Arsitektur adalah ibu dari segala ilmu, begitulah seorang Jay Subiakto pernah mengungkapkan dalam sebuah wawancara. Sebagai seorang yang pernah belajar arsitektur dan kini berkecimpung di dunia seni, beliau mungkin ingin mengatakan bahwa Arsitektur adalah ilmu yang berdampak universal dan bisa berelasi dengan ilmu manapun di dunia ini. Sama halnya dengan Jay Subiakto, Romo Mangunwijaya mungkin adalah salah satu dari sekian banyak tokoh dalam dunia praktis Arsitektur yang mengamini kalimat diatas. Rohaniawan yang merangkap arsitek dan tokoh humanisme ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang membuka pemahaman kita akan konsep unversitalitas dalam Arsitektur; sebuah hal yang sangat mendasar, berdampak luas, penting, dan seharusnya dapat dimengerti oleh semua orang dari segala lapisan. Tulisan ini adalah hasil pembacaan dan pemahaman kembali dari buku Romo Mangun yang sangat terkenal, yaitu Wastu Citra. Terutaman bab III dan IV yang membahas Citra-Guna serta Bentuk-bentuk Arstitektur Selaku Simbol-simbol Kosmologis. Dua bab ini, adalah dua bab yang sangat membuka mata saya tentang arsitektur pada masa-masa awal saya belajar arsitektur dulu. Arsitektur, seperti arti harafiahnya merupakan ilmu tentang mencipta. Jika diterjemahkan secara luas, maka mencipta disini akan menjangkau semua aspek kehidupan manusia; mulai dari mencipta cara, mencipta alat, benda, kata, bahasa, nama, hingga mencipta dunia. Proses penciptaan seperti ini tentu saja merupakan sebuah kegiatan pragmatis, maksudnya bisa dilihat, dinikmati, dan dinilai secara materiil. Namun kita tak bisa memungkiri bahwa sebuah ciptaan adalah sesuatu yang dibuahi dari pembayangan-pebayangan imajinatif dari penciptanya. Sebuah karya tidak akan hadir begitu saja hanya karena tangan kita mempunyai daya untuk bekerja. Diperlukan sebuah imajinasi untuk membuat tangan mengerti apa yang harus dikerjakannya. Saya percaya bahwa Arsitektur, walau dalam arti yang paling sempit - teknis akademis - juga merupakan bidang ilmu yang sangat membutuhkan kemampuan pembayangan imajinatif dari tiap pelaku yang terlibat di dalamnya; entah itu perancang, pembangun, ataupun pengguna. Proses pembayangan ini yang pada akhirnya, tidak bisa tidak, melibatkan unsur subjektifitas dari orang-orang yang terlibat tadi. Untuk menjembatani tiap-tiap subjektifitas ini, maka Arsitektur harus mempunyai bahasa yang universal yang memungkinkan semua orang bisa mengerti dan bertukar fikiran secara netral. Arsitektur, sebagai sesuatu yang bisa menciptakan, juga harus mampu membuat orang lain mengerti tentang ciptaan itu sendiri. Dia harus hadir sebagai lambang yang membahasakan segala yang indah dan agung dari penciptaan itu, kesederhanaan dan kewajaran yang membuat keindahan lahir dari sebuah kebenaran. Karena semakin penting sesuatu adanya, maka semakin sederhana seharusnya ia diterangkan. Komunikasi dalam arsitektur mungkin tidak segamblang bahasa yang kita gunakan sehari-hari, namun setidaknya ada unsur
'guna' dan
'citra' yang hadir menjadi satu kesatuan dalam bahasa Arsitektur. Sistem berbahas yang holistik seperti ini memampukan siapa saja untuk bisa membaca - walau mungkin tidak sepenuhnya paham secara sadar - akan arti dan maksud yang terkandung dalam sebuah karya arsitektur. Saya yakin setiap orang pasti pernah melihat, menikmati, dan mengomentari sebuah karya arsitektur, tak perduli betapa awamnya dia terhadap arsitektur. Sebuah pengalaman yang menyenangkan menurut saya, karena tidak harus selalu diekspresikan dengan kata-kata. Seringkali, kekaguman atau kebencian saja sudah cukup. Kata
