Saya pernah menulis tentang patung ini dan dapat di baca dalam link ini. http://sosbud.kompasiana.com/2013/04/10/memaknai-warisan-budaya-patung-wulu-dalam-refleksi-kehidupan-masyarakat-lewotobi-545018.html
Dalam tulisan ini saya lebih menyorot pada refleksi kehilangan patung ini.
Patung ini berasal dari Flores Timur tepatnya di dusun Lewotobi. Sang Penenun yang duduk menenun sambil menyusui bayinya disebut Wulu. Dalam padangan masyarakat setempat, Wulu dikenal sebagai Dewi Hujan. Sebagaimana keberadaan mitos atas sang Penenun ini, Wulu dipercaya sebagai perantara antara yang tertinggi “Lera Wulan Tana Ekan” Ia yang menciptakan langit dan bumi.
Berdasarkan informasi yang diperoleh patung ini pernah dicuri pada tahun 1977 namun berhasil digagalkan. Dalam Proses hukum, patung ini tersimpan di Pengadilan Negeri Larantuka sebelum dikembalikan ke suku Temu, suku pemilik patung ini. Karna alasan kerawanan maka patung ini tidak ditempatkan lagi di tempat aslinya yakni di dalam sebuah gua di tengah hutan. Pada tahun 2005, melalui sebuah Ritus, sang Penenun ini dikembalikan ke tempat aslinya. Di tempat aslinya ini, selain tersimpan patung Wulu juga tersimpan patung gaja. Untuk Patung gajah ini telah hilang dan sampai saat ini tidak ada kabar atau informasi tentang patung ini.
Keaslian dan Refleksi Peradaban Budaya.
Berita tentang Patung Penenun yang asli di National Gallery of Australia bagi saya adalah sebuah momentum untuk menapaki kembali jejak keaslian sebuah peradaban. Saya tidak pada kapasitas dan tidak punya kapasitas mengatakan bahwa patung yang ada di Australia itu Asli atau palsu atau sebaliknya Patung Penenun yang saat ini dimiliki apakah asli atau palsu. Hanya sebuah dugaan bahwa kemungkinan telah dilakukan proses penduplikasian saat patung ini berada di “luar” sebelum kembali ke pemiliki suku Temu. Untuk membuktikan ini perlu dukungan dari semua pihak, terutama pemerintah Indonesia.
Sebuah pertanyaan, apakah dengan dikembalikan patung (jika) Asli yang ada di Australia ini mempengaruhi cara padangan dan “iman” masyarakat lewotobi yang selama ini melakukan ritus kepada Sang Tertinggi melalui Wulu-Dewi Hujan terganggu?
Wulu-Sang Penenun atau Dewi Hujan dalam bentuk patung Perunggu adalah sebuah simbol. Memkanai sebuah simbol bukan semata-mata terpaku pada tuturan mitologis tetapi ia harus bergerak dalam sebuah spirit refleksi peradaban kebudayaan.
Penemuan kembali makna yang hilang dalam simbol Patung Wulu bagi saya merupakan sebuah tapak awal untuk menelusuri jejak-jejak perabadan yang pernah hadir dan terpahat di bumi Lewotobi, di Lereng Gunung Api Lewotobi sebagai sebuah Kerajaan dengan sebutan Kakang- bagian dari Kerajaan Larantuka. Penemuan ini kiranya mendorong banyak generasi, para peneliti untuk mengkaji lebih mendalam. Apakah ada kaitan dengan pengaruh Hindu-Budha, apakah hubungan patung Wulu dan patung Gaja yang hilang.
Dalam penuturan sastra tentang asal usul orang Lewotobi, mereka mengatakan kami berasal dari Sina Jawa Malaka. Ini menunjukkan bahwa orang Lewotobi adalah suku bangsa pesiarah yang bergerak menuju wilayah impian mereka. Dalam pergerakan, sebagian anggota singgah di tempat lain dan yang lainnya membangun peradaban mereka di bumi Lewotobi- di kaki Lereng Gunung Api Lewotobi.
Wulu, Sang Penenun, melalui “kehilanganya” mengajak semua anak-anaknya untuk merajut dan menenun kembali spirit budaya, potongan-potongan makna simbolis dalam rajutan sarung Sosial Budaya, dalam tenunan Iman kehidupan, dalam dandanan Peradaban Moderen tanpa kehilangan identitas. Mungkin melaui berita kehilangan Pemerintah Indonesia di bahwa Kepemimpinan Jokowi- Jusuf Kalla dapat melihat peradaban budaya di lereng Gunung Api Lewotobi. Mungkin melalui kehilangannya, semua anak suku yang terpisah disatukan kembali untuk merajut harapan itu.
Melalu Kehilanganya, semua pihak diajak untuk merancang pembangunan desa dalam spirit sosial budaya. Pemerintah Kabupaten lebih kritis menyikapi rancangan Anggaran Pembangunan Desa, Sekolah-sekolah lebih kreatif dalam menyajikan Muatan Lokal, Lembaga-Lembaga Adat belajar membenahi diri seturut perubahaan jaman tanpa kehilangan identitas dan tetap pada prinsip-prinsip baik warisan nilai Sosial- Budaya.
Dalam Kehilangannya ia menarik kembali sebagaimana sentakan alat tenun yang meyatukan benang menjadi sarung. Dari negeri seberang ia meratap dan tangisannya diperdengarkan oleh orang lain agar melalui mereka kita belajar “Melek” atas apa yang kita miliki.
Oleh
Uran Oncu
Pengamat Kebudayaan, seorang anak Petani yang cinta Ladang Pertanian