Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

I Love U Anyway

14 Oktober 2011   11:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:57 159 0
Mungkin tetangga saya itu, yang memindahkan tangga pada malam tahun baru itu, adalah dia yang baru saja membaca sejarah perjuangan Thoriq bin Ziyad dan pasukannya yang membakar perahu ketika mereka sampai di wilayah musuh, mereka membumi hanguskan armadanya dengan satu tekad; menang atau gugur, lalu orang-orang mengenal dan mengenangnya dengan nama Selat Gibraltar. Atau mungkin saja dia baru selesai membaca penggalan puisi Taufik Ismail; “karena berhenti atau mundur, berarti hancur”. Tapi saya dan dua orang kawan yang sedang duduk di atas genteng itu bukan pasukan perang, kami hanya menunggu langit Jakarta dibedaki oleh kembang api, kami hanya menemani jejentik jam sambil main gitar, minum kopi hitam, makan kacang yang dibeli dari Alfamart, dan membakar cigarette. Jam baru berangkat dari pukul 22.49, angin malam sedap betul mendinginkan hawa panas yang sudah menjadi penghuni tetap ibukota, waktu terdengar bunyi yang mencurigakan, bunyi tangga kayu yang bergeser, dan benar saja tangga yang tadi dipakai untuk naik ke atas itu sudah tidak ada di tempatnya, dan bayangan hitam terlihat bersicepat meninggalkan TKP. Kami tidak panik, hanya sedikit jengkel saja, selebihnya adalah hawa dingin yang mulai terasa kurang nyaman. Saya kemudian membakar lagi cigarette batang ke tiga, dan naik ke atas torn, ke atas tempat penampungan air yang berwarna oranye. Sementara dari bawah, dari jendela kamar saya yang sedikit terbuka, masih terdengar suara Rekti :

“When you where young and on your own, how did it feel to be alone?, I was always thinking of game that I was playing, trying to make the best of my time, but only love can break your heart, what if your world should fall apart?.”

***

Lalu besoknya adalah tanggal merah, kalender menyuruh saya libur; “Jangan bekerja lebih baik nonton film,” begitu kurang lebih bisiknya. Tapi hari itu sedang tak ada stok film baru, sudah beberapa bulan tidak mengunjungi Glodok. Membaca buku sedang tidak minat, dan menulis tengah ditinggalkan gairahnya. Hari tanpa jadwal adalah cara yang halus untuk menyiksa manusia. Kata siapa menganggur itu menyenangkan?. Genangan seringkali menyisakan bau busuk, maka bergerak adalah jalan keluar untuk mempecundangi bosan. Maka air yang bergerak dan berhamburan dari atas, yang kita sebut dengan hujan adalah sebuah gerak yang berhasil membunuh rasa bosan, setidaknya buat saya, siang itu. Kadang-kadang, menulis dan hujan, hampir mirip seperti kopi dan cigarette. Akhirnya saya menulis, isinya cenderung beraromanya merah jambu, ya, perempuan wangihujan itu datang lagi, tapi kini dalam jiwa yang berbeda. Lelah menulis, lalu membaca lagi beberapa catatan resensi yang ditulis beberapa waktu ke belakang :

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun