Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Menua di Ujung Gerbang Pulau Jawa, Miskin karena Para Koruptor (Bagian - 1)

24 Juni 2022   21:13 Diperbarui: 24 Juni 2022   21:14 220 4
Mad Rais seorang lelaki paruh baya, sesekali meneguk hangat secangkir kopi yang biasa ada di meja teras rumah miliknya.

Sambil dicumbui merdu kicauan burung, Mad Rais pagi itu meracau, sambil menerawang embun yang mulai hilang karena sang pemilik hari mulai  menyembulkan sinarnya dibalik pepohonan Rangdu.

"Kenapa masih ada pejabat maling uang rakyat. Padahal kurang apa hidupnya," guman Mad Rais kesal dengan para pejabat koruptor atau maling uang rakyat.

Menurutnya para pejabat atau priyai itu hidupnya sudah pasti tidak akan kacau, kekurangan bahan pangan, sedih ditangisi anak meminta sarapan yang hanya nasi bubur untuk mengenyangkan cacing dalam perutnya.

"Saya heran, pejabat masih saja serakah. Uang rakyat diembat juga. Rumah sudah layak dan mewah, mobil ada, makan tidak susah. Ya Allah," ucapnya tambah meracau.

"Coba lihat nasib kami ini, pagi gini harus sudah bangun, lalu menuju pelabuhan untuk hanya berjualan kopi di dermaga," ucapnya merenungi nasibnya sebagai pedagang kopi keliling di Dermaga Pelabuhan Ujung Gerbang Pulau Jawa.

Wajar saja Mad Rais mengumpat pagi-pagi, ternyata kopi yang dihidangkan oleh anaknya si Ahmad pahit, maklum soalnya yang manis-manis sudah diembat para pejabat korup.

Jadinya karena uang dikorupsi, semua harga melambung tinggi, bahan pokok termasuk juga gula mahal dipasaran, minyak langka. Bahkan, untuk membeli tampe sebagai lauk makan juga terasa seperti makanan mewah, mahalnya minta ampun.

Dilalanya, yang seharusnya berbagai bantuan mengalir lewat kebijakan pemerintah, tapi karena di korupsi akhirnya menyengsarakan warga miskin papa.

Dari ujung pintu, anaknya Ahmad mendengar jelas umpatan bapaknya itu, ada benarnya juga nasibnya miskin papa, jangankan menumpuk harta, untuk makan esok saja harus berjuang keras di dermaga.

Sembari menimpali umpatan bapaknya Ahmad tetiba angkat bicara.

"Apa di kota kita ini masih ada pejabat jujur Pak. Tidak menyengsarakan kita. Tidak jadi maling seperti pimpinan kita yang sudah dijerat di dalam jeruji," ucapnya bertanya.

Pertanyaan anaknya itu sontak mengagetkan Mad Rais. Sambil mengkerutkan keningnya pertanda bingung dan bertanya dalam hatinya masih ada atau tidak pejabat jujur seperti kata anaknya itu.

"Susah jawabnya Mad. Korupsi atau tidak tergantung hatinya. Dia masih takut atau tidak juga sama hukuman Allah. Tapi kadang karena keserakahan juga membuat para pemimpin berkuasa lupa daratan. Sudah tahu bukan haknya tatap saja diembat Mad," jawabnya seadanya menggambarkan kondisi sembari tetap pikiran dipenuhi kebingunan menjawab masih ada atau tidak pejabat jujur.

Lalu Ahmad meninpali sinis jawaban ayahnya itu, jika para maling uang rakyat masih dihukum ringan, sepertinya sulit juga untuk tidak tergiur jadi maling.

"Kalau hukumnya ringan masih banyak pejabat yang jadi maling Pak. Kecuali hukukannya berat dan dimiskinkan kayak kita, baru pada kapok yah Pak. Semua hartanya diambil dan dibagikan sama kita," cetusnya menyindir dalam.

Obrolan Mad Rais dan cucunya Ahmad menjadi gambaran realitas masyarakat Ujung Gerbang Pulau Jawa.

Tentu saja itu menjadi cambuk bagi kondisi masyarakat Ujung Gerbang Pulau Jawa. Masih ada yang warga miskin tapi uang negara di korupsi, masih banyak warga susah hidup tapi dimaling uangnya.

Tapi merenungi kondisi saja tidak cukup bagi keduanya, Mad Rais dan Ahman dua manusia yang tetap mampu berusaha untuk mengais rezeki secara halal, meski pas - pasan, tapi harga dirinya tidak dilacurkan di meja kekayaan, pikirannya tidak rendah seperti pikiran binatang.

Setiap hari, keduanya mengais rezeki di dermaga Pelabuhan Ujung Gerbang Pulau Jawa. Dimana terik matahari jadi pembakar kulit, keringat jadi parfum alami rakyat jelata, dan kerasnya hidup jadi takdir yang selalu ditaklukan.

"Ah sudah lah Mad, ayo kita ke pelabuhan mumpung masih pagi. Dari pada kita terus-terusan mengumpat para pejabat maling, lebih baik kita jualan kopi mencari rezeki, biar kita ga jadi maling," ajak Mad Rais pada anaknya Ahmad untuk bergegas setelah selesai menikmati teh pergi ke pelabuhan untuk mengais rezeki dengan berjualan kopi.

"Yah pak," tutup Ahmad sambil bergegas membawa perlengkapan keranjang kopi yang ditenteng di atas dadanya. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun