"bangsa Indonesia tidak memerlukan seseorang yang populer, tapi memerlukan seseorang yang memberikan kesejahteran, keamanan, kemajuan ekonomi"
"keinginan baik tidak cukup, popularitas juga tidak cukup. Popularitas tidak menunjukan substansi kemampuan memberikan harapan . . . .Indonesia punya banyak permasalahan, mulai dari ekonomi, politik hingga keamanan negara"
Lebih jauh, Romo Franz mengatakan bahwa seorang pemimpin harus punya visi, misi dan program yang hebat.
Saya sepakat bahwa adalah tugas beliau untuk menyuarakan harapan masyarakat dan mengkoreksi hal - hal yang perlu dikoreksi. Ini adalah mulia dan kepakaran, integritas dan ketokohan beliau tidak perlu diragukan lagi. Dalam berbagai kesempatan, beliau dengan lantang menyuarakan protes keras, bahkan kritik mengenai penyelenggaraan negara maupun kebijakan - kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat (terutama kepada kemanusiaan). Di tataran etis, Romo Franz harus menyuarakan hal ini, menunjuk pada sesuatu yang ideal, yang harusnya menjadi acuan dan pedoman.
Romo Magniz beranjak dari fakta keras, bahwa Jokowi memang sudah melakukan deklarasi, bahwa Jokowi memang belum mengumumkan visi, misi dan strategi yang jitu. Dari fakta - fakta ini, kemudian Romo Magniz bergerak di tataran yang lebih umum, lebih konseptual, lebih ideal.
Tantangan bagi saya adalah, bagaimana "menarik turun" tataran kepedulian Romo Magniz, dari tataran ideal-etis, ke tataran faktual-politik, sehingga selaras dengan situasi real politik dewasa ini yang penuh dengan tarik menarik kekuatan, strategi perang para peserta pemilu dan fakta brutal mengenai ganasnya dunia perpolitikan di Indonesia.  Dalam ungkapan yang lebih lugas, bagaimana menempatkan pendapat Romo Magniz ke lingkungan pertarungan yang bersifat Machiavellian: pertarungan demi merebut kekuasaan. Machiavellian dalam bentuk yang paling primitif, mengabaikan sama sekali aspek etika dan moral, hanya mengedepankan aspek rasionalitas semata.
Pertama, amat benar bahwa Jokowi - secara pribadi, sebagai bakal calon presiden - sama sekali belum bicara tentang visi, misi dan strategi yag jitu untuk mengatasi persoalan bangsa yang sudah ga jelas mana ujung mana pangkalnya. Umumnya orang akan menunjuk pada moral para politikus dan penyelenggara negara yang sudah bejat. Tapi berteriak - teriak tentang moralitas tidak menyelesaikan masalah sama sekali, dibutuhkan strategi yang jitu. Tetapi strategi - strategi haruslah merupakan derivasi dari visi tentang Indonesia 5 tahu, 10 tahun, 20 tahun ke depan, sehingga apabila strategi - strategi tersebut dieksekusi, maka visi yang dirumuskan menjadi lebih nyata dan konkrit, tidak hanya sekedar visi (vision, gambaran masa depan belaka, yang tetap jauh di depan tak teraih). Untuk merumuskan visi, misi dan strategi, perlulah mengidentifikasi persoalan bangsa secara umum, dan kemudian menukik secara tajam dan mendalam untuk menemukan AKAR PERMASALAHAN.
Apakah Jokowi memiliki kapasitas dan kompetensi di tataran identifikasi masalah, yang membutuhkan kemampuan analitis yang tinggi? Saya tidak tahu persis karna saya bukan temannya Jokowi. Mestinya Jokowi dan PDIP memiliki think-tank yang telah melakukan hal ini sejak jauh - jauh hari. Mestinya cetak biru mengenai Indonesia ke depan, 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun dan seterusnya sudah terpapar di meja Ketum PDIP dan tim pemikirnya, tinggal menunggu kapan diluncurkan untuk dikupas tajam oleh semua kita, sebagai rakyat yang peduli akan bangsa, peduli akan siapa pemimpin yang mampu membawa Indonesia berubah menjadi lebih baik, entah apapun definisi "lebih baik" itu.
Mengapa visi, misi,strategi - singkatnya cetak biru - tersebut belum muncul? Romo Magniz menyatakan dengan tegas bahwa
"saya menuntut semua calon presiden keluar dengan program yang menunjukan (gagasan untuk) mengatasi masalah bangsa. Kita pilih presiden untuk menyelamatkan bangsa"
Romo Magniz secara khusus membenturkan antara popularitas dengan visi, misi dan strategi. Dengan kata lain - dalam bahasa filsafat - menunjuk forma dan materia, bentuk dan isi. "Bentuk" dalam bahasa politik praktis adalah Popularitas, sedangkan materia, atau "isi" adalah visi, misi, strategi (dan cetak biru bangsa).  Dalam bahasa Leninis, popularitas tanpa praktek jitu adalah omong kosong, sedangkan praktek tanpa memiliki popularitas adlah sia - sia, tenggelam di lingkungan kecil tanpa memberikan manfaat maksimal untuk bangsa.
Beberapa calon presiden sudah mensosialisasikan visi, misi dan strateginya; terutama yang sudah akrab bagi masyarakat adalah dari Gerindra, pak Prabowo. Yang lainnya belum jelas benar, bahkan ada yang sama sekali belum, seperti Jokowi.
Pertanyaan besarnya, mengapa Jokowi belum melakukan hal itu, dan apabila itu dilakukan, kapan?
Di titik ini, saya menukik ke tataran praktis.
Secara strategi, masa kampanye saat ini adalah masa kampanye untuk pemilihan legislatif, bukan pemilihan presiden. Semua kekuatan partai dikerahkan untuk memenangkan dan atau memperoleh kursi yang cukup untuk melampaui ambang batas yang ditentukan agar dapat mengajukan calon presiden. Dapat dipahami bahwa Jokowi fokus untuk hal ini dulu. Nampaknya ini adalah strategi PDIP.  Dan yang namanya strategi, sah - sah saja, sebab strategi ditentukan berdasarkan situasi obyektif pertarungan yang biasanya amat dinamis. Pilihan strategis seperti ini hanya akan dipahami apabila kita masuk ke alam pikir para ahli strategi PDIP. Selama kita tidak bisa masuk ke alam pikir mereka, maka kita hanya bisa menduga - duga, atau mungkin berteriak - teriak dari luar, menuntut agar PDIP melakukan ini atau itu.
Secara etis, dalam kaitan dengan kepentingan rakyat banyak yang berhak atas informasi dan berhak memiliki waktu yang cukup untuk menimbang - nimbang, apakah langkah Jokowi dan PDIP itu tidak etis.  Dari "menara gading" sang filsuf, nampaknya jawabannya adalah ya, tidak etis. Tetapi marilah kita turun ke arena berlumpur di mana lapis terbesar rakyat berada, apakah jawaban rakyat? Nampaknya tidak ada masalah. Survey membuktikan bahwa Jokowi selalu berada di peringkat atas.
Di lain pihak, dengan mengandaikan bahwa rakyat banyak - yang adalah massa - umumnya belum atau kurang mampu memiliki pemikiran kritis, maka amat perlu bagi Jokowi dan PDIP untuk sesegera mungkin mensosialisasikan cetak biru bangsa, visi-misi-strategi agar dengan cara itu, PDIP memainkan peran mulia: ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. PDIP ikut serta memberikan pendidikan politik dan pencerahan kepada rakyat; dan secara etis, PDIP memberikan kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat: informasi dan waktu yang cukup untuk mengelola informasi tersebut sehingga pilihan yang akan dijatuhkan, adalah pilihan yang sekaligus - sampai tataran tertentu - adalah pilihan rasional PLUS pilihan non-rasional (emosional, estetis, kesukuan, ideologi dan seterusnya).
tabik,
VL