Latar Belakang Peristiwa
Setelah Jepang menyerah pada Perang Dunia II, Belanda mencoba kembali menguasai Indonesia dengan mendirikan pemerintahan Hindia Belanda baru di bawah naungan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA). Di Sulawesi Selatan, rakyat setempat melakukan berbagai perlawanan terhadap upaya penjajahan ini, terutama melalui kelompok-kelompok milisi yang bertujuan mempertahankan kemerdekaan.
Untuk mengatasi situasi ini, Belanda mengirim pasukan khusus bernama Depot Speciale Troepen (DST) di bawah komando Kapten Raymond Westerling. Tugas pasukan ini adalah memberantas apa yang disebut Belanda sebagai “pemberontak” yang mengancam stabilitas mereka.
Metode Westerling: Kekejaman yang Sistematis
Operasi militer dimulai pada 10 Desember 1946 di Desa Batua, sekitar Makassar. Westerling menerapkan metode yang brutal dan tidak manusiawi, dikenal sebagai metode Westerling:
1. Pengumpulan Massal Warga
Penduduk desa dipaksa berkumpul di tempat tertentu. Siapa saja yang dicurigai terlibat dalam perlawanan akan dieksekusi langsung tanpa proses pengadilan.
2. Intimidasi dan Kekerasan
Westerling menggunakan kekerasan fisik untuk memaksa warga memberikan informasi. Jika tidak ditemukan bukti, mereka tetap dieksekusi demi memberikan efek teror.
3. Pembakaran Desa
Desa-desa yang dicurigai menjadi basis perlawanan dihancurkan dengan cara dibakar habis.
Korban Jiwa
Peristiwa ini menewaskan ribuan warga sipil. Angka korban masih menjadi perdebatan hingga kini:
- Pemerintah Indonesia mengklaim lebih dari 40.000 orang tewas.
- Penelitian independen dan catatan sejarawan Belanda seperti Willem IJzereef memperkirakan korban mencapai 3.000–5.000 orang.
Selain korban jiwa, ribuan lainnya mengalami trauma fisik dan psikologis akibat kekerasan yang dilakukan pasukan Westerling.
Reaksi dan Pengaruh Jangka Panjang
Peristiwa ini tidak hanya menciptakan ketakutan di Sulawesi Selatan tetapi juga menjadi bukti kegagalan Belanda untuk menghormati hak asasi manusia. Di tengah situasi ini, Indonesia melanjutkan perjuangan diplomatik untuk mempertahankan kedaulatan, yang berujung pada pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Pengakuan Belanda atas Kekejaman
Tragedi Westerling sempat menjadi topik tabu baik di Indonesia maupun Belanda. Namun, pada tahun 2013, Pemerintah Belanda secara resmi meminta maaf atas peristiwa tersebut. Permintaan maaf ini diberikan melalui duta besar Belanda di Jakarta. Pada tahun 2015, pengadilan di Belanda memutuskan untuk memberikan kompensasi kepada keluarga korban, meskipun jumlahnya dianggap tidak sebanding dengan kerugian yang mereka alami.
Mengapa Tragedi Ini Penting untuk Diketahui?
Tragedi Westerling mengajarkan bahwa kemerdekaan Indonesia diraih melalui pengorbanan besar, tidak hanya oleh tokoh nasional tetapi juga oleh rakyat biasa di daerah-daerah. Peristiwa ini juga menjadi pengingat pentingnya mencatat sejarah secara utuh dan jujur, tanpa menutup-nutupi bagian yang kelam.
Meski telah berlalu lebih dari 70 tahun, luka akibat tragedi ini masih terasa di Sulawesi Selatan. Bagi generasi muda, mengenal peristiwa ini bukan sekadar belajar sejarah, melainkan juga belajar menghargai nilai kemanusiaan dan kemerdekaan.