Pemahaman tentang Agama mesti ditempatkan pada posisi tertinggi dalam hirarki "kebenaran" dalam mana Agama menduduki posisi kebenaran lebih tinggi dari kebenaran Filsafat. Beberapa tokoh pendidikan manyatakan bahawa bila Filsafat adalah "Emak"nya Ilmu, maka Agama adalah "Kakeknya" Filsafat. Secara berturut-turut dari lapisan kebenaran paling bawah yaitu dari
Tahu menjadi
Pengetahuan- dari
Mengalami menjadi
Pengalaman-dari
Ilmu menjadi
Ilmu Pengetahuan dan Pengalaman, dari
Ilmu Pengetahuan dan Pengalaman menjadi
Filsafat- dari
renungan Filsafati menjadi tertemukan/ditemukan
Agama yang dianggap benar dan dibenarkan. Jadi
"kebenaran Agama" merupakan kebenaran tak terbantahkan alias "mutlak" , tidak bisa dihindari, bersifat dogmatis dan memiliki kedudukan kebenaran tinggi bagi pemeluknya. Begitu tingginya kebenaran agama ini, karena datangnya dari langit (samawi), maka praktik Agama harus "diejawantahan" (diwujudkan, ditransfer) dalam perikehidupan sehari-hari. Pada pratiknya diakui bahwa tidak mudah untuk menjalankan Agama dengan pas, namun nyatanya hampir setiap orang mengejar tingkatan sukses beragama (latifah tertinggi) dengan berbagai cara dan tonggak capaiannya
(milestone) pun berbeda-beda. Antara lain ada yang ingin masuk surga di akherat kelak, ada yang ingin disayang Tuhan, ada yang ingin sekedar kumpul-kumpul di Majils Ta'lim atau Gereja, dll. Dus, karena tingginya kebenaran agama ini, orangpun menempuh jalan masing-masing sesuai Imamnya atau Pimpinannya. Secara esensial, dedikasi agama harus dapat diwujudkan ke dalam perilaku sehari-hari sebagai budipekerti yang luhur dan memberi manfaat bagi diri, tetangga, masyarakat, bangsa dan negara. Karena Agama punya anak Filsafat, dan Filsafat punya anak Ilmu, sedangkan Ilmu itu adanya di amal-perbuatan, maka semestinya orang yang menjalankan agamanya atau beriman dan bertaqwa dengan landasan agama, maka amal-perbuatannya harusnya baik. Bila dalam kehidupan sehari-hari banyak orang tampak "tidak cocok", antara ucapan, lebel agama yang digendong, serta tindakannya, maka PASTI ada yang salah. Pastilah agama hanya menjadi "seremonial", agama hanya sebagai "kedok", agama hanya sebagai "payung politik" tidak terhubungan dengan Falsafah hidup dan Ilmu Pengetahuan dan Pengamalaman hidup dalam kehidupan. Bangsa ini menjdadi "bejat" lantaran Agama digunakan sebagai tameng perjuangan ambisi pribadi untuk menjadi seorang tokoh yang dianggap hebat di depan publik. Tidak jarang Imam Agama yang berani "mengalihkan kiblat" yang harusnya berkiblat kepada Allah, tetapi dijadikannya murid-muridnya, disugesti, untuk berkiblat kepadannya. Kelembagaan sosial agama hanya mengurusi umat, dan terpisah secara eksklusif dari usaha-usaha perekonomiaan dan kebudayaan bangsa yang didasari oleh "falsafah nilai luhur" dan "ilmu". Bila demikian maka Agama lepas dengan Falsafah dan bercerai dengan Ilmu. Praktik agama jadi menyesatkan. Pantas masyarakat kehilangan arah tujuan hidup, bingung mencapai kondisi masyarakayt yang damai, adil dan sejahtera. Apalagi negara "tidak urus" dan pejabatnya memberikan contoh "buruk" kepada warga bangsa. Tuhan dibutakan (perhatikan korupsi di segala sektor), agama dipolitisir (banyak partai yang mengusung ideologi agama), tokoh masyarakat berbenturkan (banyak partai dan jutaan ormas). Saya percaya bila saja Agama "sebaris/inline" dengan Falsafah hidup yang berakar dari budaya, didasari oleh Ilmu yang
"empirical testibillity" atau dapat dilihat secara kasat-mata melaui perbuatan bukan hanya OMDO (omong doang), maka bangsa ini akan "setara majunya' dengan bangsa lain. Coba perhatikan, misalnya M. Nazaruddin sudah dipecat dari Partai atau mengundurkan diri dari DPR RI karena KKN. Kenyataannya ? Sampai tulisan ini dibuat ternyata "bukti pecat"-nya tidak ada dan akan segera menyusul. Ini juga "praktik agama yang menyesatkan". Agama harus membekas dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari, Saudaraku.
Just like a Science LOGIKO-HIPOTETIKO-VERIFIKATIF, apa yang terakal dan tertanyakan harus bisa diverifikasi kebenarannya. No OMDO anymore.
KEMBALI KE ARTIKEL