Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Ayahku, Ayah Anakku dan Ayah Mereka

13 November 2014   21:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:52 156 0
Seharian kemarin, para ayah di seluruh Indonesia sedang sangat berbahagia. Perjuangan hebatnya dilukiskan dalam banyak tulisan berkesan. Diselingi video tentang tulang punggung keluarga berbumbu alunan instrumentalia menggetarkan jiwa. Tiba-tiba para anak menjadi puitis menulis puisi-puisi romantis. Titip Rindu Buat Ayah, Yang Terbaik Bagimu dan syair-syair sejenis itu pun mengalun syahdu. Di radio-radio, di gadget-gadget sampai di ruang tunggu. Dari kisah heroik Mulan sampai Malaikat Tanpa Sayap ingin diputar ulang. Yang sedang di rantau orang tetiba ingin pulang. Sekedar menatap dan memeluk tubuh perkasa ayahanda tersayang, yang mungkin kini kegagahannya telah jauh berkurang.

Ayahanda...
Aku pun termasuk di antara mereka. Aku memang tidak menulis ini tepat waktu. Sementara di luar sana, para ananda tepat di dua belas November menuangkan segala perasaannya. Tulisan ini mungkin terlambat sehari. Karena sebenarnya aku ingin mencintaimu setiap hari. Mungkin kemarin aku belum sanggup menulis. Rasaku padamu telah tertumpah ruah dalam tangis. Rindu tak bertepi. Ingin memelukmu, duhai lelaki sejati. Tapi tiada mungkin terjadi. Karena engkau dan aku sangat jauh kini, jauh sekali...

Tidurlah dengan damai, ayahandaku. Kini ku balas cintamu dengan doa-doa. Moga untaian doaku ini diijabahNya. Dan ikhtiarku menjadi sebaik-baik perhiasan dunia, semoga jadi bagian pemberat amalmu menuju surga. Bukankah Rasulullah dengan lisannya yang mulia berkata, bahwa ayahanda yang berputri shalihah akan diganjar surga. Mereka dengan Rasul-Nya akan dekat sekali. Seperti dekatnya dua jari.

Ayahanda...
Di sisiku kini telah ada seorang lelaki perkasa nan bijaksana. Atas izin Allah, dia lah yang sekarang menggantikan peranmu menjagaku. Syukur tak terhingga mendapatkannya. Shalih, santun, taat pada Rabb-Nya. Seakan ku lihat bayang-bayangmu padanya. Kelak suatu hari, putriku pun mungkin akan menulis tentang ayahnya seperti ini. Menulis dengan penuh kebanggaan. Atas limpahan cinta dan kasih sayang yang diberikan dan rasakan. Engkau dan dia, adalah dua lelaki pilihan.

~~~

Saat hendak mengakhiri ungkapan sederhana ini, mata saya melihat keluar jendela. Ada sosok ayah lain yang sedang duduk berdiam saja. Ya, tidak bekerja. Saya pun teringat deretan para ayah lain yang sedang duduk di atas motornya. Menunggu para istri menjelang pulang yang sedang bekerja di pabrik-pabrik rokok yang tersebar di kota ini. Seorang rekan guru pernah berkisah, murid-muridnya yang bermasalah mayoritas ditinggal bekerja ibundanya yang mengambil alih peran. Ya, di pabrik-pabrik rokok itu tadi. Dan ayah mereka yang kalah bersaing dalam lapangan kerja memilih diam. Toh, sudah ada salah satu yang berperan sebagai tulang punggung keluarga.

Ah, saya sebenarnya tak ingin menghakimi. Tapi bukankah sosok ayah hebat yang disebut-sebut seharian kemarin adalah yang gigih berjuang? Bergerak tak kenal henti demi nafkah halal untuk keluarganya. Walau pun mungkin harus berdarah-darah dan menjelajah ke penjuru daerah.

~~~

*Sehari setelah Hari Ayah Nasional, ditulis dalam rinai gerimis...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun