Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

“Yippieee..!” Ada teriakan koboy di kebun sawit

4 Oktober 2013   14:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:00 684 1
Saya, Pak Asep serta dua orang staff Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Department Kehutanan Kabupaten Kotawaringi Barat, Kalimantan Tengah, mendapat kesempatan untuk melihat-lihat sebuah inovasi agribisnis yang relatif baru di perkebunan sawit. Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam dari Pangkalan Bun, kendaraan berpenggerak empat roda yang kami tumpangi berbelok ke kiri kemudian berhenti di sebuah gerbang terhalang portal. Hanya sebentar saja pak sopir melakukan upacara laporan kedatangan ke petugas jaga karena kami memang sedang ditunggu. Jalan hotmix mulus yang menghubungkan Pangkalan Bun – Sampit berganti jalan keras berpermukaan kerikil ketika kami memasuki areal perkebunan.

Bulan September hampir berakhir, tapi hujan tak kunjung datang di wilayah ini. Permukaan jalan yang tergilas roda kendaraan menghamburkan debu putih. Pandangan mata terhalang pekatnya debu yang bergumpal-gumpal ketika kami berpapasan atau melaju di belakang truk pengangkut buah sawit yang baru dipetik. Kami telah memasuki areal perkebunan kelapa sawit PT. Citra Borneo Indah (CBI). Pokok-pokok sawit yang berjajar dengan daun menjuntai di sisi kiri kanan jalan berhiaskan bedak debu putih kecoklatan yang terlalu tebal.

Mobil berbelok ke kiri melepaskan diri dari jalur jalan yang penuh debu. Rimbun pepohonan sawit dengan tumbuhan sela bekas cover crop yang menjalar, rumput,dan gulma tumbuh subur menutupi permukaan tanah di keteduhan. Tegakan-tegakan sawit nampak seperti barisan tentara yang berdiri di atas karpet hijau yang tebal. Mobil terus laju menuju gerbang yang lagi-lagi terhalang portal dijaga seorang satuan pengaman. Upacara formalitas pelaporan kembali berlangsung singkat kemudian portal terangkat mempersilahkan mobil masuk menuju sebuah bangunan.

Di kantornya, Pak Dwi Hartanto manager Sulung Ranch di areal perkebunan sawit PT. CBI menyambut kedatangan kami dengan hangat. Berbincang dengan beliau yang masih tampak energik di usianya yang telah berkepala enam sangat menyenangkan. Setelah berbasa-basi, beliau bercerita mengenai segala hal terkait sawit dan sapi. “Sapi kami baru sekitar seribu seratus lima puluh ekor. Sekarang, delapan puluh persen kebutuhan pakannya bisa dipenuhi dari perkebunan dan limbah pabrik di sini. Sisanya kami datangkan dari Jawa”, ujarnya. Pengalaman beliau selama belasan tahun di sebuah ranch di Sulawesi Selatan dan empat tahun di Queensland Australia menjadikannya sangat paham dengan segala hal terkait sapi.

“Baiklah, sekarang mari kita berangkat untuk melihat-lihat”, Pak manager berdiri dari kursi, meraih topi cowboy-nya mengajak kami keluar kantor menuju kendaraan. Hmmm… rupanya kendaraan yang membawa kami dari Pangkalan Bun tadi adalah kendaraan operasional ranch ini. Sekarang Pak Manager sendiri yang menjadi sopir merangkap guide untuk berkeliling.

Kendaraan merayap sepanjang jalan di antara blok-blok kompartemen kebun sawit berbentuk kotak ukuran 1.000 kali 300 meter. “Kita berhenti dulu di sini untuk lihat perbedaan antara blok kebun di sebelah kiri dengan blok di kanan”. Pak Dwi menjulurkan tangan menunjuk blok kebun di kiri dan kanan jalan. Memang terlihat jelas perbedaan kondisi vegetasi di bawah rimbunan pokok sawit di kedua blok yang ditunjuknya itu. Permukaan tanah di kebun sawit sebelah kanan jalan tampak bersih dari tumbuhan sela tetapi di kebun sawit sebelah kiri masih penuh legum sisa cover crop, rumputdan gulma.

“Untuk blok kebun seluas tiga puluh hektar ini, kami melepas sekitar tiga ratus ekor sapi. Dua atau tiga hari sudah bersih seperti ini”. Pak Dwi menghadapkan badan ke arah kebun sawit tanpa tumbuhan sela. “Sapi-sapi yang digembalakan di sini, telah dipindahkan, sekarang mari kita lihat blok yang sedang ada sapinya”. Beliau mengajak kami melanjutkan perjalanan.

Di perempatan jalan nampak satu blok dikelilingi dua baris pita putih. Pita-pita memanjang itu disangkutkan ke jajaran tiang-tiang besi sebesar jari setinggi satu meteran berbalut selang plastik. Di sudut blok nampak panel sel surya tengadah di atas tiang penopang dan satu aki tergeletak di atas tanah. Ternyata pita putih itu merupakan pita beraliran listrik yang mengelilingi blok kebun. Pagar ini berfungsi untuk menjaga sapi-sapi supaya tidak keluar dari areal penggembalaan. “Ini yang luput dari pikiran saya”, Pak Asep bergumam mengomentari pagar listrik portable yang sangat praktis dan mudah dipindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain.

“Satu pembangkit bertenaga surya itu bisa untuk pagar listrik sejauh lima kilometer. Jadi, untuk tiga ratus ekor sapi di satu blok cukup satu set pembangkit listrik dengan dua atau tiga orang penggembala saja.” demikian penjelasan Pak Dwi. “Vegetasi bawah masih rimbun di areal sini, berarti sapi-sapi masih di ujung sana”, lanjutnya. Beliau mengajak kami menuju tempat sapi-sapi berkumpul di ujung blok sisi lain.

Pelepasan kelompok sapi di areal kebun sawit adalah dalam rangka breeding. Gerombolan sapi digembalakan berpindah-pindah dari satu blok ke blok lain, mereka hanya makan, makan, dan makan. Rumput, perdu, dan legum yang menjalar begitu berlimpah. Air untuk minum cukup tersedia. Naungan pokok sawit yang rimbun sangat nyaman untuk berteduh sambil memamah biak.

Gerombolan sapi nampak pada jarak sekitar lima ratus meteran di depan mata. Sapi-sapi yang sedang merumput didominasi oleh sapi bali. Beberapa jenis lain dan peranakan nampak berbaur menikmati hidangan alami. Kami terus mendekat ke kelompok mamalia yang sedang asyik merumput itu. Pedet beraneka usia melompat-lompat di samping induknya. Sebagian seperti tak perduli dengan sekitar saat bergantung khusuk menikmati susu ibunya. Pedet yang telah cukup umur, yang telah disapih dari induknya berkeliaran mencari makan sendiri.

“Tingkat kelahiran sapi bali mencapai tujuh puluh persen, pedet-pedet itu semua lahir alami di kebun sawit di sini”, Pak Dwi tak berhenti memberi informasi, pandangan matanya menyisir sapi-sapinya satu persatu.

Makin mendekati gerombolan herbivora itu, makin jelas tindik dan nomor tag di telinga kirinya. Anting-anting yang menempel di telinga bertuliskan kode nomor tertentu. Nomor anak mengandung nomor induknya. Sistem penomoran seperti ini dimaksudkan untuk memudahkan penyeleksian terhadap produktifitas sapi betina. Indukan yang tidak produktif atau telah selesai masa baktinya sebagai induk akan dipisahkan kemudian beralih tugas sebagai sapi pedaging. Demikian juga dengan sapi jantan yang tidak masuk seleksi jadi pejantan unggul, mereka dikaryakan sebagai sapi pedaging.

Di seberang bangunan pengolahan pakan ada sebuah kandang besar tempat penggemukkan sapi secara intensif. Beberapa ekor sapi gemuk-gemuk sedang melahap makanan yang disediakan di tempatnya. Dalam sehari tiap ekor sapi di kandang penggemukan mendapat jatah sekitar delapan puluh kilogram makanan bergizi dan lima puluh liter air minum.Disamping area kebun sawit yang dijadikan sebagai area breeding, Sulung Ranch mempunyai kandang-kandang penggemukan intensif dengan pakan olahan. Di perjalanan menuju tempat pengolahan pakan kami melewati lahan penanaman taiwan grass, semacam rumput gajah untuk campuran bahan pakan.

Taiwan grass ini sangat cepat tumbuh. Dari satu stek bibit yang ditanam bisa tumbuh sampai lima puluh rumpun dengan ketinggian satu meter atau lebih. Manager ranch itu memberitahu bahwa masyarakat sekitar yang berminat menanamnya dapat memperoleh bibit rumput di sini, gratis.

Mobil berhenti tepat di depan bangunan kayu bertuliskan forage processing center. Mesin pencacah rumput bergemuruh memotong-motong taiwan grass menjadi potongan-potongan berukuran sekitar lima centimeter. Beberapa pekerja sibuk mengepaknya ke dalam karung untuk didistribusikan ke kandang-kandang penggemukan.

Bangunan terbesar di areal ini adalah feed mill processing center. Di sini limbah pabrik CPO seperti bungkil, limbah kebun berupa pelepah segar dan campuran bahan-bahan lainnya diolah menjadi pakan sapi bergizi. Bahan-bahan kering di dalam karung-karung dan bahan-bahan basah dalam beberapa tong plastik besar tersusun rapih mengelilingi lantai tempat pengadukan di tengah bangunan. Ibu-ibu dan pekerja laki-laki nampak bergiat mengangkut lalu menumpahkan isi karung sesuai dosis.

“Bungkil sudah semua ya… dedaknya kurang tiga karung lagi…”, pak mandor, lebih tepatnya chef di dapur sapi memegang pena sibuk mencorat coret buku catatan. Seorang lelaki paruh baya yang sedang sibuk menumpahkan isi karung di dekat pak mandor mengacungkan tiga jari ke arah ibu-ibu di tempat yang jauh di samping tumpukan karung dedak. Dengan sigap, si ibu menurunkan tiga karung kemudian diangkut dengan troli dorong ke tengah arena pengadukan untuk disobek kemudian ditumpahkan.

Chef di dapur gizi bertanggung jawab terhadap ketersediaan pakan. Di sudut dinding ruangan terpampang whiteboard ukuran besar berisi tabel catatan-catatan stok bahan baku dan bahan jadi yang belum dan yang telah didistribusikan. Seluruh pekerja nampaknya telah paham betul dengan tugasnya masing-masing.

Sapi-sapi montok tak henti menyantap makanan yang disediakan di kandang penggemukan. Mahluk hidup dengan bobot rata-rata sekitar enam ratusan kilogram itu bermetamorfosis menjadi mesin produksi lemak dan daging. Mereka jelas sedang memperagakan sebuah proses pembuatan makanan manusia melalui mesin dengan sistem input-output. Input berupa pakan dari limbah sawit dan campurannya diproses di sebuah mesin berbungkus daging gempal. Ouputnya sebagian tersimpan di tubuh mesin itu, sebagian lagi dikeluarkan dalam bentuk bahan pupuk organik yang mengandung biogas.

Lepas makan siang dan menikmati secangkir kopi arabica dari dataran tinggi Kerinci, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah lokasi dimana sapi-sapi untuk breeding dikelola dengan pola semi intensif. Sebuah bukit lapangan rumput menghampar di depan mata. Lapangan dengan beberapa pohon peneduh ini dikelilingi pagar kayu permanen khas sebuah pagar ranch yang biasa terlihat di film-film. Di tengah lapangan tampak bangunan memanjang seperti koridor beratap asbes. Beberapa ekor sapi terlihat asik merumput, sebagian lagi bergerombol di sisi pagar.

Mobil tiba di depan gerbang tak berpenjaga. Pak Ismail turun untuk membuka pintu gerbang yang tertutup rapat terlilit rantai besi. Pintu pagar kayu yang menderik ketika dibuka seakan menjadi aba-aba untuk mulai memetik gitar banjo. Kendaraan merayap memasuki ranch, musik irama country mengalun dalam lamunan.

Dibalik kemudi, Pak Dwi menengok kiri dan kanan kemudian menghentikan mobil. Beliau meraih radio komunikasi yang menempel di bawah dashboard, memanggil-manggil sebuah nama dan menyebut lokasi.

“Krrrsss…. rojer pak, dikopi… ada apa pak?... ganti… krrrssskk…”, terdengar bunyi sahutan di radio.

“Sapi kamu masuk ke areal lain… ada… satu… dua… sepuluuuh… aahh, lima belas ekor… cepat ditarik… ganti…!”

“Krrrsss… nggih pak… rojer… sudah dimonitor… krrrsssh…. sedang ditunggu kumpul di tempat makan dulu untuk ditarik… pak… krrsss… ganti…”

“Baik… tapi periksa pagar keliling yang bocor ya… ganti”

“Krsss… nggih pak… rojer… sudah diketahui pak… ganti”

“Ok… standby…”

“Krsss… nggih pak… rojer… stenbay pak… siap…”

Pak Dwi menjelaskan bahwa areal mini ranch dengan pengelolaan semi intensif ini terbagi-bagi ke dalam beberapa blok padang penggembalaan. Tadi beliau melihat ada lima belas ekor sapi bali di blok sapi peranakan. Walau bagaimanapun lima belas ekor sapi nyasar itu harus dipindahkan. Uuuh… terbayang beberapa koboy berkuda sambil teriak-teriak: “Yippiie…! Yippiiieeee….! “ Penunggang kuda semakin mendekati sapi lalu memutar-mutar tali laso, melemparkannya, menjerat leher kemudian menuntun sapi yang terjerat laso untuk dipindahkan ke tempatnya.

Mobil merayap di atas jalan tanah di antara rerumputan di dalam ranch. Bangunan berbentuk koridor memanjang itu ternyata “meja makan” para sapi. Tiga orang pekerja sedang menghidangkan berkarung-karung cacahan taiwan grass ke atas campuran bahan pakan bergizi berwarna coklat muda penuh serat pelepah daun sawit. Aroma serundeng bercampur harumnya getah rumput segar membuat gerombolan para sapi yang menanti di luar pagar kelihatan tak sabar.

“Mooo… mooo…”, mereka berteriak sahut-sahutan. Bergerak kesana kemari seperti gelisah. Mungkin bunyi-bunyi seperti ini yang menginspirasi lagu anak-anak, old McDonald had a farm.

Moo… moo… here…, moo… moo… there… iya iya ooo…!

Dari lapangan rumput pemandangan terbuka ke berbagai arah. Di kaki bukit nampak danau luas dikelilingi pepohonan rimbun menghijau. Air dari danau itu dipompa ke atas puncak bukit tertinggi di sekitarranch, ditampung di bak besar kemudian didistribusikan dengan gravitasi melalui pipa-pipa paralon ke bak-bak penampungan yang tersebar di padang gembala. Makanan dan minuman yang berlimpah dan segala kebutuhan yang terpenuhi telah membuat seribu seratus lima puluh ekor sapi di kompleks ranch ini tampak sehat-sehat.

Matahari telah condong ke arah barat, kami telah berada kembali di ruang kantor Pak Dwi untuk persiapan pulang. Beliau menyalami kami satu persatu ketika kami berpamitan. Wajah yang penuh senyum itu melambaikan tangan ketika mobil melaju perlahan meninggalkan ranch. Tak ada bunyi musik di dalam kabin tapi suara hati telah melantunkan sebuah lagu ceria sedari tadi…

“Saya ini si gembala sapi… yippieee… yippieee… yippieee…!”

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun