Purwokerto, berada di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Terletak tepat di lereng Gunung Slamet, seakan menuai beragam cerita. Bagai melukis pada selembar asa yang tersemat di setiap sudut kota.
Dimana pernah kuletak berjuta mimpi. Pesonanya mampu tambat ingatan hingga kini. Purwokerto, begitulah nama yang istimewa tak mungkin kulupa.
Kebetulan aku lahir dan besar di sana. Beragam kenangan kuuntai seiring laju perkembangan kota. Ya, kota yang berada sedikit menepi. Jikalau dari arah Jakarta menuju Jogjakarta pastilah lewati kota ini.
Dulu, kota ini masih lugu. Bangunan pun gedung belum begitu membelenggu. Kesejukkan terasa hingga jantung kota. Setiap sudut masih tercium aroma alami nan memesona.
Kini, semua telah berubah. Kota Satria menjadi begitu padat bak metropolitan yang sumringah. Beberapa ruas sudah dipenuhi bangunan. Pun kemacetan terjadi di berbagai penjuru jalan.
Hingga satu ketika aku sempatkan sejenak mengunjungi kembali. Kurasakan hawa yang berbeda. Hempasan kesejukkan seolah kian berubah warna. Jejak petualang yang dulu sempat kugoreskan. Seakan terkikis letihnya zaman.
Aku dibesarkan di bagian Utara kota ini. Tepatnya di lereng Gunung Slamet yang menjulang tinggi. Saat itu, tiap detik masih kudengar kicauan merdu. Pun pesona Slamet bisa kunikmati dari berbagai penjuru. Bebas, tanpa terhalang rintang bangunan. Hanya alunan pepohonan yang pecahkan kesunyian. Indah, tentu kurasa demikian.
Ada saja waktu yang kucuri tuk sekadar nikmati keindahan alami. Pesona Gunung Slamet kerap menggoda hati. Terlebih lagi jikalau jadwal tak begitu padat. Melipir tuk lepaskan sedikit penat adalah hal terhebat. Rasanya patut diingat.
Jalan HR. Bunyamin seolah jadi saksi setiap jejak petualangku kala itu. Merupakan jalan utama menuju arah Gunung Slamet, salah satu petunjuk awal sebuah petualangan dimulakan. Dan aku menjadi bagian pecandu alam yang hanya bermodal kenekatan.
Titik tuju utama adalah obyek wisata Baturaden. Barangkali ada yang pernah mendengar atau bahkan singgah meski barang sebentar di sana?
Ya, obyek wisata ini menjadi sangat terkenal, dimana terdapat beberapa sumber mata air yang mengandung belerang. Pun pemandangan yang eksotik juga udara yang begitu mengurai kesejukkan. Sehingga kerap menjadi buruan para wisatawan.
Dan Pancuran Tujuh, menjadi bagian akhir rute petualanganku kala itu. Mengapa akhir? Lalu di mana awal rute bermula?
Ya, aku menggunakan rute yang tak biasa. Melewati jembatan Kalipagu, teriring elok Bukit Cendana pun DAM buatan Belanda. Ekstrim dan cukup menantang. Namun disitulah letak keindahan yang tertuang.
Penasaran? Baik akan kuceritakan bagaimana persahabatanku dengan sebentang alam kala itu. Meniti jejak petualang di lereng Gunung Slamet. Menjadi bagian yang patut dikenang.
Gunung Slamet. Gunung ini merupakan gunung terbesar di Pulau Jawa. Tergolong kerap melakukan aktifitasnya. Namun hal ini tentu sangat berguna. Sebab dengan begitu kondisi aman bisa terus terjaga. Semoga.
Begitu banyak pendaki yang terpesona hingga ingin bersahabat lebih dekat. Tak menjadi masalah, jikalau selama bersahabat mematuhi aturan pendakian yang melekat. Bisa dikatakan akan aman mengurai jejak demi jejak.
Ada beberapa titik pendakian yang bisa dilewati. Salah satunya adalah yang pernah aku susuri, saat itu. Rute Kalipagu berakhir di pintu Pancuran Tujuh. Ini menjadi salah satu rute favorit para pecandu alam. Begitu mengasyikkan dan pasti melekat dalam ingat meski terganti zaman.
Rute Kalipagu. Seingatku, untuk bisa melewati rute ini butuh kekuatan fisik yang cukup lumayan. Sedari turun kendaraan di Desa Ketenger, hingga perlintasan jembatan Kalipagu, kita harus berjalan kaki beberapa kilometer. Namun kondisi jalan sejauh ini masih aman.
Tepat di bawah jembatan merupakan tempat yang cocok untuk rehat barang sejenak. Curug (air terjun) Gede, seolah menyapa setiap pendaki yang melewati rute ini.
Singgah adalah hal terbaik yang dibuat. Sekadar merendam tapak kaki sesaat. Guna mengumpul tenaga pun semangat. Tuk lanjutkan rute kembali yang akan dihadap. Diurai dengan buaian alam yang begitu memikat. Kiranya Curug Gede kan menemani dengan nyanyian dalam rehat sejenak.
Setelah melewati jembatan Kalipagu pun Curug Gede, struktur jalan sudah terlihat menanjak. Dan ini berlaku hingga beberapa kilometer jalan setapak. Maka akan segera terlihat sehampar pipa raksasa yang begitu panjang. Dengan anak tangga yang lumayan curam.
Pipa raksasa ini merupakan peninggalan Belanda. Pipa menuju DAM yang dibangun pada masa yang sama. Terdapat di ujung dekat jalan setapak yang lebih menanjak. Merupakan pemandangan langka yang tak biasa. Menakjubkan.