Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Inter-Faith Dialogue

2 Maret 2013   07:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:27 968 2
Dialog Interfaith bukanlah hal baru dalam peradaban manusia, karena dialog adalah sesuatu yang tak terhindarkan dari pluralitas yang sudah menjadi tradisi Allah yang bersifat abadi dan kemestian sejarah, sehingga yang dibutuhkan saat ini adalah perubahan cara pandang dan metode manusia dalam menyikapi pluralitas itu seiring dengan perkembangan zaman, dalam segala hal. Setiap Utusan-Nya diutus dalam konteks kesejarahan dan kondisi sosial yang sangat pluralistik, sehingga relasi dan dialog interfaith bukanlah fenomena baru karena sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Secara internal, dialog/trialog interfaith dapat dipahami karena tidak hanya memiliki titik temu teologis dan hukum sebagai bagian dari inti ajaranNya, tetapi juga karena berasal dari tradisi dan leluhur yang sama.

Para Rasul dalam mewartakan risalahNya juga senantiasa mengajak ummat agama lainnya berdialog. Alkitab Perjanjian Baru misalnya, banyak mengkisahkan bagaimana Yesus sering berdialog dengan murid-murid Yohanes Pembaptis, para imam kepala, dan kaum Yahudi dari kaum Saduki dan Farisi. Begitu pula dengan Muhammad, yang secara teologis dan historis tidak terlepas dari misi risalah sebelumnya. AL-Qur'an bahkan menempatkan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai ahli Kitab yang harus dihormati dan selalu mengajak mereka melakukan dialog dengan cara argumentasi terbaik. Namun demikian, sepanjang perjalanan sejarah, hubungan yang baik itu malah kerap kali telah menjadi sumber berbagai kesalahpahaman, ketidakpercayaan, kebencian dan sengketa teologis yang tak berujung. Selain itu, klaim kebenaran (truth claim) bahwa agamaku atau agama kami adalah agama terbenar dan satu satunya agama keselamatan (salvation claim) yang sejati sebagai ekspresi dan keyakinan spiritual, memunculkan fanatisme agama yang negatif. Tak jarang mereka yang sekalipun sering melakukan kejahatan atau berbuat maksiat akan bangkit "membela agama" jika merasa agamanya dilecehkan.

Secara sosiologis, truth claim atau salvation claim tersebut dapat menimbulkan berbagai konflik sosial politik yang hingga kini masih menjadi fenomena di abad modern ini. Sikap fanatisme itu sendiri, bukan ditandai oleh tidak adanya penghargaan dan toleransi terhadap teologi lainnya. Penyakit spiritual ini yang menyuburkan kebencian tersebut sebagai buah dari sikap interaksi superior-inferior yang membentengi diri sembari memproklamirkan agama mereka sebagai satu satunya agama yang dapat diterima dan satu satunya jalan menuju keselamatan. Akibatnya, kebenaran mutlak firman Allah dikaburkan oleh perilaku klaim absolutisme dan penafsiran subjektif dari para ahli.

Kajian tentang relasi Yahudi, Kristen dan Islam selalu menarik perhatian dunia dewasa ini, khususnya dalam melakukan dialog/trialog teologis normatif antargenerasi demi mewujudkan perdamaian dunia. Sebab, berbicara tentang Yahudi, Kristen dan Islam berarti juga berbicara soal mayoritas umat manusia di dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Untuk merespon realitas umat beragama tersebut, dalam dua dekade terakhir ini seruan tentang dialog antar agama atau antar iman (inter-faith dialogue) amat intens dikampanyekan, bukan hanya untuk sekedar menjembatani titik temu dan titik beda dari masing masing agama, tetapi juga adanya tawaran kultural yang produktif dan konstruktif untuk melakukan pengembaraan intelektual dan spiritual memasuki pelataran agama lain, menjadi tantangan khusus yang menuntut perhatian ekstra. Bahkan mendialogkan hal hal yang masuk dalam zona sakral dari doktrin agama masing masing. Meski demikian, seruan dialog tersebut masih melahirkan pro (karena hal itu merupakan keniscayaan historis) dan kontra (karena dikuatirkan akan dapat melemahkan iman serta wibawa doktrin agama masing masing).

Sangat dimaklumi apabila interfaith dialogue menjadi pro dan kontra, dikarenakan hal ini merupakan sesuatu yang tak terpikirkan (unthinkable things) oleh mainstream kaum agama selama ini. Namun jika ini dibaca dengan kedalaman spiritual, kejujuran intelektual, dan kedewasaan sikap, maka ini dapat dijadikan rujukan dan jawaban dari kebekuan dan kegamangan spiritual kaum beragama di zaman pencerahan abad 21 ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun