Kini, Golkar tidak sejaya masa Soeharto. Banyaknya motif politik di tubuh Golkar membuat partai tersebut mudah jatuh bila terkena goncangan sedikit saja. Mereka belum menyiapkan payung sebelum badai menerpa. Bayangkan saja pasca pemilu 2014 Partai Golkar terbelah menjadi dualisme kubu. Egosentris elit Golkar semakin tidak terkendali dan tidak bisa lagi bermain politik secara cerdas. Pasca pemilu Golkar mengambil sikap berada di luar pemerintahan. Golkar menabrak doktrin partai yang harus selalu berada di pemerintahan demi menjalankan visi dan misi partai. Kini justru menjauh dari pusaran pemerintahan. Akhirnya Golkar pun mulai retak. Salah satu akar penyebab konflik adalah bermula dari Munas IX 2014 di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, 30 November-4 Desember 2014. Pada munas tersebut, Aburizal Bakrie (Ical) terpilih kembali sebagai ketua umum secara aklamasi. Terpilihnya Ical mengundang ketidakpuasan bagi sebagian elite pengurus Golkar yang dimotori Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan Agus Gumiwang Kartasasmita. Mereka menganggap munas di Bali tidak demokratis. Dalam sejarah munas Golkar sejak era reformasi, baru pada saat itulah muncul hanya satu calon ketua umum. Padahal, sebelumnya, setiap kali prosesi pemilihan ketua umum di arena munas, selalu bersaing secara demokratis lebih dari satu calon.
Dalam munas luar biasa (munaslub) pada 9-11 Juli 1998, ada dua nama yang bersaing ketat untuk calon ketua umum: Akbar Tandjung dan Edi Sudrajat. Dan, akhirnya Akbar yang terpilih. Munas VII di Bali, Desember 2004, juga menghasilkan ketua umum baru yang terpilih secara demokratis. Yakni, Jusuf Kalla yang berhasil mengalahkan Akbar Tandjung. Pada Munas VIII di Riau, Oktober 2009, juga terjadi persaingan ketat saat pemilihan ketua umum. Yakni, antara Ical dan Surya Paloh. Akhirnya Ical yang menang.
Faktor lain penyebab konflik Golkar berkepanjangan dan kian panas adalah terkait dengan sikap pemerintah. Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Hamonangan Laoly memutuskan mengakui kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono. Tapi, sikap pemerintah itu dilawan para pengurus Golkar kubu Ical. Mereka menggugat keputusan Menkum HAM tersebut ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Dan, Rabu lalu (1/4) putusan sela diterbitkan. Hasilnya, PTUN melalui Ketua Majelis Hakim Teguh Satya Bhakti memerintahkan penundaan pelaksanaan surat Menkum HAM yang mengakui kepengurusan kubu Agung Laksono, hingga ada putusan tetap. Ada lobi-lobi politik antara kubu Agung Laksono dan Ical. Ada indikasi partai di Indonesia sudah tidak sehat. Apalagi kebanyakan partai hanya menjadi batu loncatan untuk mencapai kekuasaan yang lebih tinggi. Ideologi yang dibangun sebelum partai didirikan tidak lagi menjadi sasaran yang harus diwujudkan. Tujuan partai pun mungkin dilupakan karena mereka sibuk mengurusi perseteruan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Dibutuhkan ketegasan pemerintah untuk memutus rantai perseteruan d tubuh Golkar. dengan begitu Golkar bisa diselamatkan. Partai politik yang berseteru pun dapat tertolong.