Tidak bisa dipungkiri bahwa Ramadan memiliki banyak makna. Ramadan adalah bulan mulia. Ramadan adalah momentum untuk mempersiapkan bekal ke kampung akhirat. Ramadan adalah saat yang tepat untuk menempa diri menjadi pribadi dengan predikat takwa. Namun, bagi An atau Ma'e, Ramadan adalah momen ia bertemu dengan 'Lailatur Qadar'. Kalaupun tidak bisa bertemu dengan Lailatul Qadar maka setidaknya ia bisa merasakan nuansa 'Lailatul Qadar'. Berikut ini adalah kisahnya.
An hanyalah perempuan biasa. Setelah kehilangan buah hatinya karena ditabrak truk, An merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Terkadang An merasa kakinya menginjak bumi, tetapi jiwanya melayang ke langit. Dan kemudian seorang pemuda tampan muncul di benaknya secara tiba-tiba seraya berkata lembut, "Umiii! Aku tunggu Umi di surga!"
Beberapa bulan pasca kematian anaknya, An menjalani puasa Ramadan. Pada bulan Ramadan ini An tidak ingin kehilangan sebuah momen istimewa pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Oleh karena itu setelah suami dan anak-anaknya pergi, An pergi ke belakang. Dari balik pintu dapur, An mengintai langit.
Demi meraih Lailatul Qadar, An rela begadang sejak sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.
Ego An berontak terhadap kebiasaan barunya itu. Didorong oleh rasa penasaran, Ego An bertanya kepada lubuk hati An,"Mengapa kau sering mengintai langit, An ?"
Masih dalam balutan mukenah putih, dan sambil menguak pintu belakang, lubuk hati An menjawab pertanyaan egonya , "Siapa tahu aku dapat meraih Lailatur Qadar."
"Lailatur Qadar? Malam seribu bulan?" tanya Ego.
"Iya. Malam ketika dosa-dosa diampuni Nya. Doa-doa dikabulkan-Nya."
Serta merta Ego An menyahut, "Mimpi kamu! Ahli ibadah saja sulit meraih Lailatul Qadar, apalagi kamu yang masih terbata- bata membaca Alquran.