Oleh: Usep Danu Sumantri
Surya terang semburat terang diufuk timur, pagi indah penanda bulan berganti. Agustus menggeliat memulai langkah khas di setiap pojok jalan dan gang, terhias ramai warna-warni umbul, bendera, berkibar manis, indah rapi nan gagah menggugah rasa kebangsaan seorang anak, cucu generasinya.
Genderang bertalu tanpa pemukul, semua bergerak hanya dikomando batin-batin bersatu sepakat bulan Agustus bulan bersyukur dan mengekspresikan sikap dalam kemerdekaan bangsa, walaupun dirinya belum tentu merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Inilah hakikat nilai yang merasuk sampai tulang putih, mengalir dalam darah merah yang pekat, membeku dalam kalbu sanubari kita. Bergerak membangun budaya disetiap lingkungan masing-masing.
Tujuh puluh sembilan tahun merdeka, kemerdekaan yang semu. Kesejahteraan yang diletakkan sejajar dengan mencerdaskan bangsa, sebagai cita-cita tertinggi para peletak dan pendiri negara tak kunjung nampak bermakna. Padahal penyemarak gebyar Agustusan tak terlalu berpikir akan kekurangannya, mereka yakin paling tidak siang ini minum (kopi), jajanan telah tersedia dan lebih menyenangkan lagi mereka 'guyup rukun' dengan ceria.
Lupa diri adalah penyakit yang tak mudah disadari oleh setiap insan, karena mereka menjadi pemimpin diawali dengan kesadaran kuat bahwa mencalonkan jadi pemimpin. Maka kalaulah kedepannya lupa sulitlah untuk dinasehati. Gebyar Agustus sampai kapan bisa sesemarak hari ini dan ditahun-tahun sebelumnya, sementara pimpinannya cuek akan nasibnya sendiri.Â