Begitulah kebiasaan burukku. Yang kerap melewati begitu banyak chat grup bahkan tulisan yang ada di laman teman pun sahabat. Bukan tak mau, namun keseruan rumah kiranya menyita sebagian waktu.
Tetiba pagi, berujung senja hingga malam menyelimuti. Bahkan aku terlupa belum menulis lagi. Dudududu. Apalagi ramadan telah mengandeng hampir seluruh kegiatan, hingga berjibaku dengan beragam tugas yang dijadwalkan.
Maafkan. Kiranya kata itu yang bisa kukatakan. Semoga bisa terganti di lain hari. Jikalau senggang, aku pasti kan mengunjungi. Percayalah.
Kompasiana. Tak hanya sebagai tempat singgah sebuah karya. Pun menjadi ruang silaturahmi antar penghuninya. Menulis pun bercengkerama di grup WA. Menjadi acara yang begitu mengurai cerita.
Meski aku tak bisa sepenuhnya menyimak. Tersebab waktu yang tak bisa ditebak. Namun yakin hati terpaut erat. Pada ikatan silaturahmi antar sahabat yang begitu dekat.
Tetiba aku diingatkan oleh beberapa rekan, mengenai event yang digelar Mba Muthi. Saking tak sempat menyimak maka event ini pun hampir terlewati. Beruntung masih ada waktu. Meski tersisa hanya sesaat, kan kucoba sedikit menulis mengenai beliau secara singkat.
Mba Muthiah Alhasany. Secara pribadi aku memang belum mengenal beliau. Namun karyanya begitu luar biasa menggema di laman Kompasiana. Aroma Turki, barangkali ini yang menjadi daya tarik tersendiri.
Kita seakan diajak menyelusuri. Meski tak sempat mengunjungi. Namun catatan beliau mengandung beragam arti. Sehingga seolah kita turut menikmati. Segala rupa mengenai Turki.
Lalu bagaimana dengan kiprah beliau di Kompasiana? Tentu 10 tahun bukanlah waktu yang singkat. Untuk sebuah perjalanan pastinya begitu banyak lika liku yang dilewat. Salut dengan keistiqomahan beliau yang begitu kuat. Hingga menuju tahun ke 10 tentu bukan hal mudah. Nyatanya beliau mengurai dengan begitu indah.
Bagi seorang pemula sepertiku. Sungguh tak terbayang. Menuju 10 tahun bagai menggelar sebuah permadani panjang. Beragam catatan terhampar memenuhi ruang. Hingga jejak jejak pun terbuka lebar dalam papan yang terpajang.
Tentu banyak warna tertoreh di sana. Tersaji menghias di berbagai ruas. Dalam 10 tahun, pastinya menuai kisah yang beragam. Bukan hanya sekadar angka yang terekam. Namun dibaliknya memiliki makna yang terpendam. Menjadi catatan paling mendalam.
Menulis. Memang membutuhkan niat pun ketekunan. Aku yakin Mba Muthi memiliki segudang pengalaman. Bertahan hingga 10 tahun pastinya butuh sebuah perjuangan. Terbukti Mba Muthi bisa melewati dengan penuh kebahagiaan. Hebat.
Menulis bagai menggapai mutiara. Aku mengumpamakan demikian. Karya yang tertuang dalam tulisan tentu bukan sesuatu yang sembarangan. Tulisan merupakan sebuah ungkapan. Dari dasar hati yang begitu memberi kesan. Memancar cahaya hingga mengundang degup kekaguman.
Bayangkan jika ini rutin dilakukan. Tanpa sadar beragam mutiara berhasil dikumpulkan. Dalam durasi 10 tahun tentu akan ada banyak mutiara yang digenggam. Dan Mba Muthi telah berhasil melakukan.
Menjadi motivasi tersendiri bagi yang tengah belajar menulis seperti aku ini. Untuk bisa berkarya hingga menuju 10 tahun tentu memiliki tingkat kesabaran yang cukup tinggi. Pun ketekunan serta kemampuan yang tak henti diselami.
10 tahun. Antara angka dan makna. Kiranya bukan hanya angka yang terpasang sebagai tanda. Pun menulis memang bukan sekadar kegiatan yang tak bermakna. Menulis merupakan sebuah perjalanan mengurai beragam rasa. Hingga tercipta beribu asa. Dan pada akhirnya menuai catatan indah mengulur berjuta hiasan cinta.
Ya, cinta dalam sebuah karya. Tentu menjadi daya tarik tiada dua. Ketika karya tergores pada satu cerita. Akan bercahaya bagai mutiara sepanjang usia. Bahkan karya tetap abadi hingga ujung masa.
Terimakasih Mba Muthi. Mutiara karya yang begitu menginspirasi. Dalam 10 tahun bukan hanya menguntai angka, namun mengurai makna di balik hempasan rasa. Dan itu telah dibuktikan pada laman yang beliau cipta. Luar biasa. Doa terbaik untuk Mba Muthi, semoga tak henti menggapai mutiara di lembar Kompasiana.
Niek~
Jogjakarta, 30 April 2020