Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

2028

30 Oktober 2020   08:22 Diperbarui: 30 Oktober 2020   08:39 42 2
Sinar mentari menerobos jendela membangunkanku. Menggeliat kupaksakan bangun. Arloji menunjukkan pukul 7, 'Sialan gara-gara begadang semalam,' kutukku dan segera ke kamar mandi.

Suasana rumah sepi, ayah mungkin sudah berangkat kerja dan adikku ke sekolah. Kucari ibuku ke dapur, kamarnya, ruangan belakang, tidak kutemukan. Perasaanku makin tidak enak, seperti ada yang berbeda dengan suasana hari ini.

Saat keluar, kulihat ada seorang pemuda sedang mengutak-atik motor.

"Heh! Kamu siapa?".

Pemuda itu menoleh, mengernyitkan dahi, bukannya menjawab, dia seperti kebingungan.

"Kamu siapa?" tanyaku lagi.

"Kakak ngelindur ya?"

"Kakak? Kamu Toni?"

"Iya lah, siapa lagi, di rumah ini hanya kita berdua. Kakak ini aneh deh."

"Berdua? Ayah ibu kemana?"

Toni tidak menjawab, menghampiriku. "Asli nih kayaknya kakak ngelindur, atau kesambet?" Toni menyuruhku duduk, lalu bertanya, "Kakak ini kenapa?"

"Kenapa apa? Aku tidak apa-apa!"

"Lha itu, tadi pake nanya siapa saya, lalu nanya ayah dan ibu."

Aku hanya terdiam sejenak sebelum berbisik, "Ton, sekarang tahun berapa?"

"Tahun 2028 kakak! Bener deh, kayaknya waktu tidur, kakak diusap jin, jadi hilang ingatan."

"Hah! Tahun 2028?" tanyaku kaget, "lalu di mana ayah dan ibu?"

Adikku menjelaskan. Ayahku meninggal lima tahun yang lalu. Sejak di PHK tahun 2021 karena pabriknya bangkrut terdampak pandemi, ayah bekerja serabutan. Susah nyari kerja di saat pandemi, kesehatan ayah pun terganggu, semakin lama semakin parah, tahun 2023 meninggal

"Lalu Ibu?"

"Ibu meninggal tiga tahun yang lalu. Sakit paru-parunya semakin parah sejak ayah meninggal."

"Separah itukah keuangan keluarga kita, sampai ayah dan ibu tidak bisa berobat?"

"Sebenarnya biaya untuk berobat ada, Kak. Tapi tidak cukup. Sekarang biaya berobat sangat mahal."

Selama pandemi hampir seribu orang tenaga medis meninggal. Di antara korban itu ada ratusan dokter spesialis senior. Negara kita jadi krisis tenaga medis, dokter jadi langka.

Sekarang banyak dokter dan tenaga medis impor, Omnibus Law telah membolehkan tenaga asing bekerja di sini. Begitu pun dengan obat-obatan dan alat kesehatan, semua serba mahal, semakin tidak terjangkau oleh masyarakat seperti kita.

"Kamu ga kuliah?"

Adikku menggeleng pelan, "Sekolah makin tidak jelas!"

Bukan hanya bidang kesehatan yang terdampak, dunia pendidikan lebih parah lagi. Setelah setahun sekolah tanpa tatap muka, siswa jadi gamang bagaimana berinteraksi antar sesama, apalagi terhadap guru. Tidak ada lagi ukuran yang jelas, mana siswa yang pintar dan tidak.

"Kamu tidak bekerja?"

Apalagi dunia usaha. Banyak pabrik bangkrut, perusahaan asing banyak yang mengalihkan pabriknya ke Vietnam. Makin sulit saja mencari pekerjaan. Mau wiraswasta pun sama sulitnya.

Mendengar penjelasan adikku yang menyedihkan itu, aku pun pingsan. Terbangun saat ada yang menepuk-nepuk pipiku.

"Bangun, Ndri. Sudah jam 7, ga kerja apa?"

Saat kubuka mataku, tampak seraut wajah yang kurindukan beberapa saat lalu, wajah ibuku yang masih mengenakan mukena.

"Ini di rumah, Bu? Toni ke mana?"

Ibuku keheranan. "Ya di rumah, di mana lagi? Toni sudah berangkat. Kamu ini aneh! Mimpi apa kamu? Sana cepat mandi! Sarapannya keburu dingin." Ibu meninggalkan kamarku.

Aku termangu, kubayangkan mimpiku. Aku pun bertekad untuk segera merealisasikan program yang telah direncanaka bersama karang taruna. Jangan sampai ditunda lagi, pandemi ini harus segera dilawan. Dampak pandemi yang kuimpikan jangan sampai terjadi.

#SumpahPemudaSMA

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun