Cerdas, Pintar, dengan demikian adalah kapasitas seseorang dalam melakukan sesuatu. Untuk berpikir, mengerti, sempurna bertumbuh dan mahir melakukan sendiri. Cerdas, pintar atau Smart, artinya tak melulu harus rajin belajar agar pandai. Namun menjadi kultur bagaimana perkembangan kepribadian menuju yang lebih baik.
Bagaimana kalau cerdas ini, berkembang menjadi hal yang kolektif, semua aktor kehidupan kota bersama-sama, dan menjadi sebuah perilaku atau habit di sebuah kota? Tentu bayangannya menyenangkan bukan?
Nah, sesederhana itu, konsep Smart City atau Kota Cerdas ini bermula. Ditambah, kemudian, adanya kebutuhan penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai hal yang mutlak. Sebab, TIK menjadi “pemungkin” (enabler) dari kecerdasan kolektif yang dipelopori oleh penyelenggara kota (baca : pemerintah). Sehingga kehidupan sehari-hari diperkotaan sarat dengan nilai aktivitas yang efisien dan meningkatkan beberapa aspek kehidupan.
Smart City : Aspek dan Aktor
Aspek yang dapat dibentuk dengan memanfaatkan peluang TIK ini yaitu aspek cerdas pemerintahannya, cerdas secara ekonomi, cerdas secara lingkungan, cerdas secara mobilitas, cerdas masyarakatnya dan cerdas juga peri-kehidupannya (smart living) yang menjadikan dunia modern bukan-lah barang haram untuk diperjuangkan dan penuh ke-mudharat-an, namun dengan TIK semua kemudahan dan hal positif yang dapat dilakukan.
Kemudian, Smart City menjadi model pemerintahan dan menjadi keinginan setiap pemerintah kota di dunia. Termasuk di Indonesia yang mulai memanfatakan TIK untuk membuat sistem kota cerdas ini.Kita mau tidak mau memang sudah hidup di Kota di era TIK dengan berbagai aplikasi dalam genggaman dan kemudahan sistem yang “otomatis” dan “online” ketimbang “manual” dan serba “offline” sehingga, tidak salah apabila Kota Cerdas menjadi konsep yang sarat implementasi TIK dan juga sangat feasible untuk dilaksanakan apabila pemerintah kota mempunyai kemauan.
Saat ini memang dituntut untuk inovatif dan menghadirkan kenyamanan untuk kita semua. Banyak hal yang bisa dilakukan dengan perkembangan TIK yang semakin pesat ini. Intersepsi TIK di pemerintahan selaiknya menjadi alat untuk menciptakan kehidupan yang lebih efisien dan cerdas dalam aktivitas sehari-hari.
Lalu, siapa, aktor mana yang bertanggung jawab dalam pengembangan Kota Cerdas? Utamanya, kita semua. Namun kita tentu menempatkan amanah itu ke pundak pemerintah Kota kita. Karena Kota Cerdas berarti pelayanan publik yang efektif, efisien dan memungkinkan kita berpartisipasi. Misalnya dalam hal transparansi pengelolaan anggaran, dapat berpartisipasi masyarakat dengan akses melihat nilai-nilainya berapa melalui aplikasi maupun media sosial dan website pemerintah.
Penggunaan fasilitas publik yang memakai teknologi juga dapat membantu untuk pemerintah memantau keamanan masyarakat sehingga masyarakat aman dan tertib. Aplikasi-aplikasi yang bisa di-install di perangkat bergerak, gadget dan smartphone serta diakses di Internet juga membuat kita dapat melihat apa-apa saja dan bagaimana kinerja pemerintah, pun melaporkan keadaan misal kecelakaan, tindak korupsi maupun kejahatan dan pelayanan yang buruk dari aparat pemerintah dengn sangat mudah.
Selain itu, perilaku masyarakat juga berubah. Yang malas dan sembarangan, susah diatur akan menjadi teratur. Pelayanan publik dengan CCTV, Sosial media yang dikelola langsung dan dapat interaksi dengan masyarakat langsung, juga aplikasi layanan online dan mobile yang membuat kita tak capek antri juga penting menjadi penentu perilaku.Pelanggaran jalan raya misalnya, dapat ditekan karena masyarakat semakin sadar disiplin, karena diingatkan sesama masyarakat, juga diingatkan melalui sistem CCTV dan elektronik lainnya. Parkir sembarangan berkurang, parkir pun sudah bisa dalam bentuk kartu yang semua jelas, masuk ke kas pemerintah.
Jadi, dalam Smart City ini semua aspek diperhitungkan. Dan semua aktor harus berperan. Mulai dari pemerintah, kalangan bisnis, kalangan akademik dan tentnya masyarakat. Hanya saja, perlu bertahap. Tentu pemerintah punya gambaran jelas dengan Smart Governance nya, pelayanan publik berbasis elektronik misalnya. Perputaran dokumen elektronik, online dan memudahkan serta masyarakat dapat berpartisipasi dengan melaporkan pengaduan yang sifatnya juga online.
Bisnis memiliki model bisnis yang butuh efisiensi dengan menggunakan perangkat cerdas. Penggunaan cloud computing dan menumbuhkan internet of things menjadi hal yang selanjutnya jadi target bisnis untuk mengefisiensikan sumberdaya dan memaksimalkan benefitnya.
Riset dan pengembangan di kampus juga menyumbang peran penting. Di kampus lah penelitian berbagai aplikasi dan konsep pendukung layanan Smart City. Disini pulalah tulang punggung Sumber Daya Manusia dalam implementasi berbagai layanan kota cerdas berasal.
Masyarakat, sebagai pengguna (user) dan jugasekaligus aktor merupakan komponen penting pula. Sebagaimana contoh diatas, penggunaaan fasilitas yang berbasis elektronik dan mendukung integrasi layanan dalam bingkai Smart City membuat masyarakat dapat berperan aktif dalam mendukung inisiatif kota cerdas ini. Dengan menggunakan layanannya dan berinteraksi di dalamnya, pendapat masyarakat merupakan representasi wujud bagaimana kota cerdas ini berhasil atau tidak.
Pemerintah, membutuhkan aktor-aktor lain sebagai stakeholders yang terlibat.Jika dalam konsepsi Smart Governance, pemerintah memiliki gambaran, maka aspek yang lain, termasuk lingkungan bagaimana mewujudkan green economy tentu perlu banyak masukan. Tak hanya taman-taman kota yang dilengkapi Wi-Fi mungkin, tapi misalnya bagaimana pengairan taman yang otomatis hidup-mati di jam tertentu. Menghemat biaya dan pemborosan.
Smart City Perlu Kontribusi Semua Pihak : Smart Society
Konsep Smart City ini merupakan konsep yang perlu dilakukan, terutama di kota-kota besar terlebih dahulu, sehingga spread effect dari kehidupan yang efisien, disiplin dan modern ini merambah ke tempat lain. Sebab, dengan kota yang cerdas bukanlah mengejar gengsi pemerintah semata. Namun memiliki tujuan untuk kehidupan rakyat yang meningkat. Sisi layanan publik, tentu menjadi fokus, namun sisi kemudahan dalam kegiatan terkait aktivitas sehari-hari, kemudian menjadi hal yang dibutuhkan.
Dengan pemerintahan yang transparan, infrastruktur memadai, kemudahan masyarakat dalam akses ke berbagai layanan misalnya berbasis cloud (komputasi awan) sehingga memudahkan kehidupan (liveable living) di Kota merupakan hal yang membuat kehidupan perkotaan menjadi nyaman dan aman. Aplikasi-aplikasi yang dapat diakses melalui perangkat bergerak (mobile) masyarakat seperti smartphone menjadi salah satu bentuk kehidupan ini. Tentu disinilah peran masyarakat yang juga cerdas memanfaatkannya, dan mendukung terciptanya layanan kota cerdas yang bermanfaat.
Infrastruktur, bagi Smart City merupakan hal yang mendasar. Dengan demikian, investasi dalam hal ini sangat diperlukan. Penganggaran pemerintah untuk membuat konsep dan implementasi serta kontrol, misalnya melalui “command center room” merupakan hal yang dibutuhkan. Kepala pemerintahan di kota mesti dapat melakukan “blusukan digital”, agar semakin dekat dengan masyarakat. Sehingga peran semua aktor menjadi lingkaran kebajikan (virtuous circle) yang membuat tujuan membentuk Smart City menjadi mungkin untuk dicapai bersama. Inilah sebuah “Smart Society”.
Smart City Perlu Integrasi : Innopolis. Teknopolis.
Di mulai di berbagai kota di dunia terutama di negara maju, Kota cerdas merupakan hal yang tak mungkin dinegasikan jika ingin mewujudkan pelayanan dan peri kehidupan perkotaan yang memudahkan semua masyarkat.
Kajian Smart City di lingkar kota sebagai kota cerdas harus mengarah menuju konektivitas. Jabodetabek, dengan masing-masing pemerintah mencanangkan menuju Smart City memerlukan integrative movement. Menuju kemana Smart City Indonesia? Innopolis lah seharusnya jawabannya.
Bicara Jabodetabek berbicara konektivitas masyarakat semuanya. Pekerja komuter, merupakan aset untuk “test drive” Smart city. Masyarakat harus cerdas. Dan karyawan dan mahasiswa yang memiliki mobilitas tinggi ini menjadi penentu awal keberhasilan, untuk selanjutnya meluas ke lapisan masyarkat lainnya.
Menjadi kota masa depan yang efisien, ekonomi berkembang pesat namun kehidupan masyarakatnya juga berkualitas dan tidak tercerabut dari akar budaya memang tidak mudah. Konsep integrasi layanan ini juga baru beberapa diterapkan di dunia. Juga tidak mudah. Apalagi kalau bukan kendala klasik “koordinasi”.
Innopolis, sebuah bentuk peradaban kota modern ke depan, mungkin sudah jadi kajian dari para pakar studi perencanaan perkotaan, dan kesanalah arah kota-kota maju berkembang. Semakin mengikat dan berjejaring, menciptakan konektivitas layanan terintegrasi dan antar kota menjadi satu megapolitan yang besar dalam hal integrasi layanan. Selain disebut Innopolis, biasanya juga disebut Teknopolis, mengacu kepada produk hi-tech yang dihasilkan maupun yang digunakan dari setiap sudut kehidupan urban. Sekaligus sebagai tumpuan perekonomian kota. Namun demikian, konsep Innopolis ini juga menyangkut tatakelola lingkungan yang hijau, masyarakat yang secara sosial tertata rapi namun berkpribadian dan memiliki berbagai saluran komunikasi yang memudahkan. TIK, dalam hal ini selalu dijaga untuk menjadi alat pemersatu, bukan pemecah belah.
Bagaimana Misalnya Jakarta.
Pemprov DKI melalui pernyataan Gubernur, Basuki Cahaya Purnama alias Ahok sudah memiliki konsep “Smart City” yang ditunjang fasilitas 4G yang terpasang di 3.000 lebih CCTV di jalan-jalan utama Jakarta. Pertemuan Ahok dengan sejumlah perusahaan media sosial besar seperti Google (Waze), Twitter, Safetipin, SwaKita bahkan penjajagan dengan Facebook yang memulai Internet.org program menjadi langkah yang patut diapresiasi. Dengan Waze misalnya, kemacetan akan terpantau. CCTV dengan 4G juga akan melihat detil pelanggaran seperti parkir liar, buang sampah sembarangan dan merekam plat nomor dan muka pelanggar dengan resolusi tinggi. Di bidang pemerintahan, kinerja perangkat daerah, mulai dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) hingga pegawaikelurahan. Tentu ini memerlukan juga semacam monitoring room, misalnya seperti di Bandung.
Kita Lihat Bandung.
Secara khusus, Bandung Smart City dibahas pada Forum Peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) beberapa waktu lalu tepatnya pada April 2015 yang lalu. Walikota Bandung juga memperkenalkan Bandung Command Center yang kabarnya lebih canggih dari punya Korea Selatan, yang saat ini banyak dijadikan sebagai kiblat Smart City misalnya kesuksesan Daedok Innopolisnya. Bandung Command Center ini merupakan ruangan khusus yang dilengkapi teknologi terkini, untuk memantau akses pelayanan publik. Ruang ini digunakan Walikota untauk memonitor “blusukan digital” dan segera mengambil keputusan dengan cepat atas apa yang terjadi.
Selain itu, berfungsi juga untuk menyempurnakan pelayanan publik ke masyarakat. Awal 2015 ini, sudah ada 150 pelayanan publik di Kota Bandung yang sudah dilaksanakan secara online. Mulai dari urusan KTP, mengecek perijinan, hingga monitoring kemacetan dan banjur bisa dilakukan secara cepat dan “real time”.
Video ujicoba Bandung Command Center (BCC)
Kita Lihat pula Bogor.
Bogor dengan walikota muda dan mantan akademisi, Dr Bima Arya tentu tak mau kalah. Namun demikian, diakui beliau bahwa dana yang ada tidak mencukupi seperti Bandung. Karena adanya investasi dan sumbangan berbagai pihak eksternal. Sementara ini, konsep Bogor Cyber City yang sebenarnya di-klaim sebagai gagasan paling awal dalam sebuah “smart city” di Indonesia, sebab sudah dimulai sejak 1999, memang terhambat. Hiruk-pikuk Smart city-lah yang membuat penyelenggara Kota Bogor saat ini mulai berbenah. Kantor Kominfo Kota Bogor sedang diubah menjadi tempat command center, walau tak secanggih bandung. Disinilah Walikota berniat untuk “kukurusukan online” alias blusukan digital. Mari kita tunggu.
Intinya, menilik konektivitas Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi hingga ke Bandung yang membentuk Jabar-DKI “cyber city connection” bukan hal yang mustahil.Posisi geografis DKI Jakarta dan Jawa Barat sebagai dua provinsi termaju di Indonesia patut menjadi “pilot project” Innopolis, konsep advanced dari sebuah smart city. Tak hanya urusan cyber city (segalanya online) namun juga “smart” (cerdas dalam pengelolaan berbagai aspek).
Di Jawa Barat sendiri, beberapa kota misal Cimahi, Sukabumi, Garut dan Bekasi sudah pula mereposisi diri menjadi sebuah “cyber city” dan mengembangkan TIK untuk pelayanan publik. Dari sekian banyak kota, salah tiga-nya tersebut diatas, sayangnya, memiliki konsep dan manajemen tatakelola tersendiri. Hal ini membutuhkan sinergi, alih-alih hanya sekedar kontestasi, untuk sekedar ikut-ikutan maupun prestasi kepala daerah, bukan kompetisi memberikan layanan terbaik ke masyarakat.
Hal yang penting, tak hanya kolaborsi antar aktor dalam satu kota (intra-actor) namun juga memerlukan kontribusi dan koordinasi antar aktor antar kota (inter-actor) yang direpresentasikan dengan kerjasama jabodetabek untuk membentuk layanan backbone infrastruktur jabodetabek misalnya. Sebab, untuk masyarakat sendiri, lingkar jabodetabek sudah cukup mapan untuk memiliki kota yang cerdas. Perilaku masyarakat urban dapat dengan mudah di-drive melalui berbagai sosialisasi dan kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil dan relawan.
Jawa Barat dan DKI Jakarta, sangat potensial dalam hal kolaborasi Smart City menuju konsep kota cerdas masa depan. Kota Inovasi berbasis TIK pun sudah ada sebenarnya di banyak wilayah di Jabodetabek ini. Konsep klaster industri berbasis teknologi sudah ada dan berpeluang terintegrasi dengan layanan publik dan membentuk jejaring inopolis atau teknopolis.
Sebut saja beberapa science park dan technology park yang ada/dalam pengembangan seperti: Bandung Technopark, Bandung Raya Innovation Valley, Bandung Technopolis, Cikarang Teknopark, Surya Teknopark, Puspiptek Serpong, bahkan Kampus seperti IPB Science Park dan UI S&T Park. Semua bentuk wahana inovasi berbasis teknologi ini sangat potensial di-support oleh layanan e-government dan membentuk sebuah kota dan jejaring sumberdaya ekonomi masa depan dalam bentuk kota inopolis dan teknopolis yang berani dari Indonesia.
Smart City Perlu Ukuran : Indeks Kota Cerdas Indonesia.
Nah, walaupun dari beberapa fakta diatas, pemerintah kota sudah mulai melaksanakan berbagai program cyber city dan smart city, namun perlu ada ukuran. Ya, mengukur efektivitas dan efisiensi sangat penting. Juga sejauh mana implementasinya bermanfaat untuk masyarakat. Tak hanya kontestasi dan berujung kebangkrutan ekonomi kota bersangkutan. Selain itu, taraf atau level pelaksanaannya juga mesti diukur apakah sudah komprehensif. Sejauh mana, dan seperti apa penerapannya. Seperti kita ketahui bersama, Smart City tak hanya tentang Cyber City. Tak hanya mengenai “serba online” dan pemerintahan berbasis elektronik (e-governance) saja tapi merupakan konsep yang lebih luas.
Ukuran seperti apa yang akan dibuat?
Dalam tatar konsep Smart City di Eropa dan Amerika, terdapat enam “kecerdasan kota” yang diukur, sebagaimana gambar di awal tulisan ini. Di Indonesia, bukan hal yang tabu untuk membuat indeks dan aspek sendiri yang akan diukur. Sebab, ini demi kebutuhan spesifik dalam negeri dan juga interpretasi “cerdas” dari kita sendiri.
Alhasil, indeks kota Cerdas Indonesia yang sudah di-launch beberapa waktu lalu dan juga sudah dilaksanakan acara Kompasiana Nangkring “Kota Cerdas”, 25 April 2015 yang lalu di Kafe Pisa Mahakam, menjadi sangat bermanfaat. Inilah indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) pertama, yang digagas oleh Kompas beserta PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung.
Indeks kota cerdas ini merupakan bagina dari program Kompas–ITB Smart City Model (KISCM) sebagai program yang bertujuan memajukan seluruh kota di Indonesia berkembang menjadi kota yang cerdas. Kota Cerdas (Smart City) harus mampu cerdas secara secara ekonomi, cerdas secara sosial, dan juga kota yang cerdas lingkungan. Dengan indeks ini, semua kota akan diberi peringkat melalui berbagai indikator sosekling yang ada. Diharapkan, semua kota di Indonesia menjadi kota cerdas dalam waktu yang tidak begitu lama, dan terus meningkatkan dirinya.
Jabodetabek, dalam kaitannya dengan jejaring kota cerdas menjadi sebuah kota mega-politan modern dengan multi-kultur, diharapkan menjadi yang paling maju dalam implementasinya. Sebelum ini, tanpa adanya indeks, pemerintah kota hanya mengandalkan penilaian Indeks e-government dari Kominfo yang tentu tidak cukup komprehensif melihat aspek sosial dan lingkungan selain pemerintahan saja.
IKCI menilai 93 kota (minus 5 kota administratif di DKI Jakarta) dan perlu kita dukung untuk keberlanjutannya. Saat ini, pemeringkatan sudah mulai hingga ke 15 kota terpilih yang diseleksi. Untuk kemudian pada Agustus 2015 di umumkan hasilnya.
KISCM dengan IKCI nya ini menjadi barometer bagi kota-kota di Indonesia untuk Smart, mengoptimalkan semua aktor-aktor pembangunannya, menjadikan dirinya menjadi kota yang cerdas baik ekonomi, sosial maupun lingkungan, serta merambah jejaring sinergi menjadi integrasi inopolis atau teknopolis yang pasti menimbulkan efek ganda untuk perkembangan kehidupan (smart living) masyarakat.
Jadilah aktor-aktor cerdas di kota cerdas. Mari kita sukseskan dan dukung kota masing-masing untuk tingkatkan layanan secara komprehensif sesuai indeks IKCI yang tentu sangat bermanfaat untuk kita semua.