Namun begitu, saya masih dapat menyatakan pendapat saya bahwa, sebagai Ketua MK, Mahfud MD telah menjadi biangkerok bagi demokrasi liberal. Mengapa saya menyatakan pendapat saya ini,
1. Keputusan MK membuat Pemilu Legislatif pada Pileg 2009 dengan suara terbanyak
2. Keputusan MK menolak judicial review terkait pemusatan Kepemilikan Media.
Kita semua tahu bahwa Pancasila, sila ke-4 Kerakyatan yang diPimpin oleh Hikmah Kebijaksaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, artinya Kepemimpinan yang bijaksana bukan dengan Suara Terbanyak melainkan dengan Permusyawaratan Perwakilan.
Mengedepankan suara terbanyak berarti anda mengakui mayoritas minoritas dalam eksistensi kebernegaraan. Adapun Hakim MK, Arsyad Sanusi saat memutuskan pemilu legislatif dengan suara terbanyak antara lain menyatakan " , ..dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak."
Suara terbanyak melukiskan adanya mayoritas, adanya jumlah yang lebih banyak, kuantitas. Padahal pendirian negara Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak berlandaskan satu suku dan agama mayoritas telah menjadi titik tolak, titik filsafat Berdirinya Negara, dan keberlangsungan negara. Apabila pada masa pendirian Indonesia, golongan mayoritas Jawa berkehendak menjadikan Bahasa negara bahasa Jawa, bukan tidak mungkin..saat itu orang Jawa mayoritas, juga agama Islam. Tapi tidak dipilihnya negara agama dan bahasa Jawa adalah suatu kebijakan yang diambil oleh pemimpin berdasarkan musyawarah dan mufakat.
Penempatan nomor urut sebagai tolok ukur keterpilihan seseorang bisa tidak mengabaikan hak-hak warga negara yang memilihnya, apabila dijalankan demokrasi terbuka, dimana proses penempatan caleg di nomor urut juga melibatkan masyarakat. Kolektifitas adalah semangat dari Pancasila, dalam arti partai politik adalah pengejawantahan rakyat yang berorganisasi dan memperjuangkan kepentingan bersama.
Adapun terkait dengan judicial review UU Penyiaran yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen terkait pemusatan kepemilikan media dan bahayanya bagi kebebasan memperoleh hak informasi yang ditolak oleh MK. Dalam hal ini MK beranggapan bahwa pemusatan kepemilikan media (gurita penguasa media) monopoli media, dimana MK beranggapan bahwa UU tidak memiliki multi tafsir dan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur undang -undang ini, seperti dalil yang disampaikan termohon, baik terkait dalil monopoli informasi, ijin dan kepemilikan sebuah lembaga media.
Padahal realitasnya adalah, pemusatan kepemilikan media telah membuat media menjadi corong pengusaha atau pemilik, atau partai politik tertentu. Inilah liberalisasi informasi, dimana pemodal adalah penguasa media. Demokrasi Liberal selalu mengedepankan individu, maka individu pemilik modal yang bisa saja ketua umum partai akan serta merta memberitakan tentang partainya secara sepihak, menceritakan partai lain secara sepihak dan bagi MK itu tidak apa-apa...
Namun begitu, itulah MK dan Mahfud MD, namun dari semua ada hakim yang masih berpikir lebih baik yaitu hakim konstitusi Achmad Sodiki, yang menyatakan bahwa seharusnya permohonan dikabulkan karena para pemohon menuntut agar kebijakan tentang penyiaran yang mengarah pada pemusatan kepemilikan dan penguasaan monopoli ini dihentikan, atau setidak-tidaknya dimaknai lebih jelas dan adil.
maka demokrasi liberal yang pemilunya sarat money politik, tak lain tak bukan adalah buah pikir keputusan dari...