"Mana Nancy?" tanyaku berusaha menginterogasi Lusi yang tertunduk gemetar di pos ronda komplek. Gadis berusia tiga belas tahun itu terlihat seperti tante-tante dengan bulu mata palsu, gincu merah merona dan bedak tebal. Aku nyaris tak mengenalinya, jika saja mantan muridku itu tak memanggil terlebih dahulu. Melihatnya dengan penampilan seperti itu, seperti membuka sebuah catatan kelam yang ditulis dengan darah dan air mata.
KEMBALI KE ARTIKEL