Menjejakkan kaki pertama kali di Kathmandu, kesan pertama semerawut dan kumal. Melangkahkan kaki lebih jauh ke dalam, baru terasa ada sesuatu yang tidak biasa di kota ini. Terbukti akhirnya saya kembali untuk yang kedua kali dan kemudian ketiga kali. Kemanapun kaki saya melangkah, kemanapun lensa kamera mengarah tidak ada yang mengecewakan. Kota ini begitu kumal dan lusuh tapi seperti mengeluarkan keindahan yang tidak kasat mata. Tiba di bandar udara internasional Tribuvan seperti mundur 20 an tahun yang silam. Jajaran pesawat maskapai penerbangan lima bintang yang parkir di apron segera hilang dari pandangan, berganti dengan gedung terminal yang sepertinya kekurangan cahaya. Serba gelap dan remang. Barisan pengunjung yang antri untuk mendapatkan visa on arrival mengular cukup panjang. Pencatatan dan penempelan visa yang dikerjakan secara manual memberi cukup alasan untuk menggerutu. Tapi petugas imigrasi melayani dengan ramah dan tersenyum, gerutu tidak jadi terlontar digantikan dengan obrolan segar. Pemandangan mengejutkan lain ada di jalan raya. Bis angkutan umum yang tua dan dekil, angkot, taksi, manusia, sapi, anjing tumpah ruah. Bunyi klakson tak putus bersahutan cukup membuat kuping berdenging. Tapi tidak terdengan lontaran makian atau teriak gusar. Sesekali terlihat lambaian tangan dan terdengar sapa. Menyusuri kota dengan berjalan kaki lebih menyenangkan. Udara cukup sejuk meskipun saat musim panas matahari bersinar terik. Daerah Thamel menjadi pusat kegiatan bagi para back packers dan pendaki, meskipun disana sini terlihat juga wisatawan yang sedang mencari buah tangan. Penginapan kelas hotel sampai losmen, rumah makan, toko souvenir, money changer, toko yang menjual dan menyewakan peralatan mountaineering sangat mudah dijumpai. Mobil, motor, becak, pejalan kaki berjejalan di jalan sempit. Klakson tanpa makian dan teriak gusar. Lebih sering terdengar sapa dan terlihat senyum Durbar Square di daerah Patan memberi suasana yang berbeda. Sejak pagi hingga sore hari terlihat orang melakukan ritual doa dan bersembahyang tanpa henti. Tidak heran karena di tempat ini memang banyak dijumpai tempat pemujaan. Sedangkan Durbar Square sendiri adalah sebuah komplek dari beberapa temple besar. Begitu banyak manusia dari segala arah. Terdengar banyak sapa, obrolan dan terlihat senyum. Bagi mereka tegur sapa dan senyum bukanlah suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Termasuk pada saya sebagai orang asing yang hanya berkunjung singkat. Bila berpapasan, mereka akan menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, tersenyum sambil berucap "Namaste". Dan sayapun tergerak untuk melakukan hal yang sama dengan tersenyum. "Namaste"
KEMBALI KE ARTIKEL