Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kkn Pilihan

Monggo Pinarak

30 Juni 2024   23:51 Diperbarui: 30 Juni 2024   23:57 186 3
Monggo Pinarak

Prang! Tak disengaja Bu Sri menjatuhkan cangkir teh. Merah di wajah tak dapat dihindarkan memberitahu seseorang lainnya di ruangan betapa malunya ia.

"Aduh, nuwunsewu, Pak Kades." Segera aroma teh menjarah seluruh ruangan tamu rumah Kades Yudi.  "Aduh. Kesenggol. Aduh. Gimana ini?!" Bu Sri jongkok, berdiri, jongkok lagi. Panik bukan kepalang. Cangkir yang dipecahkan pastilah harganya mahal. Sungguh tampak kemewahan dari warnanya yang kuning keemasan dengan ukiran bunga mawar putih di dua sisinya. Ah, pastilah harus ganti rugi.

"Yu War. Yu! Tolong, Yu! Ini cangkirnya pecah." Seru Pak Kades Yudi. "Mboten nopo, Bu. Nggak papa. Nanti dibersihkan sama Yu War." Syukurlah, Kades Yudi tidaklah kesal. Hanya ia dalam hati bersiap dimarahi istrinya yang pasti ngomel-ngomel bilamana tahu cangkir kesayangannya berkurang satu. Beruntung masih ada waktu untuk berlega hati barang sejenak sebelum istrinya itu pulang dari posyandu.

"Duh, lihat tho, pak? Sampai panik lho saya itu. Saking takutnya. Gimana ya, pak. Kalau nanti orang itu bebas, apa bener bapak mau diam saja?"

Kades Yudi diam saja mendengar pertanyaan Bu Sri. Sudah tiga kali tetangganya itu bertanya pertanyaan yang sama, tapi Kades Yudi masih belum bisa menjawabnya.

Serpihan beling cangkir sedang dibersihkan Yu War. Aroma teh sudah berubah jadi aroma memualkan dari obat pel lantai. Sambil berjongkok, tangan Yu War gemetaran. Diangkatnya satu per satu beling-beling kaca. Bukan takut tersayat pecahannya. Yu War gemetar mendengar pertanyaan Bu Sri kepada Kades Yudi.

Kades Yudi berbeda. Ia tidak gemetar dan gelisah sama sekali. Tidaklah juga ia takut. Tapi dipikirkannya dalam-dalam desas desus tentang orang itu yang sudah mengkhawatirkan banyak warga akhir-akhir ini. Mungkin baginya bukan masalah. Tapi bagi warga? Apa yang harus dikhawatirkan sebenarnya?

Di teras rumah ada dua orang lainnya yang penasaran juga. Mencuri dengar pembicaraan di ruang tamu membuat mereka merencanakan sesuatu. Kedua pemuda yang hampir sama tinggi badannya itu bergegas berjalan ke rumah sebelah. Salah satu berjalan lebih cepat meninggalkan kawan lainnya yang santai saja tak tahu mengapa ia harus terburu-buru.

"Ti, ti! Dah denger belum?" Seorang pemuda, Tri namanya, buru-buru duduk di lantai di samping seorang gadis yang sedang bermain cilukba dengan seorang bayi di ruang tamu tetangga sebelah Kades Yudi.

"Opo to, Tri?" Mulutnya menjawab Tri, namun matanya tak meninggalkan dari memandang si bayi.

"Ada napi pembunuhan yang mau bebas besok hari!" Tri menatap tajam wajah Asti. Sorot matanya dibuat-buat agar tampak seperti mereka sedang dalam bahaya.

Seorang pemuda lainnya, bernama Indra, sampai juga di ruang tamu rumah bu Sri itu. Duduk ia bersila di lantai mengikuti kawan-kawannya. Merasa geli dengan Tri yang berisik sangat, ia hanya tersenyum-senyum mendengar nada bicara kawannya yang dibuat-buat. Tepat ketika si kawan perempuan, Asti, hendak memberikan reaksi, seorang perempuan lainnya datang dari arah dalam rumah. Asti yang sudah memelototkan matanya lebar-lebar dan bersiap membuat reaksi yang tak kalah dibuat-buat menjadi urung melihat si ibu bayi yang datang membawa bakul nasi dan sepiring penuh tempe goreng. Hmm, harum benar!

"Heboh, banget lho, Mas Tri." Kata si wanita lantas meletakkan bawaannya sebelum menggendong si bayi yang sedang mencoba berguling.

"Eh, anu. Mbak Wulan. Mbak Wulan tahu napi pembunuhan yang mau bebas itu?" Tri memang tidak suka basa-basi. Baginya yang kuliah di jurusan Jurnalistik, segala informasi menarik sudah sepantasnya diulik lekas-lekas.

Wulan diam saja sambil menimang-nimang bayinya. Sambil tersenyum kecut ia mengelap-elap jidat si bayi yang tidak pula berkeringat rupanya.

Tak menjawab, Wulan masuk lagi ke dalam rumah bersama sang bayi meninggalkan ketiga muda-mudi itu. Masih ada sayur lodeh dan sambal terasi yang masih harus dibuatnya.

Indra, Tri, dan Asti, tiga mahasiswa dari Surabaya, yang sedang KKN di Desa Krasakan, Tulungagung. Seharusnya sih mereka berlima, namun dua lagi kawannya baru akan tiba esok lusa setelah pulang dari lomba di Jakarta.

"Anu, Napi apa sih, Tri? Pembunuhan apa?" Asti yang malas menguping orang-orang memang selalu terlambat dengar desas-desus seperti ini. Kalau ada bagi sembako pastilah ia kehabisan antrean.

"Katanya napi yang dipenjara karena bunuh mantan Kades di desa ini 15 tahun lalu, besok bebas. Makanya warga pada was-was." Kata Tri.

"Walah. Emang orangnya ngeri bener? Kenapa orang-orang pada was-was?" Ujar mahasiswi agribisnis tersebut. Digosok-gosokkan kedua telapak tangannya ke bajunya, membersihkan jejak-jejak ingus. Malas sekali mencuci tangan. Lalu, dicomotnya sepotong tempe goreng yang belum juga menarik kedua kawannya yang lain.

"Malas lah orang-orang berurusan sama dia." Indra ikut mengambil sepotong tempe goreng. "Pusing pula mau bagaimana kalau ketemu sama dia." Timpalnya dengan logat Medan khas bicaranya.

"Ah, ayo kita ambil piring dulu! Sudah laper nih aku." Indra si mahasiswa Hukum memang pandai menghasut rupanya. Dua kawannya yang sebenarnya belum juga lapar mau tak mau mengikuti saja ajakannya.

Di dapur yang acak-acakan terlihat Wulan---yang juga terlihat acak-acakan---menggendong bayinya sambil mengulek beberapa cabai. Ah, repot sekali perempuan itu. Melihat ketiga muda-mudi itu datang, ia lekas-lekas menyodorkan sewadah besar berisi sayur lodeh kepada salah satunya. "Suwun, mbak." Kata Tri begitu menerimanya.

"Besok jangan kemana-mana. Napi yang kalian bicarakan tadi, dia nggak bahaya. Tapi..." Belum selesai meneruskan kalimatnya, anak yang digendongnya menangis. Buru-buru mantu Bu Sri itu menaruh ulekan dan mencuci tangannya di keran.

"Tapi, opo mbak?" Tanya Tri dan Asti hampir bersamaan yang membuat mereka sama terkejutnya dan saling bertatapan.

"Aduh, lupa." Digoyangkan badan kecil si bayi ke kanan ke kiri dengan irama yang tetap. "Wes, pokoknya, besok nggak usah kemana-mana. Kalian nanti juga tau sendiri. Apalagi Mas Tri, Mas Indra nginepnya di rumah Kades Yudi. Mbak Asti juga nanti malem, Ibuk mesthi cerita tanpa diminta." Wulan mengangkat cobek dengan tangan kanannya. Tangan satunya masih memegang bagian bawah kepala si bayi. Disodorkannya cobek ke pemuda yang satu lagi. Lekas ketiganya mengikuti Wulan ke luar dapur. Wulan bergegas menidurkan bayinya di kamar membiarkan tiga muda-mudi itu makan duluan tanpanya. Bisa-bisanya masakan perempuan yang selalu tampak kerepotan itu masih saja enak.

Ketiganya makan saja siang itu seperti lupa apa yang harus dibicarakan sebelumnya. Tanpa kesepakatan yang diucap lantang, mereka seperti menurut saja apa kata Wulan. Kita lihat saja besok hari apa yang dimaksud perempuan itu.

---

Keesokan harinya Tri dan Indra diam saja di kamar. Tri melirik-lirik sudut kamar dan membayangkan sapu kamar yang mungkin bisa ia jadikan senjata kalau kalau ada apa-apa. Indra cuek saja membaca buku berjudul Kumpulan Cerpen Mimpi Basah yang, sebelum berangkat KKN, disuruh pacarnya untuk dibawanya serta buku itu. Sementara Asti, ia sedang belajar membantu Wulan memasak padahal ia sama sekali tidak pernah tertarik untuk memasak. Tapi ternyata memasak lebih mudah daripada dititipi bayinya.

Di siang bolong hari itu, tepat selepas para laki-laki pulang dari masjid untuk sholat Zuhur, seorang pria yang sejak lama dibicarakan, datang ke rumah Kades Yudi. Kades Yudi yang baru saja mencomot pisang goreng di meja makan, berdecak hatinya bergembira. Tahu kiranya ia pastilah suara asing yang tak dikenalnya itu adalah orang yang dinantinya berhari-hari ini. Akhirnya dapat juga bertemu dengan orang itu.

Bergegaslah ia menuju pintu depan. Di sana, di teras rumahnya, seorang pria dengan tubuh lebih pendek darinya, tak juga lebih gemuk, dengan rambut yang amat rapinya, menundukkan kepalanya dengan pandangan sayu. Bajunya yang rapi mengeluarkan aroma melati gambir, yang pastilah ia duga berasal dari parfum yang sama yang berasal dari aroma sang anak gadis yang ikut menemaninya datang.

"Walaikumsalam. Monggo pak, pinarak." Sopan sekali Kades Yudi menyambut sang pria dan anak gadisnya.

"Saya Sapto, Pak Kades. Ini anak saya. Wati." Suara itu tak parau terdengar seperti perkiraannya. Sangat lembut namun tegas. Seperti suara pria gagah yang sedang berusaha mempertahankan sesuatu berharga miliknya.

"Monggo pinarak. Silakan masuk." Kades Yudi mempersilakan tamunya seperti biasa. Yang dipersilakan masuk beriringan mengikuti tuan rumah.

Di kamar mereka, Tri dan Indra saling melirik dan memelankan suara yang tadinya tidak juga keras. Nyaris seperti suasana kuburan di perbatasan desa yang sepi dan mencekam, suara dari luar rumah pun sepertinya memang sengaja dibuat redam. Orang-orang yang berpapasan dengan ayah-anak itu di jalan sebelumnya, beberapa ada yang mengikuti diam-diam. Bertemu orang-orang lainnya mereka saling memberi isyarat tanpa berkata-kata. Itu dia, itu dia orangnya! Napi yang 15 tahun lalu bunuh Pak Kepala Desa!

Sapto dan Wati duduk di kursi sofa yang amat lembut rasanya ketika mereka sengaja raba perlahan. Sapto merasa puas sangat setelah meraba lengan-lengan sofa yang bukan main nyaman terasa dibandingkan dengan lantai penjara yang lima belas tahun ditidurinya.

"Selamat atas bebasnya Pak Sapto. Saya yang seharusnya menyambut di rumah panjenengan. Tapi kayaknya saya keduluan. Sepurone, Pak." Suara Kades Yudi terdengar begitu nyaring hingga ke sudut-sudut ruang kamar Tri dan Indra. Kedua pemuda itu tak perlu repot menempelkan telinga ke daun pintu untuk menguping.

"Maturnuwun, Pak Kades. Saya hanya ingin melaporkan diri. Saya mungkin warga lama, tapi sekarang saya juga warga baru. Sudah seharusnya saya lapor." Ujar Sapto yang tak juga gugup terlihat.

"Terimakasih, Pak. Saya yang warga baru. Baru dua tahun ditugaskan disini. Istri saya masih suka bolak-balik ke Surabaya. Semoga bapak berkenan dengan kepengurusan selama saya disini." Kades Yudi berkata dengan begitu ramah seperti biasa. Tak lupa ia berteriak kepada Yu War yang ada di dalam rumah untuk lekas membuatkan minuman.

Tri lekas memberitahu Asti lewat pesan chat. Yang dikirimi pesan sudah tahu apa kiranya isi chat yang diterima. Gadis itu sedang ikut mengintip bersama Bu Sri melalui sela-sela daun jendela yang ada di samping rumah. Sesekali ia kehilangan konsentrasi karena sibuk menggaruk jari-jarinya yang gatal akibat alergi.

"Anak saya Wati. Dia sudah besar. Tapi dia tidak kenal saya. Saya sudah dipenjara sejak anak ini masih lima tahun. Tidak ada yang bawa dia menengok saya. Ibunya tiada kabar sejak, ngakunya, merantau. Bapak tahu dia kemana?"

Kades Yudi menggeleng. Raut wajahnya tiba-tiba berubah sendu mengikuti nada bicara Sapto yang berganti seperti orang sedang malu-malu. Gadis disampingnya tak kalah malunya. Sedari datang ia hanya bisa menundukkan kepala tanpa ada ingin untuk mendongak barang sesudut dua sudut.

Kades Yudi hanya pernah menjumpai gadis ini satu kali sebelumnya. Saat ia tiba pertama kali di desa ini dua tahun lalu, ia berkeliling desa untuk melihat-lihat dan menyapa warganya. Gadis itu tinggal sendirian di sebuah gubuk. Tetangga kanan-kirinya bilang ia nyaris tak pernah keluar. Ketika bertemu dengannya saat itu pun, ia harus mengetuk pintu gubuk itu sebanyak sepuluh kali lebih, barulah dibukanya oleh si gadis. Saat itu raut wajahnya masih sama. Tak terlihat jelas oleh tunduk malunya yang urung berubah. Malang sungguh gadis ini.

"Ibu saya sendiri juga tak lama meninggal setelah saya dipenjara. Bapak tahu dimana kuburannya?"

Kades Yudi menggeleng. Sapto tersenyum sambil mengikik kecil. Kekehannya entah mengapa, mengerikan sekali baginya. Kades Yudi hampir-hampir reflek mengangkat kakinya melihat senyuman ngeri laki-laki itu yang ia tak yakin alasan dibaliknya.

"Saya ingin membalas semuanya." Suara Sapto melantang lagi. Kades Yudi mengangkat kaki-kakinya setinggi sepuluh senti. Dari arah dapur, Yu War menjatuhkan gelas. Tanpa diketahui siapapun, tangannya gemetaran. Sementara Tri dalam selangkah cepatnya, sudah menggenggam sapu di tangannya. Indra sudah menutup bukunya yang ternyata adalah sebuah novel dewasa. Hormon birahinya berubah menjadi hormon adrenalin yang sedang bersiap mengikuti apa yang diperintah otaknya sebentar lagi.

"Saya ingin ke kuburan ibu saya. Wati akan antar saya. Setelah itu saya antar lagi Wati kemari." Kata-kata Sapto begitu lugas. Disampaikannya tanpa jeda seperti sebuah hafalan.

"U...untuk apa?" Tanya Kades Yudi. "Maksud saya, ada yang bisa saya bantu, Wati?" Kades Yudi menoleh ke arah Wati. Ia tak tahan ditatap lekat-lekat begitu oleh Sapto. Pria itu tidaklah bertubuh besar atau lebih besar darinya. Tapi entah mengapa seperti memiliki kemampuan intimidasi yang mirip-mirip dengan sang istri.

"Anak saya, mau saya sekolahkan. Dia tidak tamat SD apalagi SMP, SMA." Jawab Sapto. "Saya saja tamat SMP. Di lapas masih dapat pula bimbingan keterampilan gratis. Anak saya, siapa yang sekolahkan? Tidak ada yang peduli."

Kades Yudi melotot. Ia baru saja menyadari sesuatu. Orang-orang seperti Sapto ini memang berbahaya. Lebih bahaya dari pembunuh. Pantas saja ditakuti kehadirannya.

