Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Nasionalisme di Lebatnya Rimba

1 Mei 2010   02:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:29 90 0
Pengalaman ini menjadi pengalaman yang paling berkesan selama aku menjadi pegawai DJP. Aku menemukan banyak nilai kehidupan yang tidak aku dapatkan sebelumnya, karena nilai patriotisme dan nasionalismeku seakan bangkit kembali.

Pengalaman ini berawal ketika aku mendapat tugas dari kantor untuk mendampingi Tim Dispenda untuk melakukan sosialisasi sekaligus penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) ke sebuah kecamatan terpencil di sebuah kabupaten di Kalimantan Barat. Perjalanan ke kota itu membutuhkan waktu yang tidak singkat yaitu 6 jam dari ibu kota kabupaten bila kondisi jalan bagus.

Bersama dengan seorang kawan dari kantor dan Tim dari Dispenda Kabupaten kami menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh. Perjalanan ke lokasi ditempuh dengan sepeda motor, karena medan yang berbukit-bukit membuat moda roda empat susah untuk menjangkaunya.

Kondisi cuaca hari itu berawan gelap sehingga berpotensi untuk turun hujan. Cuaca akhirnya menjadi pertimbangan kami untuk segera berangkat awal dari jadwal yang telah disepakati sebelumnya yaitu jam 2 siang, maju menjadi jam 1 siang. Selama perjalanan sesekali kami beristirahat.

Setidaknya 2 kali kami beristirahat, pertama kali saat hujan datang, kami harus mengamankan SPPT PBB yang kami bawa agar tidak basah, dengan mengganti kardus yang berisi SPPT dengan tas plastik yang kami beli di warung. Istirahat kedua kami lakukan untuk melemaskan otot-otot agar
tidak kaku.

Semakin jauh perjalanan yang kami tempuh justru hujan semakin lebat, padahal kami tidak mungkin istirahat lagi karena akan menambah waktu dan akan tiba di tempat tujuan semakin malam. Perjalanan tetap berlanjut.
Kira-kira jam 8 malam akhirnya kami sampai juga di Kota Tanah Pinoh tempat tujuan kami untuk mengadakan sosialisasi dan menyampaikan SPPT PBB. SPPT PBB yang kami bawa alhamdullillah kondisinya baik, sehingga bisa disampaikan kepada petugas kecamatan untuk dibagikan kepada
kepala desa sebelum didistribusikan ke Wajib Pajak.

Karena di kota kecil ini tidak ada penginapan akhirnya kami menginap di rumah saudara dari
pegawai Tim Dispenda. Kami disambut hangat oleh tuan rumah karena mereka tahu perjalanan kami sangat panjang dan melelahkan.
Acara sosialisasi dilaksanakan di aula kantor kecamatan dan dimulai jam 9 pagi keesokan harinya. Acara diawali dengan pembukaan oleh Bapak Camat yang kebetulan baru dilantik, sehingga acara diiringi dengan perkenalan terlebih dahulu. Di depan para kepala desa yang hadir, Bapak Camat menghimbau agar SPPT PBB dapat disampaikan kepada Wajib Pajak jauh hari sebelum jatuh tempo pembayaran untuk menghindari sanksi administrasi.

Tidak lupa juga beliau menyampaikan bahwa PBB adalah pajak yang alokasi pembagiannya dikembalikan ke daerah lagi, sehingga dampaknya akan dirasakan oleh warga kembali dalam bentuk proyek-poyek
pembangunan di daerahnya. Bahasa yang digunakan sederhana sehingga banyak di antara peserta yang hadir menganggukkan kepala tanda mengerti.
Setelah Bapak Camat menyampaikan sambutan sekaligus pengarahan, giliran kedua yaitu pengarahan yang disampaikan oleh Tim dari Dispenda Kabupaten. Tim ini menyampaikan program-program dari Dispenda untuk kegiatan di wilayah kecamatan Tanah Pinoh.

Diantaranya rencana kegiatan pembangunan dan apresiasi bagi daerah yang dapat melunasi pembayaran PBB paling awal. Dispenda memberi apresiasi khusus untuk masalah ini dalam wujud pemberian sarana penunjang kegiatan kantor misalnya mesin ketik atau komputer. Disampaikan juga bahwa Tim PBB diikutsertakan dalam acara sosialisasi kali ini untuk memberikan kesempatan kepada peserta
apabila ingin mengungkapkan permasalahan PBB yang selama ini menjadi kendala di lapangan.
Berikutnya giliran kami untuk menyampaikan sosialisasi PBB di hadapan para peserta yang hadir. Sosialisasi yang paling awal adalah pentingnya PBB bagi pembangunan di daerah, kemudian kondisi PBB di daerah Tanah Pinoh yang semakin hari semakin naik nilainya karena selain naiknya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), juga semakin banyak jumlah wajib pajaknya.

Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini semakin ramai dan berarti pembangunannya sangat pesat.
Kami juga membuka forum tanya jawab untuk mengetahui lebih jauh respon peserta acara ini dan tentu saja permasalahan-permasalahan teknis PBB yang ingin mereka ketahui lebih dalam. Banyak peserta antusias dalam forum ini sehingga tanpa terasa waktu yang diberikan kepada kami sudah
habis.

Untuk acara-acara seperti ini, pihak panitia dalam hal ini kecamatan, membatasi waktunya maksimal jam 12 siang harus sudah selesai, mengingat kepala desa yang hadir berasal dari desa-desa yang sangat jauh lokasinya. Rata-rata mereka harus menempuh perjalanan empat jam untuk mencapai
ibu kota kecamatan. Sehingga apabila acara jam 9 pagi mereka berangkat dari rumah subuh dini hari dan apabila acara selesai jam 12 siang mereka akan kembali lagi sampai rumah jam 4 sore. Kondisi inilah yang membuat aku bersama kawanku semakin paham bahwa PBB yang kelihatannya sangat
sederhana ternyata banyak aspek yang terpengaruh.

Besarnya ketetapan PBB tidak sebanding dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan, tapi justru di sinilah aku dan kawanku menemukan sebuah nilai kehidupan, yaitu kesadaran dan kepatuhan sebagai warga negara.

Kesadaran sebagai warga negara dan kepatuhan itu muncul ketika di ujung acara tiba-tiba datang seorang kepala desa yang terlambat. Begitu turun dari ojek yang mengantarnya, sang kepala desa langsung menuju petugas untuk mengambil SPPT PBB dan mengisi daftar hadir yang disediakan oleh panitia. Proses itu tidak lama, mungkin hanya berlangsung selama 30 menit, dan sang kepala desa pun bersiap-siap kembali untuk pulang.

Sesaat sebelum pulang, bapak itu bercerita bahwa dia terlambat karena jalan yang dilaluinya rusak berat sehingga perjalanannya menempuh waktu yang lumayan lama. Kalau biasanya waktu maksimal yang diperlukan 6 jam, kini dia harus memutar mencari jalan baru sehingga hampir menghabiskan 8 jam perjalanan. Total perjalanan yang dia butuhkan waktuitu berarti 16 jam perjalanan pulang pergi hanya untuk mengambil SPPT PBB yang nilai total ketetapannya tidak sampai 500 ribu rupiah dalam satu desa.
Pengalaman inilah yang membawa kesan mendalam bagiku, bahwa nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme masih tertanam kuat di lubuk hati seorang kepala desa yang tinggalnya nun jauh di sana, di balik bukit-bukit kecil di Kalimantan Barat. Dengan pengorbanan yang tinggi, sang kepala desa rela menempuh perjalanan jauh sebagai bukti kesetiaan warga negara akan kewajibannya sebagai pembayar pajak.

Rasa tanggung jawab aparat pemerintah beliau tunjukkan dengan sungguh-sungguh menyampaikan SPPT pada warganya. Sebagai informasi, sebagian wilayah Kalimantan Barat berbatasan dengan Negara Malaysia. Bahkan di kota tempat kami melakukan sosialisasi, siaran radio negara tetangga terdengar jelas. Di saat akhir-akhir ini rasa nasionalisme terkikis, ternyata kami masih menemukan nilai patriotisme di daerah-daerah terpencil di sela-sela lebatnya rimba di pedalaman Kalimantan, padahal nikmatnya pembangunan belum sepenuhnya mereka rasakan. Di saat kami mengadakan acara tersebut PLN mengadakan giliran pemadaman, listrik menyala hanya dari jam 5 sore sampai jam 6 pagi, sehingga acara tersebut terselenggara dengan menggunakan wireless dan listrik diperoleh dari tenaga diesel.
Di era modern ini marilah kita tunjukkan semangat patriotisme sebagai pegawai pajak dengan bekerja sebaik-baiknya. Kita masih beruntung menikmati tunjangan lebih dari pegawai negeri biasa. Bandingkan dengan kepala desa di atas, tunjangan yang mereka terima mungkin jauh dari yang kita nikmati saat ini. Tetapi pengorbanan yang tulus mereka tunjukkan dengan kesungguhan mereka untuk memungut pajak bagi warganya.

Meskipun kehidupan di negara tetangga lebih menggiurkan, fasilitas negara tetangga juga kondisinya jauh lebih baik, tetapi ada nilai dari pajak yang selama ini jarang kita ungkap ke permukaan, “bahwa pajak adalah salah satu ikatan warga negara pada bangsanya, didalamnya terkandung nilai nasionalisme dan patriotisme yang tinggi”.

Oleh Ari Pradono dalam buku berkah modernisasi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun