Rumput kebar [Biophytum petersianum Klotzsch] begitu tumbuhan liar itu disebut, berasal dari lembah Kebar yang tersohor di Manokwari, Papua Barat. Walaupun disebut rumput, perawakan tumbuhan ini jauh dari bentuk rumput yang kita kenal. Daunnya hijau agak membulat dan merupakan tumbuhan perdu.
Menurut penelitian Agnes Imbri dari Universitas Papua, rumput kebar dengan populasi tertinggi berada di daerah kebar tengah dan timur berasosiasi dengan tumbuhan perdu lainnya Paspalum conjugatum dan si ilalang Imperata cylindrica. Rumput kebar tumbuh pada tanah ber permeabilitas sedang dan PH tanah agak masam [5,6 – 4,6]. Syarat hidup lain dari rumput kebar, curah hujan rata-rata 2.383 mm/tahun dengan suhu 26,7 derajat Celsius dan intensitas matahari 64,87 lux pada ketinggian 500-600 m dpl.
Bagi yang sudah mengenal mithos rumput kebar,kemudian memesannya pastilah untuk tujuan agar “cepat” diberi keturunan. Biasanya buahtangan itu diberikan kepada rekan perempuan yang baru menikah atau bagi pasangan yang sudah lama menginginkan keturunan.
Ada juga mereka yang meminum ramuannya dan tidak pernah benar-benar membuktikan kasiatnya,alias hanya ikut-ikutan mithos orang Papua saja, “Yah, namanya juga usaha”, begitu suatu kali seorang teman berkomentar.
Mitos itu boleh jadi sebentar lagi akan runtuh oleh kegigihan seorang biolog dari Universitas Muhammadyah Malang. Adalah Sukarsono MSc yang awalnya tertarik kisah rumput kebar dari perbincangan rekan-rekan mitra KEHATI pada acara pertemuan “Belajar Bersama Masyarakat” [Loka tulis dan Shared Learning]. Ia pun berkeinginan menelitinya untuk membuktikan pengetahuan lokal dari Manokwari itu