di kelas khusus dengan bimbingan guru pendidikan luar biasa.
6.Kelas Khusus
Kelas ini juga berada di sekolah biasa yang berupa ruangan khusus untuk anak tunagrahita. Biasanya anak tunagrahita sedang lebih efektif ditempatkan di kelas ini. Mereka berintegrasi dengan anak yang normal pada waktu upacara, mengikuti pelajaran olahraga, perayaan, dan penggunaan kantin.
c.Pendidikan Inklusif
Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan Inklusif. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip "Education for All". Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) orang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersenut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan inklusif masih dalam tahap rintisan.
D.Tenaga Ahli terkait dengan penyelenggaraan pendidikan anak hambatan kecerdasan
Guru pembimbing khusus (yang selanjutnya disebut GPK) Guru khusus yang bertugas di sekolah umum, memberikan bimbingan dan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus yang mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan di sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan terpadu dan merupakan tenaga kependidikan yang khusus dipersiapkan untuk pendidikan tersebut. GPK sekurang-kurangnya memiliki kompetensi S-1 Pendidikan Luar Biasa atau kependidikan yang memiliki kompetensi ke PLB-an. 21 Dengan demikian yang dimaksud GPK adalah seseorang guru atau tenaga kependidikan khusus yang merupakan tenaga inti dalam sistem pendidikan terpadu/inklusi yang memberikan pelayanan kependidikan bagi anak-anak berkelainan atau "children with special education needs" yang menempuh pendidikan di sekolah/lembaga pendidikan umum.22 Peran GPK adalah sebagai fasilitator dan mediator yang menampung dan melayani segala sesuatu yang menjadi kebutuhan anak berkebutuhan khusus, tetapi tidak menjadi kebutuhan anak-anak pada umumnya, dan tidak termasuk dalam layanan kependidikan yang diselenggarakan oleh sekolah/lembaga pendidikan umum. GPK memiliki peran dan pokok sebagai orang kunci dalam pelaksanaan pendidikan terpadu/inklusi.
Â