'guna' dalam bahasa Arsitektur tidak hanya menunjuk pada cara pemanfaatan dan keuntungan fungsional yang bisa pemakai dapatkan saja, tapi juga sebagai sesuatu yang mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup kita. Maksudnya, Arsitektur tidak hanya dipahami sebagai sebuah hasil yang menguntungkan kita, namun lebih jauh, sebagai sebuah mesin yang membuat kita bisa menghasilkan keuntungan yang lebih lebih lagi. Dalam kata
'guna' ini, Arsitektur memperoleh identitas pragmatisnya; maksudnya berada pada ranah materiil dimana proses penerimaan (dapat dimengerti) terjadi pada tahap fisik dan mengandung arti fungsional serta melayani kebutuhan fisik manusia. Artinya, dia hadir sebagai sebuah produk yang mempunya bentuk dan dapat dinikmati. Dan ketika dia bisa dinikmati, maka dia bisa dimengerti. Bila kita mengambil contoh kasus rumah tinggal kita, maka rumah dikatakan berguna karena dia melindungi kita dari matahari, panas, hujan, dan binatang buas. Selain itu, rumah yang baik juga memberi kita kenyamanan, rasa aman, membuat kita senang dan semakin giat bekerja. Jadi kata
'guna' pada rumah tinggal selain memberi kita keuntungan yaitu berupa perlindungan dari dunia luar, juga berfungsi sebagai alat yang memberi kenyamanan dan meningkatkan gairah bekerja kita. Seperti halnya kutipan terkenal dari Le Corbusier yang mengatakan bahwa bangunan adalah sebuah
'machine of living,' sesuatu yang tidak hanya dipandang sebagai hasil, tapi alat yang bisa membantu meningkatkan hasil. Seperti halnya yang telah dijelaskan di atas, selain mempunyai unsur
'guna', Arsitektur juga mempunyai unsur
'citra'. Unsur
'citra' hadir sebagai hasil dari sisi subjektifitas dan hal yang personal dari arsitektur. Kalau halnya
'guna' bersifat universal, maka
'citra' lebih bersifat unik - tergantung tiap individu.
'Citra' pada dasarnya hanya menunjuk pada sebuah gambaran atau sebuah kesan penghayatan yang menangkap arti bagi seseorang. Seperti yang telah kita ketahui di atas, dalam bahasa Arsitektur,
'citra' merupakan satu kesatuan dengan
'guna'. Namun
'citra' lebih bertingkat spiritual, lebih menyangkut derajat dan martabat dari manusia yang menyandangnya.
'Citra' lebih mewakili tingkat kebudayaan, dan
'guna' mewakili segi ketrampilan atau kemampuan (teknologi). Jika kita kembali pada contoh kasus rumah tinggal kita, maka
'citra' pada rumah tinggal bisa kita analogikan sebagai sebuah pakaian. Pakaian manusia sebenarnya tidak hanya berfungsi sebagai sesuatu yang menutupi dan melindungi tubuh dari cuaca, namun lebih kepada pembentukan identitas dan kesan dari individu yang memakainya. Karenanya, dalam arsitektur keseimbangan dari keduanya sangatlah penting. Pemahaman akan
'guna' tanpa
'citra' akan membuat kita melihat Arsitektur sebagai sebuah barang saja, sesuatu yang biasa dipajang dietalase mall atau majalah-majalah
gadget paling mutahir. Atau sebaliknya jika kita memahami
'citra' saja tanpa
'guna' maka maka arsitektur akan berhenti pada ranah konsep dan literatur saja, tak bisa direalisasikan. Bentuk dan fungsi, keindahan dan kegunaan seharusnya bersatu dalam satu wujud yang efektif, namun ekspresif. Menarik untuk mengkontraskan konsep bahasa citra-guna dalam arsitektur ini dengan Teori Maslow yang saya yakin telah dikenal secara luas. Untuk beberapa orang yang belum pernah mendengarnya, Teori Maslow adalah teori yang dikemukakan oleh seorang psikolog terkenal
Abraham Maslow. Teori ini membahas tentang hirarki kebutuhan yang sangat luas dipakai dalam berbagai bidang ilmu. Dalam teorinya, Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan manusia dalam 8 kelompok yang disusunnya dalam sebuah sistem hirarki yang berbentuk piramida dimana kelompok kebutuhan paling dasar adalah kelompok kebutuhan yang bersifat jasmaniah, universal, dan fatal bila tidak dipenuhi. Bergerak keatas, maka kelompok kebutuhan mulai berubah menjadi kelompok kebutuhan yang bersifat psikis, personal, dan bisa tidak terlalu fatal bila tidak dipenuhi. Secara garis besar, Maslow menyimpulkan bahwa kebutuhan manusia adalah hal mendasar yang harus dipenuhi yang kemudian pada suatu titik akan menjadi daya pendorong (pemaksa) manusia untuk bekerja dan mengembangkan diri. Proses pemenuhan ini sendiri tidak berlangsung sekaligus, namun bertahap dari pemenuhan kebutuhan yang paling dasar, hingga pemenuhan kebutuhan yang paling tinggi. Dalam arsitektur, prinsip teori hirarki kebutuhan ini juga ternyata terjadi dan berlaku selayaknya dia dibidang ilmu lain. Bila melihat hirarki kebutuhan Maslow disamping, maka terlihat bahwa kedelapan kelompok-kelompok kebutuhan tersebut terbagi lagi dalam 3 kelompok besar. Empat kelompok kebutuhan paling dasar adalah kelompok kebutuhan golongan
deficiency needs (D-Needs) yang mana merupakan kelompok kebutuhan vital yang, tidak bisa tidak, harus dan wajib hukumnya untuk dipenuhi. Dua kelompok kebutuhan berikutnya adalah kelompok kebutuhan
growth needs (G-Needs) yaitu kelompok kebutuhan untuk mengembangkan diri. Dan dua kelompok kebutuhan paling puncak adalah kelompok kebutuhang
being needs (B-Needs) yaitu kelompok kebutuhan yang menjadi pernyataan pribadi akan keberadaan dan keadaan diri dari tiap-tiap individu. Lengkapnya, silahkan baca
disini. Dalam tahap-tahap awal, persepsi kita akan arsitektur akan bersifat jasmaniah, yaitu selama dia berdaya guna dan bisa memenuhi kebutuhan fisik. Setelah kebutuhan-kebutuhan fisik ini terpenuhi, maka akan lahir kebutuhan-kebutuhan akan estetika; kebutuhan akan keindahan dan apresiasi dari sisi seninya. Bila pada tahap jasmaniah, persepsi kita tidak akan terlalu berbeda satu sama lain, lain halnya dalam tahap apresiasi akan keindahannya. Sekali lagi karena ini bersifat personal dan lebih kepada kebutuhan psikis (dimana setiap orang unik adanya), maka akan sulit menemukan satu suara yang sama dalam pembahasannya. Dan akhirnya, pada tahap lanjut, yaitu ketika manusia ingin berkorelasi dengan alam semesta dan kuasa-kuasa yang meliputinya, maka setiap orang akan berdiri diatas relativitas-relativitas yang didasarkan pada kepercayaan-kepercayaan dan hal-hal yang diimaninya secara khusus dan pribadi; satu hal yang membuat arsitektur menjadi sangat berbeda satu sama lain. Sama halnya seperti memakai baju-baju yang berbeda tergantung dari sudut pandang tiap individu. Namun ada satu hal yang menarik, jika kita melihat karya-karya arsitektur yang tumbuh dari pohon-pohon penghayatan keagamaan, maka akan terlihat bahwa wajah-wajah yang terbentuk ternyata relatif lebih mirip satu sama lain bila dibanding dengan karya-karya arsitektur yang tumbuh dari pohon-pohon penghayatan estetis seni. Jika kita mengambil contoh rumah-rumah ibadah, maka akan terlihat sebuah tipologi bangunan dengan wajah yang
