Bukan karena nama, tetapi sikapmu yang selalu begitu.
Kau anggap dirimu paling hebat, paling tahu,
Namun berkali-kali buktinya tak pernah menyatu.
Kita pernah duduk bersama,
Membahas rencana, melahirkan asa,
Namun janji-janji itu bagimu seperti udara,
Hadir sekejap, lalu sirna.
Balanda, bukan Belanda,
Tapi sifatmu mirip penjajah lama.
Kesepakatan hanyalah cerita,
Diabaikan saat kau punya cara.
Aku pikir, sekali lagi,
Selain Patoa-Toai, tak ada lagi opsi,
Untuk bekerja sama dengan hati,
Jika prinsip kau anggap hanya hiasan mimpi.
Balanda, kau ajarkan arti kecewa,
Bahwa kata tanpa sikap hanyalah dusta.
Mungkin tak lagi kita bersua,
Karena kerja sama haruslah bermakna.