"Saya, mau titipkan anak saya. Saya mau cari kerja buat sekolahkan anak saya. Disini tidak ada yang mau kasih kerja saya, kan? Nanti takut saya bunuh katanya. Padahal saya cuma bunuh binatang."

Kades Yudi masih melotot. Yu War masih gemetaran. Tri masih memegang sapu, dan Indra disampingnya sudah berubah posisi duduk jadi berdiri. Hanya Asti dan Bu Sri di rumah sebelah yang sedang mondar-mandir ikut sibuk menenangkan bayi Wulan yang tiba-tiba menangis tak mau berhenti.

"Saya dengar bapak punya putri seorang mahasiswa. Saya, minta tolong atas kelalaian warga bapak mengabaikan putri saya. Tolong anak bapak ajari anak saya selama saya titipkan disini. Saya akan bayar biaya makan dan tinggal anak saya. Juga biaya anak bapak ajarin anak saya. Jika bapak masih mau beri anak saya sembako gratis seperti selama dua tahun ini, anggap saja, saya berhutang itu sampai saya dapat uang."

Sapto menggulung kedua lengan kemejanya. Kades Yudi menurunkan kaki-kakinya yang sedari tadi ia tumpangkan di udara. Ia sangat ingin menolak. Tapi tidak juga bisa menolak. Benar juga seharusnya Wati adalah tanggung jawabnya selama ini. Dari kebutuhan makannya, begitupun pendidikannya. Tapi yang terakhir itu, bagaimana bisa lupa.

"Anu, saya tidak punya anak mahasiswa, Pak. Anak saya satu, masih SD. Mungkin bapak salah dengar." Kades Yudi menghentikan kalimatnya. Ia terpikir kenapa Yu War tidak juga datang. Panas sekali tenggorokannya tiba-tiba terasa. "Anak-anak mahasiswa yang ada di rumah saya sekarang cuma mahasiswa yang sedang KKN dari Surabaya. Cuma dua bulan kurang disini.

Sapto berpikir sejenak. "Mboten masalah. Saya mau minta tolong saja anak saya dititipkan disini dan bantu diurus sekolahnya. Saya nanti kirim uang ke bapak saja biar saya lebih tenang."

Kali ini Kades Yudi yang berpikir beberapa lama. Ia tidak mungkin menolak. Istrinya bisa marah, tapi bisa juga tidak. Ah, itu soal nanti. Yang penting iyakan saja dulu.

"Ya, sudah. Pertama-tama saya mohon maaf, Pak Sapto. Saya sudah lalai memerhatikan kebutuhan anak bapak. Benar seharusnya warga dan perangkat desa ada yang inisiatif sekolahkan Wati. Saya akan bantu Wati sekolah."

"Beruntung saya belum mati. Kalau sudah, Wati ini akan di gubuk sampi mati." Sapto menyilangkan kaki kirinya ke atas kakinya yang kanan. "Saya tahu. Keluarga mantan Kades itu yang buat anak saya sendirian seperti sekarang. Sampai-sampai, anak saya kayak orang bisu." Sapto melirik ke anak gadisnya. Yang dilirik makin menundukkan kepala.

"Baik, Pak. Baik. Setelah ini Wati akan tinggal disini. Saya akan minta mahasiswa-mahasiswa KKN disini untuk bantu ajarin Wati setiap hari. Lagi pula anak-anak itu juga nggak ada kerjaan." Ujar Kades Yudi mulai kembali ke nada bicaranya yang biasa.

Di dapur Yu War sudah tidak gemetaran. Tangannya mulai berani meraih pecahan-pecahan kaca gelas. Indra sudah duduk lagi. Tri masih pegang sapu---sebenarnya ia cuma lupa sedang memegang sapu. Bayi Wulan sudah terdengar tidak menangis. Asti dan Bu Sri sudah mengintip lagi walau tak ada juga yang berhasil diintip.

Sapto masih menyilangkan kakinya. Wati masih saja menundukkan kepalanya. Tepat ketika Sapto mencoba membenarkan posisi duduknya karena merasa tak biasa duduk terlalu nyaman di sofa, Kades Yudi masuk ke kamar tamu dan meminta Tri dan Indra untuk membantunya sesuai permintaan Sapto. Tanpa menolak, keduanya segera menyanggupi permintaan itu.

