Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Mengarang Susah???

12 Juni 2010   00:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:35 356 0
Saya terbata, tak tahu harus mengucap apa, ketika putri kami tiba-tiba menyodorkan karangan pertamanya saat kelas 3 (tiga) sekolah dasar. Dan lebih takjub lagi, ternyata saat di kelas, dia lebih suka menulis cerita atau dongeng daripada mendengarkan pelajaran. Ini terlihat dari buku miliknya, yang lebih banyak karangan hasil karyanya daripada catatan materi pelajaran.

Mengapa mengarang itu susah?? Karena kebiasaan.....!!!

Mengapa dia dengan mudah membuat suatu karangan? Padahal menurut saya, mengarang adalah sesuatu yang sangat sulit.... Dibandingkan saya, ibunya; saya hanya mengarang dua kali selama sekolah. Itupun karena dalam ujian akhir SD dan SMP, pelajaran Bahasa Indonesia ada soal mengarang. Selebihnya saya nyaris tidak pernah lagi mengarang.

Berbeda dengan anak-anak saya. karena anak-anak terbiasa membaca buku, ternyata berlanjut dengan kebiasaan anak-anak untuk mengarang. Ibarat ember yang diisi air terus menerus, suatu saat akan luber. Karena dari kecil putri kami sudah melahab banyak buku cerita, otaknya mulai penuh dengan kata-kata, gambar, tokoh, imajinasi yang tanpa susah payah kemudian dia tuangkan dalam sebuah tulisan/karangan.

Ternyata kebiasaan mengarang setali tiga uang dengan kebiasaan membaca. Saling terkait, orang yang terbiasa mengarang pasti rajin membaca. Orang yang jarang membaca, sepertinya agak tersendat-sendat jika harus mengarang. Itulah mengapa, sayapun mengatakan, bahwa mengarang itu susah.

Melihat dua buah hati saya suka membuat tulisan; cerita dan puisi bahkan naskah drama, memaksa saya untuk mendukung dan mengembangkan minat dan bakat mereka, dengan cara:

1. Mendorong anak untuk tetap rajin membaca buku cerita atau majalah yang sesuai dengan seleranya. Karena anak-anak yang suka membaca, mempunyai perbendaharaan kata yang banyak, yang   nantinya anak bisa membuat kalimat atau diksi yang tepat.

2. Meminta mereka untuk menceritakan kembali dalam bentuk tulisan, dengan bahasa mereka sendiri.

3. Mendorong anak untuk menulis diary atau catatan harian, agar mereka terbiasa menumpahkan segala pikiran dan perasaannya di buku harian.

4. Mengajak anak pergi ke luar, entah itu ke tempat-tempat wisata atau ke tempat yang belum pernah dikunjungi dan meminta mereka untuk untuk menulis apa yang dilihat/dirasakan selama dalam perjalanan.

5. Tidak memaksa anak untuk menulis karena itu membutuhkan waktu tersendiri untuk merenung atau berpikir tentang apa yang hendak dituangkan.

6. Setelah anak selesai menulis, perhatikan isi dari tulisan bukan pemilihan kata atau ejaannya.

7. Beri pujian dan masukan secukupnya demi membangun rasa percaya diri si anak.

Secara teori, saya terapkan ini pada anak-anak.  Tapi dalam prakteknya, saya justru belajar bagaimana mengarang itu dari mereka. Mereka biasa coret-coret dimana saja. Tak peduli di buku catatan sekolah, kertas sobekan atau buku khusus untuk menuangkan apa yang ingin mereka tulis. Tidak lagi peduli, apakah karangan itu bagus apa tidak, relevan apa tidak, yang penting menulis dan menulis.

Saya juga belajar bagaimana menggali ide untuk menulis. Sedikit berimajinasi meniru anak-anak dalam berkarya, karena imajinasi anak-anak saya cukup liar, dalam membuat sebuah karangan. Sedemikian liarnya, hingga judul-judul karangan anak saya membuat saya sering terhenyak ‘ko bisa ya.....’

Sumber: Kompas (21 November 2006)

Ngintip blognya mascayo.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun