Dekonsolidasi demokrasi Indonesia terjadi ketika kebebasan beragama atau toleransi beragama memburuk. Kebebasan sipil, khususnya toleransi beragama, merupakan isu krusial yang mengancam konsolidasi demokrasi suatu negara. Demokrasi elektoral, yang dicirikan oleh pemilu bebas yang diadakan secara rutin, tidak cukup untuk konsolidasi demokrasi. Kurangnya toleransi, khususnya jaminan negara atas hak- hak minoritas, telah menjadi penyebab kegagalan banyak negara demokrasi. Menurut para sarjana terkemuka budaya politik demokrasi, saling percaya dan toleransi diperlukan selain partisipasi politik formal untuk membuat demokrasi berjalan dan tetap stabil.
Toleransi beragama-politik di Indonesia dibentuk oleh Pancasila. Prinsip- prinsip ini memandu Konstitusi, yang awalnya diadopsi pada tahun 1945 pada saat Revolusi Kemerdekaan, dan merupakan kerangka ideologis penting untuk menengahi masalah negara yang luar biasa kompleks. Salah satu isu adalah hubungan kausal antara keterlibatan kelembagaan dan toleransi agama-politik.
Menurut penelitian studia islamika Indonesian Journal for Islamic Studies menemukan bahwa Muslim Indonesia, 87% dari populasi nasional, tidak toleran secara agama-politik. Mereka tidak toleran terutama terhadap pejabat publik non-Muslim. Ditemukan juga bahwa sipil dan politik keterlibatan ditemukan tidak signifikan dalam memprediksi toleransi agama-politik. Keanggotaan dalam asosiasi sipil mana pun dan kepentingan politik tingkat tinggi tidak secara otomatis meningkatkan toleransi.
Ketaatan beragama di kalangan Muslim memang memperlemah toleransi politik-keagamaan, tapi kondisi elonomi-politik dan keamanan, sikap peduli pada institusi, peduli politik, komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi, dan warga suku bangsa Jawa memperkuat toleransi tersebut. Kalau faktor-faktor ini mengalahkan faktor agama dan ketaatan beragama maka toleransi politik-keagamaan di Indonesia akan membaik.