Kembali ke awal tahun 2006. Tiara Lestari, model yang pernah menjadi buah bibir masyarakat Indonesia karena keberaniannya tampil polos di majalah Playboy terbitan Spanyol dan sejumlah majalah dewasa di luar negeri, memutuskan untuk ‘pulang’ ke tanah air dan berhenti dari profesinya sebagai model panas. Ia ingin memulai karirnya di Indonesia, meskipun dari nol lagi. Semua ia lakukan, karena menurutnya, atas perintah Ibu. Tiara menjunjung nasihat ibunya sangat. Ia ingin bertobat. Ia pernah menolak banyak tawaran film dan sinetron, dan juga pemotretan yang menyerempet ke urusan pamer tubuh. Ia, ingin konsisten dengan pilihannya.
Dan publik, percaya bahwa Tiara pulang kampung karena ibunya menghendaki. Hanya sedikit orang yang sinis, selebihnya kagum akan niat baik wanita asal Solo ini.
Maret 2012. Abu Rizal Bakrie (Ical), salah satu tokoh Indonesia yang paling popular, mengindikasi tentang peranan ibunya dalam memutuskan pembayaran ganti rugi atas musibah luapan lumpur di lokasi pabrik miliknya yang menimpa sejumlah tempat di Sidoarjo. Ical bilang, ia keluarkan uang trilyunan rupiah, karena titah Ibu. Saya bisa lihat betapa sosok seorang ibu bisa sangat berpengauh dalam sebuah keputusan besar dan mahal yang diambil oleh Ical.
Jika dibandingkan, Tiara mungkin hanyalah satu butir biji sawi. Sementara Ical adalah bergunung-gunung sawi, labu, emas, berlian. Tak sepadan tentu.
Namun, ada hal lain yang tentu bisa saya bandingkan. Ical adalah pedagang, ia politikus. Pertimbangannya dalam membuat keputusan selalu dibuat dengan hitungan untung dan rugi, menang dan kalah. Jika ia rugi di Lapindo, dia akan berburu keuntungan di sektor usaha lain: media, properti, tambang, perkebunan, pertambangan, dan tinggal sebut saja lainnya.
Saat ini, Ical sedang kebelet ingin jadi seorang presiden. Sayangnya, berbagai macam polling tak membuat dirinya bahagia. Terlalu banyak tokoh lain yang ternyata lebih popular dan lebih dipilih masyarakat. Suatu ketika ia berujar, ia mungkin tak akan maju dalam pemilihan calon presiden jika survey terus menyatakan ia kalah.
Sejumlah kalangan mencatat, tanpa melupakana dosa-dosa dagang dan politiknya yang lain, hal yang paling mengotori jejak hidupnya adalah lumpur Lapindo. Noda yang meskipun sudah dibersihkan dengan luapan uang yang berlimpah, namun tak kunjung bersih. Hal yang membuat Ical tak habis pikir. Lalu, sahabat-sahabat dekatnya menghibur Ical. Mereka mengumbar asumsi bahwa kasus Lapindo telah dipolitisir oleh lawan-lawan Ical.
Orang pindah, meninggalkan rumah lama dan menempati rumah yang baru. Merubuhkan yang lama, meninggali yang baru. Rumah hanyalah rumah. Namun tidak dengan kampung halaman. Kampung halaman adalah habitat, di mana ada system dan sekumpulan hal lain yang membuat segalanya bisa mengikat emosi, psikologis, dan fisik seseorang. Bayangkan, setiap hari raya, ribuan bahkan jutaan orang pulang kampung, bukan sekedar untuk berkunjung dan tinggal di rumah lama. Namun berkunjung ke sekampung-kampungnya di mana di sana ada tetangga kiri kanan, langgar, SD Impress dan guru-gurunya yang sederhana, lapangan tempat dulu main bola, mengangon domba, dan menguber layangan, jalan becek tempat pertama kali latihan mengendarai sepeda, pohon belimbing, dan pos hansip tempat membaca komik. Kampung halaman adalah nostalgia.
Dan lumpur Lapindo mengubur semua kenangan. Berapa banyak uang yang bisa mengganti memori yang hilang? Ah, mungkin saya terlalu meremehkan masyarakat Jawa Timur jika hanya menilai ganti rugi dengan uang. Saya juga tak percaya para korban terus menuntut ganti rugi jika hak mereka telah cukup terganti.
Lagi, Ical adalah pedagang, ia politikus. Bagi sebagian orang, ia adalah harta karun. Bagi lainnya, ia adalah duri. Bagi saya, ia, pemimpin partai yang angkuh, pedagang yang pelit. Tak soal berapa peti uang yang sudah ia keluarkan untuk membersihkan diri dari noda lumpur, menurut saya itu tak akan berarti banyak. Dia, apalagi berambisi ingin menjadi seorang presiden, harus mulai bicara dengan hati. Bukan atas hitungan untung-rugi, menang-kalah.
Masyarakat Indonesia adalah manusia-manusia pemaaf. Apa salahnya ia minta maaf? Sekedar menunjukkan bahwa dia masih punya hati. Jika ia tak rela mengakui bahwa bencana lumpur karena kesalahan dari pihaknya, minta maaflah karena orang-orang Sidoarjo telah kehilangan sekumpulan tetangga, lapangan, langgar, pos satpam, pohon belimbing, dan segala rupa yang tak bisa diganti dengan uang. Minta maaflah, karena ketulusan yang datang dari nurani, bukan karena titah seorang ibu.
Tiara Lestari ibaratnya memang hanya sebutir biji sawi, tapi biji sawi yang sebenar-benarnya kebaikan.