'fixed' yang seakan-akan lahir dari konsensus tak tertulis dari semua orang yang terlibat di dalamnya. Wajah mesjid akan langsung terlihat dari bentuk kubahnya, kehadiran minaret dan hiasan kaligrafi dari ayat-ayat Alquran pada badannya. Wajah gereja akan langsung terbaca dari bentuk menara dan atapnya yang tinggi-tinggi. Atau wajah meru-meru di Bali yang dengan gamblang terlukis dari atap ganda yang langsing menjulang dan berbentuk menara yang luwes. Akan lebih mudah untuk mengenali bentuk-bentuk arsitektur sebagai simbol kosmologis dibangding sebagai hasil apresiasi seni. Dengan kata lain, karya-karya arsitektur yang tumbuh dari pohon-pohon penghayatan keagamaan ini ternyata
tidak lebih multi tafsir bila dibandingkan dengan karya-karya arsitektur yang tumbuh dari pohon-pohon penghayatan estetis seni. Bila mendasarkannya pada teori hirarki kebutuhan Maslow, maka hal ini seperti sebuah anomali, karena kelompok kebutuhan akan estetika berada di bawah kelompok kebutuhan akan kepercayaan terhadap Tuhan. Wajah yang terbentuk dari karya-karya arsitektur estetis seni seharusnyalah mempunyai wajah yang lebih seragam dan universal bila dibanding dengan karya-karya yang tumbuh dari pohon-pohon penghayatan keagamaan. Karena ini sesuai dengan natur dari kelompok kebutuhan itu. Namun yang terjadi justru kebalikannya. Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai ini, ada baiknya kita menarik garis pembatas yang jelas mengenai perbedaan dari apresiasi esetetika dan apresisasi keimanan pada kasus bangunan-bangunan keagamaan. Khusus dalam kasus ini perlu ditekankan bahwa pada tahap primer, manusia cenderung berfikir dan bercita rasa dalam alam penghayatan kosmis dan mitis, atau agama; bukan estetis. Estetis disini dapat diartikan sebagai penilaian sifat yang dianggap indah dari segi kenikmatan. Sedangkan segi mitos atau keagamaan menyangkut ke-ada-an manusia atau semeta dari dasar-dasarnya yang paling akar, paling menentukan, paling sejati. Dalam merancang dan membangun bangunan-bangunan keagamaan, manusia tidak membuat pilihan tapi lebih kepada mematuhi apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Wajah bangunan yang tercipta pun lebih berupa hasil dari tuntutan agama dari pada ekspresi keindahan untuk kenikmatan visual. Beberapa dekade belakangan, orang-orang sudah mulai terbuka dan fleksibel dalam hal bentuk dan wajah dari rumah-rumah ibadah. Namun, tetap saja simbol-simbol seperti kaligrafi, salib, trap-trap atap dan lantai, dan ciri khas dasar rumah-rumah ibadah lainnya menjadi hal yang harus ada. Hal ini bisa dipahami karena dalam tahap mitis manusia menghayati dirinya dengan menenggelamkan dirinya dalam seluruh alam dan dunia gaib. Belum ada pembedaan antara sang Subyek dengan Obyek. Manusia melihat alam terlalu dekat sehingga tidak bisa menarik batas yang membedakan dirinya dengan lingkungan lain diluar dirinya. Segalanya jadi terlihat terlalu besar dan luas, dan karenanya manusia menjadi takut dan tenggelam dalam kekagumannya akan kuasa-kuasa diluar dirinya. Hal inilah kemudian yang melahirkan ide akan ketaatan. Semua keyakinan yang mendalam seperti yang dihayati dalam orang-orang beragama pasti akan mengendapkan esensi keimanannya ke dalam bentuk-bentuk