Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Edelweis

18 Juni 2020   22:34 Diperbarui: 18 Juni 2020   22:32 220 20
Lis segera meletakkan kendaraan di sebuah sudut, di mana pintu gerbang terbuka lebar. Aku segera menyusul dari arah belakang. Kami pun masuk ke sebuah ruang secara bersamaan.

Seorang ibu berkacamata tersenyum menyambut kedatangan kami. Ruang itu begitu sunyi. Ibu paruh baya tersebut terlihat duduk seorang diri. Di sudut meja panjang terdapat sebuah tulisan mini. "Asrama Putri".

"Maaf Bu, apakah masih ada tempat untuk kami berdua?" aku langsung mengutarakan maksud kedatangan kami ke tempat itu.

"Masih tapi tinggal satu, bisa untuk berdua kok, ranjang ada dua. Bagaimana?" Ibu tersebut menjawab dengan begitu mantap. Seolah mengetahui betul kondisi tempat ini. Barangkali beliau adalah sang pemilik asrama putri.

"Tidak mengapa Bu malah kebetulan itu yang kami cari. Lebih murah kan?" Lis menjawab sembari mengurai senyuman.

"Baiklah. Oya, di sini banyak peraturan. Kalian keberatan?" tetiba Ibu itu melayangkan tanya.

"Tidak Bu! Kami tidak keberatan. Malah itu lebih aman dan nyaman." aku pun menjawab penuh kepastian. Sembari memandang Lis yang kembali berurai senyuman. Tanda persetujuan.

***

Sejak keputusan untuk mengambil akta mengajar. Aku dan Lis harus singgah di sebuah kota pelajar. Kami sepakat untuk bersama belajar. Pun mengurai sebentuk kisah kehidupan dalam serambi rumah singgah yang kami impikan.

Di kota ini, kami tak punya banyak informasi. Pintu demi pintu kami lalui. Namun hingga sore hari belum jua ditemui tempat yang cocok untuk kami tempati.

Seharian kami telah menyusuri jalan. Berharap ada asrama yang menjadi tempat persinggahan. Tak satupun yang menawan, mahal pun tak nyaman. Hingga menjelang sore, rasanya kami tak sanggup lagi. Mata pun kaki seolah sudah tak searah.

Lelah, pasti. Namun kami pasrah apapun yang terjadi akan kami hadapi dengan senang hati. Usaha tak akan mengingkari hasil, pasti bisa menemukan sebuah titik harapan. Kami yakin petunjuk jalan segera kami temukan.

Yang terpenting bagi kami adalah tempat tinggal. Paling tidak untuk satu tahun ke depan. Nyaman dan aman namun tak terlalu mahal.

Hingga kaki telah mencapai puncak titik kesanggupan. Tetiba sebuah pintu gerbang terbuka lebar. Ya, tempat inilah harapan satu-satunya di tengah raga yang sudah tak sanggup lagi menahan lelah.

***

"Kalian mulai kapan tinggal?"

"Sore ini Bu."

"Baik biar nanti Bu Mar yang menyiapkan. Silahkan kalian ikuti Bu Mar ke kamar yang hendak disiapkan."

"Terimakasih banyak Bu."

Binar mataku beradu dengan sorot teduh Lis. Usaha kami pun berujung pada asrama putri ini. Bayang hari-hari penuh warna bakal kami lalui. Nyata, bukan sekadar mimpi.

Selama menempuh bangku pun mengurai ilmu dalam jangka waktu yang telah dtentukan. Kami yakin bisa menjalani dalam bingkai kebersamaan.

***

Bu Mar, seorang ibu yang terlihat begitu sabar. Berurai senyum pun dengan lantang menjelaskan apa yang menjadi peraturan. Rupanya beliaulah yang membantu merawat tempat ini setiap hari.

Dengan ramah beliau mengantar kami menuju sebuah kamar. Sederet ruang yang kami lewati begitu rapi. Bersih dan tertata.

Hampir tak terlihat debu yang menyapa. Saat itu sepi. Tak terlihat satupun menghampiri. Pintu tertutup dan terkunci. Para penghuni belum kembali.

Aku dan Lis saling menatap tanpa kata. Kami hanya mengumbar senyum lega pun bahagia. Sembari menyemat harap, tempat ini tepat menjadi persinggahan. "Edelweis", kata itu yang kami temukan di sebuah papan.

....


Niek~
Jogjakarta, 18 Juni 2020

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun