Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Sang Penari: Ketika Hijau Tidak Mengayomi

14 November 2011   14:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:40 628 0
[caption id="attachment_143585" align="alignleft" width="380" caption="Sang Penari (2011)"][/caption] Seorang tentara berjalan sendiri menyandang bedil menyusuri gang-gang di satu pedukuhan yang kosong tanpa penghuni. Satu-satunya orang di sana, ditemukan meringkuk di pojok salah satu rumah. Tentara dan orang itu saling mengenal dan cerita mengenai kekejaman, kelicikan, serta keluguan para korban kudeta militer 1965 pun dimulai sebagai film "Sang Penari" (2011), karya Ifa Isfansyah. Adegan kemudian mundur (flashback) ke situasi kampung pada dekade 1950-an. Masa itu Dukuh Paruk dalam krisis pangan. Tempe bongkrek jadi pelengkap murah-meriah untuk gaplek. Pada satu pagi, bongkrek membunuh warga Paruk, termasuk ronggeng andalan, dan sepasang korban lagi adalah orangtua Srintil yang memproduksi bongkrek sialan itu. Srintil dibesarkan oleh eyangnya dalam tekanan sosial sebagai anak peracun warga. Ia memutuskan menjadi ronggeng dalam seni tayub untuk membersihkan nama baik keluarganya. Rasus, teman sepermainan Srintil, yang diam-diam menaruh hati, tidak suka mengetahui Srintil mau jadi ronggeng, dengann alasan apa pun. Bakat alam Srintil menari belum cukup menjadikannya ronggeng. Dukun Ronggeng di Paruk tidak mau menabalkan Srintil. Peresmian Srintil sebagai ronggeng, baru bisa terjadi setelah Rasus menyerahkan keris ronggeng yang pernah ia selamatkan di masa keracunan massal bongkrek. Rasus ,yang patah hati, kemudian pergi ke pasar dan menjadi jongos (office boy) tentara, lantas naik status menjadi tentara reguler Angkatan Darat di daerah itu. Cerita melompat satu dasawarsa ke masa-masa panas agitasi PKI (Partai Komunis Indonesia). PKI merangkul rakyat bodoh dan buta huruf menjadi simpatisan.  Tayuban menjadi alat penggalang massa. Kurang pangan dimanfaatkan untuk menarik massa menjadi anggota PKI. [caption id="attachment_143654" align="alignleft" width="300" caption="PKI memerahkan kesenian untuk tujuan politik."][/caption] Srintil semula berkeras tidak mau menari dalam acara PKI, tapi akhirnya luluh juga. Kecuali seorang warga, penabuh gendang tuna-netra, seluruh dukuh itu kemudian mencatatkan diri untuk menerima bantuan pangan dari PKI. Catatan itu beberapa tahun kemudian menjadi pedoman angkatan darat dan milisi penjagal untuk menangkap, menyiksa, dan membunuh warga, yang melek fisik tapi buta huruf dan buta politik. Pembantaian ditayangkan cukup jelas. Para lelaki Dukuh Paruk berlutut di tepi sungai dalam kegelapan. Satu per satu leher mereka digorok seperti ayam. Mati. Bahar, agen PKI ditembak mati oleh Rasus ketika berusaha lari dari arena pembantaian. Para perempuan Dukuh Paruk ditahan di satu pabrik gula. Srintil yang cantik menjadi barang 'pinjaman' semalam para penguasa untuk ditiduri. Rasus bersikeras cuti kepada sersan atasan, yang biasa dipanggil 'abang', untuk mencari Srintil. Pada masa cuti ini lah, Rasus kembali ke Dukuh Paruk dan menjadi pembuka film ini. Pada kesempatan ini Rasus menemukan lagi keris ronggeng yang pernah ia serahkan kepada Srintil untuk dinobatkan sebagai ronggeng. Akhirnya Rasus menemukan lokasi penahanan dengan risiko disangkut-pautkan sebagai komunis.. Setiba di likasi penahanan, ia hanya bisa menyaksikan Srintil diseret pergi dengan kereta pengangkut tebu ke lokasi penahanan baru yang tidak jelas. Satu dasawarsa kemudian, dalam derap kekuasaan Orde B aru, di Pasar Dawung, di sudut keramaian, Srintil dan Rasus bertemu sekali lagi. Srintil sudah bebas dan menjadi pengamen tari bersama si penabung gendang buta. Rasus sudah naik pangkat dan mengenakan baret-hijau. Dalam pertemuan ini sekali lagi Rasus menyerahkan keris ronggeng yang dia temukan. Srintil kemudian digambarkan pergi meninggalkan Rasus melalui jalan setapak. Keduanya berpisah (lagi). Yang jelas, Srintil selamat melewati aniaya para serdadu selama penahanan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun