Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Berdebat Demi Tuhan

8 April 2010   00:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:55 228 0
Sekelompok orang berusaha menutup jurang pemisah sains dan agama, namun upaya mereka malah memperlihatkan bahwa jurang pemisah itu semakin lebar. Tidak saja terjadi di aras kelompok, individu, pertentangan pun sudah sampai ke batin individu.

Pada Juni 2005 Universitas Cambridge dan Yayasan Templeton mengadakan pertemuan selama dua pekan antara ilmuwan dan wartawan. Pertemuan ini menghadirkan empat ilmuwan agnostik, seorang Yahudi, seorang yang percaya pada Tuhan namun tak resmi beragama, dan sebelas Kristen. Pada umumnya para penceramah menegaskan bahwa jurang pemisah antara sains dan agama bisa dijembatani.

Yayasan Templeton adalah organisasi yang bertujuan untuk mendamaikan sengketa nan tak kunjung padam antara sains dan agama mengenai keberadaan Tuhan. Dengan reputasi Cambridge sebagai pabrik ilmuwan garda-depan sains, diharapkan para wartawan dapat menuliskan gagasan-gagasan segar mengenai hubungan agama dan sains. Namun pertemuan ini malah mengungkap bahwa jurang pemisah yang terjadi tetap menganga, bahkan sudah meluap menjadi konflik batin.

Panasnya pertemuan dipicu dengan sejumlah pertanyaan kritis bahkan pedas antara penyaji makalah dengan penanya. Pertanyaan itu seperti apakah kemanusiaan akan hancur tanpa agama;apakah klaim ilmiah sama tak-terbuktikannya seperti klaim agama; dapatkan doa menyembuhkan dan jika memang demikian, apakah itu merupakan efek psikologis semata (placebo effect) atau benar-benar bantuan Tuhan; mengapa Tuhan kelihatannya hanya menolong sekelompok orang sementara membiarkan lainnya tertindas? Apa lacur pada akhir pertemuan, alih-alih menjembatani, jurang pemisah sains dan agama malah melebar.

Ambil contoh perdebatan antara dua biolog terkemuka, Richard Dawkins dari Universitas Oxford, seorang ateis, melawan Simon Conway Morris dari Universitas Cambridge. Morris seorang penganut agama aliran teisme yang percaya bahwa Tuhan rajin campur-tangan dalam kehidupan manusia. Morris ngotot bahwa kecerdasan bukan muncul kebetulan melainkan tertata rapijali.

Morris memperlihatkan adanya kecerdasan selain pada primata, seperti pada ikan lumba-lumba, kakaktua, dan gagak. Ia berspekulasi bahwa spesies lain pun berpotensi menemukan Tuhan. Tapi manusia-lah yang khusus dibantu oleh Tuhan dengan mengirim Yesus ke dunia.

Dawkins memuji pemahaman Morris tentang evolusi namun menyebut keyakinan Kristennya amburadul (gratuitous). Morris pun balas menyebut sikap Dawkins primitif. Setelah bersilat-lidah beberapa jurus, akhirnya Morris melipat-tangan di dada dan menggerutu “Saya tidak yakin percakapan ini bisa terus berlanjut.”

Dawkins juga menantang kepercayaan fisikawan John Barrow, seorang Katolik Anglikan. Barrow menekankan betapa luarbiasanya alam-semesta ini yang sebegitu pas (fine-tuned) sebagai karya Tuhan. Dawkins pun bertanya, “mengapa Anda tidak menerima saja bahwa pas-nya alam sebagai fakta biasa saja?” Barrow pun membalas santai, “alasannya sama seperti Anda yang tidak menginginkannya [sebagai karya Tuhan]”. Semua orang tertawa kecuali Dawkins, yang menggerutu “itu sih bukan jawaban!”.

Silang-pendapat tidak hanya terjadi antara agnostik melawan pihak yang berpendapat bahwa alam-semesta adalah karya adikodrati, tapi bahkan meluas di kalangan ilmuwan yang percaya. Fisikawan John Polkinghorne, penerima uang Templeton Prize sebanyak 1.4 juta dollar AS, memukul kalangan spiritualis dengan menyatakan bahwa omongan fisikawan tentang kausalitas setengah-setengah dan memberi tempat pada sosok Tuhan yang menjawab langsung doa-doa dan keajaiban seperti membelah Laut Merah.

Peraih Templeton Prize lainnya, fisikawan Paul Davies, menerima bukti sementara adanya rancangan pada hukum alam, tapi menambahkan bahwa “sebagai fisikawan, saya merasa sangat tidak nyaman dengan sosok Tuhan yang mencampuri hubungan antar-manusia.” Paul Davies adalah penganut ketuhanan versi deisme yang berkeyakinan bahwa setelah proses penciptaan, Tuhan cuma diam mengamati Alam-Semesta dan seisinya.

Konflik dalam diri-sendiri tercermin pada kasus Nancey Murphy. Ia seorang filsuf di Fuller Theological Seminary di Pasadena, AS dan memerikan dirinya sebagai materialis yang menolak jiwa sebagai bentuk terpisah dari raga. Namun Ia percaya pada gejala kebangkitan Yesus dan manusia pada akhir zaman. Ketika ditanya oleh wartawan, bagaimana persisnya kebangkitan terjadi, Murphy menjawab bahwa pada bagian ini diskusi antara sains dan agama bubar karena proses ini melibatkan skema-skema yang tak terukur sehingga susah dipahami prosesnya. Penjelasan sains selalu menuntut data terukur (kuantitatif) sementara agama boleh cuma keyakinan belaka tanpa bukti.

Ada lagi filsuf Cambridge, Peter Lipton, yang setia berdoa di sinagoga sebagai seorang Yahudi, tapi tidak percaya pada sosok Tuhan yang adikodrati. Lipton menyamakan kasus dirinya dengan seorang pembaca novel yang menikmati cerita dan memaknai untuk dirinya sendiri sekali pun si pembaca itu tahu kisah yang diceritakan fiktif belaka.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun