Damai, entah dalam pengertiannya yang negatif (tiadanya perang dan atau kekerasan fisik) atau dalam pengertiannya yang positif (adil, sejahtera, makmur, sentosa, dll.) tetap saja menjadi impian. Ada teman yang menyatakan bahwa damai akan lebih bermakna bagi masyarakat yang pernah merasakan perang, konflik, rusuh, dll. Kalau soal makna, tentu tak dapat disalahkan.
Perenungan saya tiba pada sedikit keyakinan bahwa semua rekan di Ambon telah mulai berhasil keluar dari "perangkap sosial (Social Trap) situasi mereka. Social trap adalah istilah di bidang psikologi yang diperkenalkan pertama kali oleh John Platt pada tahun 1973. Istilah itu adalah metafora bagi situasi-situasi di mana para aktor sosial mengambil keputusan yang ditentukan oleh penilaian terhadap tindakan-tindakan aktor-aktor yang lain di masa depan. Hal itu sangat berhubungan dengan keputusan untuk saling percaya dan bekerjasama dalam suatu situasi.
Secara sederhana, logika sosial trap adalah sebagai berikut (Rothstein, 2005:12):
- Situasi di mana "tiap orang" diuntungkan karena "tiap orang" memilih untuk bekerjasama.
- Tetapi, jika "seseorang" tidak percaya bahwa "orang lain" dapat bekerjasama, maka tak ada artinya memilih untuk bekerjasama karena suatu kerjasama sangat tergantung dari pilihan bekerjasama semua pihak.
- Jadi, "tidak bekerjasama" adalah pilihan bagi "orang-orang" yang "percaya" bahwa "pihak lain" tidak dapat bekerjasama.
- Kerjasama yang efisien untuk tujuan bersama hanya dimungkinkan jika "tiap orang" percaya bahwa "orang lain" juga akan memilih untuk bekerjasama untuk hal itu.
- Dengan tiadanya kepercayaan itu, maka social trap (perangkap sosial) akan langsung tertutup dan berakhir dengan buruk bagi "semua orang", walaupun ada kesadaran bahwa ada keuntungan-keuntungan tertentu ketika memilih bekerjasama.