Dulu dalam bayangan saya, Kompasiana adalah tempat dimana orang-orang akan mengeluarkan fikiran-fikiran terbaiknya untuk dibagikan dengan siapa saja yang membacanya. Tapi sejauh ini, kebanyakan artikel yang saya baca hanya terkesan mengejar 'rating' dan sensasi; jarang yang memperhatikan isi. Apalagi kalau itu berbau agama, pembahasannya berputar disekitar itu-itu lagi. Atau kalau membahas konflik dalam masyarakat, yang hadir hanya pemberitaan ulang dari yang sudah banyak disiarkan ditelevisi. Itupun tanpa saran atau masukan yang berarti. Hanya mengejar aktualitasnya. TAK ADA YANG BENAR-BENAR BARU!
Kemarin saya membaca post seorang teman, saya tergelitik oleh sebuah komen. Tulisan teman saya bagus, dan sebenarnya sederhana saja, walau ditulis dengan gaya formal yang kadang membuat jidat saya berkerut-kerut. Ia menulis sebuah analisis mengenai hubungan individu dengan negaranya. Intinya, apa peran negara dalam mensejahterakan individu? Selama ini Indonesia kelihatannya belum bisa dikategorikan sebagai sebuah negara yang “menyayangi” rakyatnya.
Lalu seseorang berkomentar: Bersyukur saja lah. Sudah untung hidup di Indonesia. Sudah ada teknologi: sms, email, dll, lagi! Dengan kata lain, kok ngomel mulu? Lebih baik bertanya, kita sudah memberi upeti apa pada negara?
Lalu seringkali beredaran di dunia maya, pesan atau email berantai yang intinya: Syukuri hidup lah. Kalau merasa tidak senang, ingat orang lain yang menderita. Syukuri saja. Syukuri saja.
Bersyukur itu baik. Saya bersyukur akan hidup saya. Walau mungkin caranya tidak sama dengan orang kebanyakan. Kalau diterjemahkan ke bahasa 'biasa-aja-deh': ya saya senang akan hidup saya! Saya bisa makan. Bisa sepedahan pagi-pagi. Saya punya pekerjaan yang saya cintai dan buku-buku yang baunya seperti candu. Saya hidup dengan orang-orang baik yang saya hormati dan menghormati saya. Saya bisa berdiskusi dengan orang-orang cerdas dan menyenangkan. Dan saya bisa bergaul dengan orang-orang yang saya kagumi dan sayangi. Itu saja sudah cukup membuat saya senang.
Tapi sebenarnya apa sih arti bersyukur yang diserukan orang-orang?
Ngapain protes? Bersyukur saja.
Ngapain ribut? Bersyukur saja.
Ngeluh mulu sih? Bersyukur saja.
Lucunya, “aksi” protes atau ribut itu biasanya bukan protes atau ribut soal diri sendiri. Kebanyakan protes soal sistem, ribut soal ketidakadilan, mengeluh soal masyarakat yang berantakan. Walaupun tentu saja terkadang diri sendiri menjadi bagian dari sistem yang diributi itu. Protes, ribut, dan keluhan ini juga kebanyakan bukan protes atau ribut yang asal-asalan. Tidak kosong melompong seperti anjing yang menggonggong.
Tidak usah lah saya beri rinciannya. Amati saja sendiri. Toh pembaca sudah gede, lewat masa ABG. Sudah banyak membaca, sudah pintar berpikir. Sudah bisa membedakan sebuah wacana dari rintihan ranjang.
Justru banyak keluhan lahir dari penderitaan. Penderitaan sendiri atau orang lain. Penderitaan manusia yang berkepanjangan. Jadi sungguh ironis ketika kita mengeluh tapi lantas dibungkam dengan alasan bahwa hidup kita sudah baik, negara kita punya teknologi. Maka ingatlah orang lain atau negara lain yang lebih buruk.
Aneh ya?
Rasanya kalau seperti ini kita malah menghina: Saya bersyukur saja. Tuh orang lain masih bodo, masih miskin, masih nggak bisa makan, masih nggak bisa sekolah, masih.. kaciaaannn deh. Tapi Tuhan sayang saya loh, negara menafkahi saya dengan hape-hape yang paling tokcer. Sekali pencet langsung orgasme.
Itu satu.
Dan entah mengapa, setiap kali saya mendengar seseorang mengatakan “ngapain-protes-bersyukur-saja-lah,” yang saya dengar hanyalah:
NGEGANJA YUK?!