Di ruang tamu Sapto sedang memijat-mijat tangan anak gadisnya. Sambil berkata panjang lebar dengan nada berbisik-bisik ia sampaikan pada anaknya untuk jangan takut dan menurut apa katanya.

"Wati harus berani. Bapak akan bawa Wati kalau sudah punya tempat tinggal di Surabaya. Wati tenang, Bapak nggak akan ninggalin kayak Ibu. Kalau Bapak nggak balik, Bapak pasti mati. Tapi kalaupun Bapak mati, Bapak sekarang bisa tenang karena Wati nggak sendiri. Kades Yudi orang baik, Bapak udah cari tahu dari orang lapas."

Wati tanpa bersuara hanya mengangguk-angguk. Sapto tersenyum penuh syukur. Walau tanpa pendidikan, ternyata anaknya tumbuh menjadi gadis yang masih waras di antara orang-orang yang tak waras.

Lalu, Kades Yudi keluar beriringan Tri dan Indra keluar menuju ruang tamu. "Pak Sapto, Wati. Kenalkan, ini Indra dan Tri. Mereka mahasiswa dari Surabaya. Nanti Wati akan dibantu belajar sama mereka."

Mata Sapto melotot menatap kedua pemuda itu bergantian. Yang ditatap tak kalah mendelik ngeri ditatap demikian menakutkannya. Tak tahu apa salah mereka, keduanya saling bertatapan dan memeriksa penampilan satu sama lain. Kades Yudi tak kalah ngeri. Ia bersiap-siap lari ke arah dapur. Tidak enak rasanya di hati. Apa yang salah?

Sapto berdiri dari duduknya. Ia seperti sedang menahan-nahan sesuatu meledak dari ubun-ubun kepalanya. "Maaf, saya tidak jadi nitipkan Wati. Saya bawa saja dia ke Surabaya sama saya." Sapto berteriak sambil menarik tangan anak gadisnya yang akhirnya mendongakkan kepalanya untuk pertama kali.

Wajah sendunya yang entah mengapa terasa begitu cocok dengan garis-garis wajahnya yang manis. Poni panjang yang jatuh hingga ke bawah alis walau berantakan seperti berhasil melengkapi kelembutan  sorot matanya yang pilu, membuat wajahnya tampak begitu murni. Gadis itu, gadis yang dibawa ayahnya untuk menuntut keadilan itu, gemetaran begitu hebat. Nafasnya seketika sesak menggulung jantungnya yang hampir-hampir tak ada ruang untuk berdetak. Bayangan di kepalanya berkelebat kembali ke masa lima belas tahun lalu dimana disaksikannya kejadian yang sejak saat itu, membuatnya bermimpi buruk setiap malam. Teriakan sang ayah membuatnya kembali seperti bermimpi walau ia tahu benar sedang terjaga.

"Saya tidak sudi meninggalkan putri saya tinggal dengan binatang-binatang yang tak jelas asal-usulnya." Begitulah teriakan Sapto terakhir terdengar di desa itu. Begitu pula dengan sesak nafas dan tunduk pilu sang putri yang tak lagi menghantui gubuk tua dengan melati gambir tumbuh memenuhu halaman mereka. Segera sang ayah membawa serta anaknya tanpa alasan yang tidak siapapun tahu pasti. Hanya bisa menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi.

Di dapur, Yu War masih membersihkan sisa-sisa pecahan gelas. Dibuangnya teh yang telah dibuat namun tak jadi disajikan. Tangannya sudah tidak gemetaran. Tapi nafasnya menjadi sesak dan tubuhnya melemas. Bayangannya kembali ke kejadian yang disaksikannya lima belas tahun lalu. Kejadian yang tak ada satupun yang tahu ia ikut menyaksikannya. Kejadian yang sejak saat itu membuatnya mual tiap kali harus bertemu dengan pria-pria tua dari kota. Dan juga kejadian yang sejak saat itu membuatnya rutin menyisihkan gajinya sebagai pesuruh untuk dibelikan sembako dan diberikan kepada seorang gadis yang ditinggal sang ayah yang menjadi korban ketidak adilan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun