Setelah menikah aku tinggal bersama suamiku di rumah sederhana dari kayu di sebuah desa lereng gunung Argopuro.
Rumah kami tak dilengkapi fasilitas listrik PLN dan PDAM. Sehingga mau tak mau kami menumpang listrik ke tetangga untuk menyalakan lampu 10 Watt. Sedangkan air bersih aku harus mengambilnya di sumber air atau tempat penampungan air di dekat rumah.
Dari pernikahan tersebut lahirlah anak-anak kami. Pertama bernama Hamdan. Kedua bernama Faruq. Dan ketiga bernama Adil.
Aku dan suamiku bekerja di lembaga pendidikan yang sama dengan honor yang relatif kecil. Menurut Badan Pusat Statistik, keluargaku tergolong miskin. Meskipun demikian, aku dan keluargaku hidup bahagia. Berikut ini adalah beberapa potong kisah kami.
Pagi itu. Setelah memandikan anak-anak, suamiku mencuci baju di sungai. Sementara itu aku pergi ke pancuran. Menampung air satu timba. Lalu aku membawanya ke rumah sampai tempayan di dapur penuh.
Setelah memetik sayur- mayur, seperti, labu siam, cabe rawit dan tomat di kebun belakang rumah, aku mencari ranting-ranting kering untuk kayu bakar di sekitar kebun.
Setelah mendapatkan setumpuk ranting kering, aku menyalakan tungku. menjerang air, menanak nasi, mengukus labu siam, cabe rawit dan tomat. Setelah semuanya masak, aku membuat sambal tomat di cobek. Lalu aku menaruh nasi yang masih hangat di tempat nampan. Labu siam kukus di piring. Sambal tetap di cobek. Beberapa saat kemudian aku memanggil suami dan anak- anakku.
Aku melihat suami dan anak-anakku dari balik pintu berkaca. Suamiku baru saja selesai menjemur baju dan anak- anakku sedang bermain di teras.
Aku membuka pintu dan berseru lantang: "Makanan sudah siap!"
Serta merta Hamdan dan adik-adiknya berdiri.
"Baiklah, kami sudah siap menyantap!" sahut Hamdan riang.
Suamiku tersenyum dan menaruh timba di sudut rumah "Ayo makan! Ayo makan" ajak suamiku.
Hamdan dan adik- adiknya bergegas memasuki rumah. Setelah mencuci tangan di "kobokan" (tempat cuci tangan). Mereka naik ke balai- balai. Aku dan suamiku juga naik ke balai- balai. Mata anak- anak berbinar- binar menatap hidangan. Setelah berdoa, kami makan bersama ala santri di pesantren. Alhamdulillah nikmatnya luar biasa!
Ketika jam di dinding menunjukkan pukul 07.00 Aku, suamiku dan anak- anakku bersiap-siap berangkat ke Pesantren. Honor kami sebagai guru di Pesantren tidaklah cukup untuk mengupah pembantu. Sehingga kami terpaksa membawa anak-anak ke Pesantren.
Jarak rumah ke pesantren sekitar 3,5 km. Kami naik ojek. Satu ojek berlima. Aku duduk paling belakang sambil menggendong Adil. Faruq duduk paling depan. Suamiku, Hamdan dan Pak Ojek duduk di antara aku dan Adil
Lima belas menit kemudian kami sampai di Pesantren, suamiku langsung menuju gedung Madrasah Aliyah atau MA-tempat suamiku mengajarkan Biologi. Sedangkan aku dan ketiga anakku menuju gedung Taman Kanak- kanak atau TK yang letaknya tidak jauh dari gedung MA.
Aku mengajar santri TK di kelompok B. Kegiatan TK dimulai pukul setengah delapan. Adapun susunan kegiatannya, pertama adalah pembukaan yaitu: Berbaris, membaca surat Al-Fatihah, Syahadat dan hafalan doa-doa. Ke dua adalah kegiatan inti yaitu: Melengkapi kalimat sederhana, menelusuri jejak dan menganyam kertas. Ke tiga adalah istirahat yang diisi kegiatan makan dan bermain bersama. Ke empat, penutup yang diisi nasehat- nasehat ustadzah dan berdoa bersama.
Hamdan mengikuti kegiatan di kelompok B. Faruq dan Adil bermain di teras TK. Sambil memandu kegiatan di kelompok B , aku mengawasi Faruq dan Adil bermain. Mereka sering terlihat mondar-mandir dari teras TK ke ruang kelompok B.
Ketika istirahat dan aku sedang sibuk mengerjakan administrasi TK, Hamdan berteriak,"Umi, Adil naik perosotan!" Serta merta aku menghentikan pekerjaanku. Lalu aku cepat-cepat berlari menuju arena bermain. Aku terus-menerus memohon kepada-Nya agar Adil dilindungi-Nya. Ketika aku sampai di depan perosotan, Adil tertawa- tawa. Mungkin karena berhasil mencapai puncak perosotan.
Pukul sebelas semua warga TK pulang kecuali aku dan anak-anakku.
Sambil menunggu waktu salat zuhur, aku dan Hamdan membersihkan TK. Sementara itu Faruq dan Adil bermain. Saat azan zuhur berkumandang, Hamdan bergegas ke masjid untuk salat zuhur. Sedangkan aku salat zuhur di asrama puteri.
Selesai salat, suamiku mengajak kami pulang. Karena tak punya ongkos untuk naik ojek maka kami pun pulang berjalan kaki. Sambil berzikir dan sholawat kami menyusuri jalan Patirana hingga tak terasa kami sudah sampai rumah.
Satu tahun kemudian. Hamdan masuk SD kelas satu. Dan tak lama setelah duduk di bangku SD kelas satu, sesuatu menimpa Hamdan.