Pendidikan Profesi Guru, saat ini hangat menjadi perbincangan di kalangan akademisi dan praktisi pendidikan. Kewajiban bagi guru untuk mengikuti PPG sudah digulirkan sejak beberapa tahun yang lalu. Dimulai dari angkatan pertama PPG jalur SM3T hingga keenam pada tahun 2016 . Nampaknya, Pemerintah semakin serius menjadikan PPG sebagai pendidikan yang wajib ditempuh jika ingin menjadi guru. Seorang Sarjana Pendidikan dapat diakui sebagai guru profesional jika sudah lulus PPG.
Kini, Pemerintah membuka PPG jalur Reguler bersubsidi tahun 2017 yang diperuntukkan bagi Sarjana Pendidikan dan Non Kependidikan. Tentunya kabar ini menjadi angin segar bagi sebagian orang namun tidak sepenuhnya disambut riang dan positif. Ketika PPG menjadi kewajiban bagi semua guru, PNS dan Non-PNS, biaya PPG yang tinggi menjadi halangan untuk guru non-PNS. PPG bersubsidi masih menyisakan masalah yaitu biaya hidup, akomodasi, dan buku selama perkuliahan masih harus ditanggung sendiri. Apabila para guru Non-PNS mengikuti PPG berarti mereka tidak bisa bekerja dan dari mana mereka bisa memperoleh uang untuk biaya hidup selama PGG. Padahal waktu belajar dalam program PPG selama lima hari, dari pagi hingga sore, mahasiswa tidak punya waktu cukup untuk mencari biaya hidup, terlebih setumpuk tugas yang harus mereka selesaikan.
Penulis sama sekali bukan bermaksud menolak sepenuhnya PPG namun kebijakan ini sebaiknya dikaji ulang. Terkait biaya PPG yang sangat mahal, di atas sepuluh juta. Apabila Pemerintah ingin meningkatkan kompetensi guru melalui PPG sebaiknya biaya PPG diperkecil sehingga guru non-PNS bisa mengikutinya tanpa keberatan dengan nominal biaya.
Korban PPG
Pro dan Kontra tentang PPG semakin deras bergulir, terlebih setelah Muchlas Samani, koordinator PPG KEMENRISTEK DIKTI, dalam sebuah wawancara dengan media nasional menyatakan bahwa mata kuliah Praktik Pengalaman lapangan (PPL) bagi mahasiswa FIP, FKIP, IKIP, akan dihapus sebab FIP, FKIP, IKIP bukan lembaga pencetak calon guru, hanya pencetak calon Sarjana Pendidikan. Mantan Rektor Universitas Negeri Surabaya (UNESA) ini menambahkan bahwa praktik mengajar hanya akan dilakukan mahasiswa PPG sebab PPG lah satu-satunya lembaga pencetak calon guru.
Penghapusan mata kuliah PPL menimbulkan banyak korban kebijakan. FIP, FKIP, IKIP berbeda dengan fakultas dan universitas lain non kependidikan. Arah dari FIP, FKIP dan IKIP selama ini mencetak Sarjana Pendidikan yang unggul dengan kekhasan mata kuliah PPL, salah satunya. Jika mata kuliah tersebut dihapus, apa bedanya FIP, FKIP, IKIP dengan fakultas disiplin ilmu murni dan universitas lainnya. Apa bedanya Sarjana Pendidikan Matematika dari FIP dengan Sarjana Matematika dari FMIPA? Bukan tidak mungkin dikemudian hari, jurusan kependidikan dihapuskan karena kehilangan kekhasan tersebut.
PPG tidak hanya ditujukan untuk Sarjana Pendidikan, sarjana dari disiplin ilmu murni bisa menjadi guru asalkan lulus PPG karena martikulasi mata kuliah keguruan hanya akan diberikan saat PPG. Artinya, siapapun bisa menjadi guru hanya dalam satu satu tahun PPG. Menurut penulis, kebijakan ini salah kaprah. Seorang Sarjana Pendidikan menimba ilmu selama 4 tahun tidak hanya belajar mengenai teknik pembelajaran, membuat RPP, silabus, administrasi, media dan segala hal yang dibutuhkan untuk menunjang proses pembelajaran. Mahasiswa kependidikan juga belajar memahami karakteristik anak, mulai dari teori kependidikan, psikologi pendidikan, psikologi perkembangan, observasi lapangan dan interaksi langsung dengan anak-anak di sekolah. Semua pelajaran berharga ini tidak bisa diperoleh secara instan, proses belajar selama 4 tahun sangat penting.
Jika kebijakan ini benar-benar dilaksanakan, bagaimana dengan lulusan pendidikan yang sudah lulus? Sebenarnya martikulasi PPG sudah kita dapatkan ketika berada di bangku kuliah selama 4 tahun, seperti pembuatan media pembelajaran, metode pembelajaran, membuat RPP dan administrasi. Ketika mereka mengikuti PPG, kegiatan ini sejatinya hanya mengulang. Tidak efektif dan hanya membuang waktu. Bukankah lebih baik Kemenristek Dikti memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan di Perguruan Tinggi sehingga menghasilkan guru-guru profesional yang berkompetensi dan siap berkompetisi untuk kemajuan pendidikan Indonesia.
Guru Profesional dan Kompetensi Guru
Seorang guru yang sudah lulus PPG dinyatakan sebagai guru profesional dan mendapatkan sertifikat pendidik dengan gelar Gr. Namun berdasarkan pengamatan penulis di sekolah, seorang guru yang memiliki sertifikat pendidik, bukan jaminan ia guru profesional. Kenyataan di lapangan menunjukkan, banyak guru profesional yang tidak melek IT, bahkan mengoperasikan Ms.Word saja tidak bisa, terlebih menggunakan aplikasi nilai untuk rapor Kurikulum 2013. Masalah faktor usia lanjut seringkali menjadi alasan tidak bisa dipaksa melek IT tapi banyak guru muda berusia di bawah 40 tahun tidak bisa mengoperasikan laptop. Semua bukan lagi soal usia, tapi kemauan belajar.
Selain tidak adanya keinginan belajar IT, padahal IT dibuat untuk memudahkan manusia sehingga pengoperasiannya mudah dipelajari, guru yang bersertifikat pendidik bukan jaminan bahwa ia seorang guru yang inovatif dalam pembelajaran dan bertanggung jawab. Bahkan banyak sekali urusan sekolah yang dikerjakan oleh guru wiyata, mulai dari administrasi hingga melatih siswa-siswa dalam lomba-lomba antarsekolah. Seolah mereka berpangku tangan dengan keberadaan guru wiyata.
Tujuan dari program PPG adalah untuk menghasilkan guru-guru berkompetensi. Sesuai UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat (1), ada empat kompetensi guru yang harus dipenuhi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Demi tercapainya kompetensi tersebut, pemerintah seolah melakukan trial and eror dengan memaksakan program PPG yang belum matang untuk dilaksanakan.
Belajar adalah proses sepanjang hayat. Belajar bukanlah proses yang instan. Layaknya anak-anak yang ingin bisa berjalan, ia memulainya dari merangkak, berdiri, tertatih dan barulah bisa berjalan sempurna. Seharusnya Pemerintah mengkaji ulang apakah PPG benar-benar efektif untuk meningkatkan kompetensi guru. Menurut penulis, menjadi guru profesional itu berproses. Guru profesional ialah guru yang punya komitemen untuk terus belajar dan meningkatkan kompetensi diri. Alangkah baiknya hal ini dimiliki jiwa setiap guru.
Rendahnya kompetensi guru di Indonesia disebabkan oleh tidak adanya keinginan belajar. Kebanyakan guru malas mengikuti pelatihan. Kalaupun ada pelatihan, yang dikejar hanya sertifikat untuk menambah angka kredit. Banyak sekali pelatihan untuk para guru dari berbagai organisasi profesi, pihak swasta maupun dari dinas. Tapi kebanyakan guru-guru kita cenderung apatis, kecuali pelatihan yang diwajibkan oleh dinas. Terlebih jika biaya pelatihan yang cukup mahal. Tidak segan-segan, subsidi sekolah pun dimanfaatkan padahal mereka sudah diberi tunjangan untuk meningkatkan kompetensi diri.
Untuk menghasilkan guru profesional berkompetensi tinggi, tidak bisa instan. PPG selama satu tahun tidak akan efektif. Mengikuti berbagai pelatihan lebih efektif untuk meningkatkan kompetensi guru karena ilmu pengetahuan berkembang, terlebih di bidang IT. Sejatinya yang perlu dibangun dari mental seorang guru adalah jiwa untuk terus berkembang menjadi profesional yang lebih baik dari hari ke hari. Biarpun seseorang sudah lulus PPG dan dinyatakan sebagai guru professional, ia tidak bisa berhenti belajar sebab dunia pendidikan adalah dunia yang terus berubah. Seorang pendidik berinteraksi dengan manusia yang mana pola pendidikannya harus disesuaikan seiring perubahan zaman.