"Virus Corona mengajarkan kita untuk menjaga jarak, karena yang dekat bisa diam-diam menyakiti"
Puisi Kahlil Gibran juga mengungkapkan "ketika cinta memanggilmu maka datanglah kepadanya walaupun sayapnya dipenuhi dengan belati yang dapat melukaimu".
Kalau Soe Hok Gie menganggap politik adalah barang yang paling kotor. Namun, dia tahu suatu saat manusia tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah mereka dalam politik. Politik diposisikan sebagai hal yang berbahaya, jahat dan mengerikan. Yang rusak dalam praktek politik, itu oknum. Bukan politik yang destruktif.
Gus Dur pernah berkata, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Niat baik kita memperbaiki politik dengan idealisme, itu berarti harus turun dalam kancah politik. Jangan menjauh, atau mencaci. Dan penuh sinisme terhadap politik.
Seperti cinta yang selalu saja misterius. Politik pun begitu. Tere Liye memberi isyarat, jangan terburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri. Jika politik dalam Pilkada dijalankan penuh cinta, maka terwujudlah keadilan, kesejahteraan, yang hak dan batil akan terverifikasi. Lawan politik, menjadi kawan. Tidak diaduk jadi konflik.
Pada akhirnya cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong. Politik idealnya begitu, bukan sekedar retorika. Melainkan, menjalankan kata-kata. Kata indah dan bijaksana dari politisi, sejatinya terwujud dalam prakteknya.
Harus selaras. Jangan timpang antara kata dan perbuatan. Cinta tak mengajarkan kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Demi kemajuan bersama, politik juga mengajarkan spirit perjuangan. Tak harus gentar menegakkan kemanusiaan.
Cinta membangkitkan semangat, bukan melemahkan semangat. Gelora ini harus menggenapi perjuangan politisi, jangan mau kalah sama konglomerat dan pengusaha yang hanya memperkaya diri. Lalu melumpuhkan kebutuhan masyarakat. Politisi harus tegak lurus bersama masyarakat.
Dalam kajian politik yang paling tinggi, sesungguhnya cinta menempati posisi paling puncak. Tanpa cinta, politik itu akan kehilangan jati diri dan kehalusan jiwa. Ia tak ubahnya seperti serigala, memangsa setiap yang ia suka dan benci.
Cinta disini bukan seperti roman picisan, atau drama korea, atau cinema bollywood, atau bahkan nekat bercinta di tengah semak-semak. Yang menggambarkan perjuagan sang pecinta tatkala mengejar-ngejar pujaan hatinya. Bukan, bukan itu.
Oleh karena itu, maka sudah menjadi keharusan, bahwa apabila kita berpolitik maka haruslah dengan penuh kecintaan yang tulus dan bersungguh dibuktikan dengan perbuatan, kecintaan bahwa yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan-kebutahan pihak yang kita cinta, yakni Rakyat, bukan malah kita hanya menggombali mereka dengan serangkaian kata-kata indah, syahdu namun nihil pelaksanaan.
Itu bukan cinta, itu adalah kemunafikan dan kebohongan yang paling harus kita lawan. Ketulusan dalam berbuat dengan penuh cinta sebagaimana disebutkan diatas, mestilah untuk rakyat. Bukan cinta pribadi, kelompok dan apalagi keluarga. Itu bukan cinta, itu egoisme sempit yang paling buruk yang mesti kita lawan pula.
Sebab apabila cinta rakyat telah dikhianati dengan sikap mementingkan diri sendiri, kelompok dan keluarga, maka hanya ada satu kata, tinggalkan.
Memang, hal itu masih sangat sulit untuk di tumbuhkan apalagi dikembangkan oleh sebagian kita. Apalagi pada dirinya telah menjamur sifat dan sikap dengki, kolot dan prejudis yang kronis. Akan tetapi yakinlah, kita manusia adalah mahluk yang senantiasa meginginkan kebaikan dan kedamaian.
Maka mari sama-sama kita berusaha menghaluskan jiwa kita. Sebab hanya pada jiwa yang bersih dan halus serta tuluslah cinta itu akan bersemayam. Agar, ketika apa yang kita lakukan dalam politik, sekarang dan nanti, bukan karena dorongan-dorongan ingin memusuhi, mengkerdilkan atau bahkan menyerang lawan-lawan kita secara membabi buta, akan tetapi karena rasa cinta kepada rakyat, kepada kemanusiaan.
Semoga dalam perhelatan pilkada kali ini, atau bahkan perhelatan politik kepemimpinan dimanapun dan kapanpun, marilah kita landasi smua fikiran, tindakan dan segala bentuk perbuatan kita semata-mata karena cinta. Cinta itu hidup dan menghidupi. Tanpanya, politik akan binasa, begitu dulu sebaliknya.
Dody Wijaya pada harian Kompas pernah mengatakan, banyak orang takut dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di tengah Pandemi Covid-19, barangkali Anda termasuk salah satunya. Boleh jadi ketakutan tersebut tidak didasarkan pada landasan yang kuat.
Publik, khususnya 105 juta pemilih di 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada tentu bertanya apa sih pentingnya pilkada di saat mereka harus berjuang melawan wabah corona ini? Bukankah sekarang lebih penting bagaimana virus corona segera hilang dari muka bumi?
Tak kalah penting, masyarakat kecil bisa kembali bekerja untuk mengisi perut yang telah dikencangkan ikat pinggangnya beberapa bulan ini. Seolah-olah langkah KPU bertentangan dengan logika publik.
Antara melindungi kesehatan vs menjaga demokrasi urusan menunda atau tetap menggelar pemilu di tengah pandemi di berbagai negara pun beragam.
Maknanya, keputusan Indonesia untuk menggeser pelaksanaan pilkada tetap di tahun ini memiliki rujukan. Namun tentu bukan hanya itu argumentasi utamanya. Argumentasi utama tentu saja soal menjaga kesinambungan demokrasi. Dalam sistem presidensial, termasuk pada pemerintahan lokal.
Secara konstitusi jabatan kepala daerah berlaku prinsip fix term alias telah ditetapkan masa jabatannya. Menunda pilkada bisa menimbulkan konflik politik yang kontraproduktif dalam situasi penanganan Covid-19.
Standar internasional untuk pemilu yang merujuk pada Deklarasi Universal HAM 1948 dan Kovenan Internasional 1966 tentang Hak Sipil dan Politik, maupun berbagai konvensi serta komitmen mengenai pemilu demokratis menyepakati salah satu standart pemilu demokratis adalah penyelenggaraan pemilu yang berkala.
Bayangkan, potensi masalah politik dan hukumnya jika pilkada tidak digelar sesuai UU atau Perppu. Bila masa jabatan kepala daerah diperpanjang oleh pemerintah, oposisi atau penantang petahana akan menggugat karena hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri jadi terhambat.
Ketidakpastian hukum dan politik akan terjadi. Penundaan pemilu dengan alasan pandemi justru berpotensi mengebiri demokrasi. Implikasinya jelas, instabilitas politik di tengah pandemi jadi taruhan, kecurigaan, bahkan ketidakpercayaan pada pemerintah akan meningkat.
Gara-gara pandemi bisa dijadikan alasan bagi pemerintah otoritarian untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya dengan menghilangkan hak asasi paling mendasar yakni hak politik untuk memilih dan dipilih. Secara hukum, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi memiliki payung hukum yang kuat yakni Perppu No 02 Tahun 2020.
Artinya, pelaksanaan pilkada bukan semata kemauan KPU sebagai penyelenggara tetapi amanat undang-undang dalam hal ini Perppu. Menggelar pilkada di tengah pandemi juga dapat menjadi pengalaman baru bagi penyelenggara dan pengawas pemilu di Indonesia.
Publik tidak perlu ragu, penyelenggara pemilu di Indonesia sudah berpengalaman dalam menyelenggarakan pemilu yang seringkali sistem dan aturan mainnya berubah.
Lha gimana, Undang-Undang Pemilu dan Pilkadanya saja sering berubah-ubah, baik di rubah oleh DPR, di judicial review di MK ataupun tiba-tiba ada Perppu dari pemerintah.
Bergandengan tangan dengan penuh cinta, sangat penting bagi semua pemangku kepentingan kepemiluan baik penyelenggara dan pengawas pemilu, masyarakat sipil, pemerintah, partai politik, dan peserta pilkada bergandengan tangan, bersama-sama melindungi kesehatan publik sekaligus menjaga demokrasi.
Keyakinan bahwa pemilu adalah instrumen penting untuk memperkuat demokrasi sekaligus menegakkan kepastian hukum perlu digaungkan.
Bila antarpemangku kepentingan masih saling "ngotot" menunda atau melanjutkan pilkada, akan memicu keraguan bagi pemilih dan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu.
Problem kesehatan publik dan menjaga demokrasi, dua-duanya tidak akan terpecahkan, yang ada hanya saling adu kuat argumentasi mendukung atau menolak pilkada.
Penyelenggara pemilu, pemerintah, partai politik dan kandidat peserta pilkada, maupun masyarakat sipil, secara kolektif sudah harus selangkah lebih maju membahas mengantisipasi potensi permasalahan yang akan terjadi.
Pilkada yang demokratis, aman dan sehat harus kita wujudkan bersama-sama. Kesetaraan kompetisi antarkandidat, pemenuhan hak pilih dan penyelenggara pemilu dengan protokol kesehatan yang ketat harus kita jaga. Jangan sampai, habis pilkada terbitlah wabah corona cluster pilkada jika protokol kesehatan diabaikan.
Menarik sebuah benang merah dari kata Pilkada, Pandemi dan cinta hal terpopuler tersebut diatas, jika dilihat lebih dalam politik tersebut lebih condong pada praktisi, sedangkan cinta bersifat fitrawi, mungkin ketika keduanya digabungan bisa melahirkan sebuah asimilasi yang cukup menarik seperti "Politik berasaskan Cinta" atau "Perpolitikan Cinta" entahlah, namun ketika kedua hal tersebut dapat dielaborasikan pastilah dapat menghasilkan sebuah hal yang sangat menarik pada pelaksanaan pilkada di tengah Pandemi ini.
Mari sama-sama saling mencintai dan menghargai nilai-nilai kemanusian serta kesehatan dengan berpolitik yang santun dan senantiasa menerapkan protokol kesehatan agar menghasilkan Pilkada yang berkualitas.