tertentu. Namun demikian, bangsa manapun dalam kurun waktu manapun, tidak mungkin menghayati iman dan agamanya secara tuntas. Selalu hanya beberapa aspek atau titik berat yang paling intens dihayati atau disukai. Sedang aspek-aspek lainnya, bukan diingkari, hanya kurang dirasakan. Karenanya kita bisa menemukan adanya persamaan bentuk, filosofi, atau mungkin simbol diantara bangunan-bangunan rumah ibadah walau mempunyai latar belakang keimanan yang berbeda. Sekali lagi, keseragaman ini menunjukkan bahwa pada dasarnya setiap orang mempunyai pemahaman yang sama tentang Tuhan sebagai kuasa yang mengatur hidup dan alam semesta. Karenanya antara satu agama dengan agama lainnya mempunyai ekspresi penghayatan yang hampir sama akan Tuhan, yaitu
ketaatan. Ketaatan inilah yang membuat wajah arsitektur pada bangunan-bangunan keagamaan terlihat seperti menyeragam dan universal. Ketaatan inilah yang membuat arsitektur pada bangunan-bangunan keagaamaan mempunyai citra absolut, mutlak, dan abadi; sama halnya seperti kebenaran akan Tuhan. Disamping itu, kita harus bisa membatasi diri dalam melihat arsitektur.Bahwa arsitektur hanya bentuk ekspresi dari kepercayaan, bukan kepercayaan itu sendiri. Simbol, bentuk, dan filosofi yang sama seharusnya kita terima sebagai sebuah bukti bahwa kita tidak seharusnya memakai pagar dan dinding pembatas yang menyekat kita dari persaudaraan dengan orang lain dengan kepercayaan yang berbeda. Pada hakikatnya, seluruh alam raya dan tempat manapun di muka bumi ini adalah tempat yang baik dan suci untuk beribadah, karena tidak ada tempat satu pun yang diluar jangkauan berkat dan rahmat Tuhan. Dan karenanya, gedung-gedung peribadatan kita maknai lebih sebagai lambang pemersatu umat beriman daripada hanya sebagai 'tempat beribadah' yang ditempeli oleh fanatisme-fanatisme sempit. Sekali lagi, hal ini menjelaskan kepada kita bahwa arsitektur merupakan sebuah bahasa yang kompak dan tak terpisahkan antara citra dan guna, antara keindahan dan kegunaan. Secara citra, dia melambangkan ketaan dan kekaguman para penyembah akan Tuhannya yang berkuasa. Sedangkan sebagai guna dia menjadi sebuah wadah yang menjadi pemersatu umat beriman dan sekaligus tempat kegiatan penyembahan berlangsung. Arsitektur sebagai sebuah ilmu mencipta ruang, menjalankan fungsinya dengan menciptakan ruang yang menjadi jalan yang mengantarkan para umat beriman untuk datang kepada Tuhannya. Ruang yang membuat mereka bisa meresapi keberadaan dirinya diantara karya-karya ciptaan Tuhan di dunia ini. Ruang yang membuatnya mengerti bagaimana memaknai keadaan dirinya, tujuan penciptaannya, dan akhirnya menemukan makna hidupnya. Sebuah ekspresi dari kebutuhan yang sangat psikologis, sangat personal, dan merupakan pilihan yang hanya bisa dilakukan oleh individu yang bersangkutan. Jika kita melihat lagi ke teori hirarki kebutuhan Maslow, maka jelas bahwa kebutuhan untuk berhubungan dengan Tuhan adalah kebutuhan yang paling tinggi. Secara arsitekturalpun hal ini dibuktikan dengan munculnya guna dan citra yang sangat personal, berasal dari lubuk hati terdalam, serta bersifat opsional. Namun sekali lagi, pembacaan dan pemaknaan bentuk-bentuk arsitektural sebagai simbol kosmologis tidak bisa dilakukan secara dangkal. Setiap makna akan sangat tersirat dan merupakan makna turunan yang merupakan hasil dari meresapi pengalaman ruang yang khusuk.
KEMBALI KE ARTIKEL