Seseorang yang sangat dekat dengan saya bertanya, "Apa pekerjaan yang tepat untuk saya? Tolong carikan, adakah lowongan kerja untuk saya. Temanmu 'kan banyak."
Saya merenung, saya sengaja membuat jeda antara pertanyaan dia dengan apa jawaban yang akan saya berikan. Satu menit berlalu, saya masih belum menemukan jawaban yang pas untuknya. Dua menit berlalu, tiga menit. Hingga lewat 5 menit, saya putuskan untuk memberikan jawaban sementara sebagai obat penenang hatinya, dan dalam hati saya berjanji saya akan mencari jawaban terbaik untuknya.
Pencarian kerja, bingung akan lanjut kuliah atau berbisnis, tuntutan orang lain untuk kita kerja di perusahaan tertentu, permintaan agar menjadi PNS, belum lagi ketika harus berhadapan dengan Mafia CPNS, adalah rekaman-rekaman hidup yang biasa ditemui oleh para fresh graduate seumuran saya sekarang.
Saya bertanya-tanya dalam diri, mungkinkah saya ajak dia ke dalam dunia pengembangan diri seperti saya karena di sini saya menemukan apa yang saya cintai, alih-alih pekerjaan yang berat dirasa saya justru merasa terus berkarya dan meningkatkan kualitas potensi diri.
Ah, tapi tidak semua orang memiliki panggilan hati di sini.
Ada juga bidang-bidang lain yang dijalani oleh orang lain yang kadar kebahagiaannya bisa sama karena memang panggilan hatinya adalah di sana. Lalu, apa panggilan hati dia? Bagaimana agar saya mendengar apa suara hatinya? Bagaimana agar dia bisa mengakses suara hatinya?
Saya melamun, dan menyengajakan tidur dengan pertanyaan, "Apa yang harus dilakukan olehnya? Dan oleh mereka yang sedang kebingungan?"
. . . .
Dini hari saya terbangun, satu kalimat yang muncul sesaat setelah terbangun yang barangkali menjawab pertanyaan yang saya bawa sebelum tidur adalah "Saran terbaik selalu hadir dari apa yang pernah kau lakukan sendiri."
Bergegas saya pun bersiap menjawab pertanyaannya, gadget saya nyalakan. Setelah beberapa kalimat dengan mantap saya ketik, saya terhenti.
"Apa yang saya lakukan ketika saya kebingungan? Apa yang saya lakukan ketika berada di persimpangan?"
Memilih pekerjaan yang paling dicintai saat kita mengerjakannya memang jawaban termudah. "Kerjakanlah apa yang kau cintai" kira-kira seperti itu. Tapi bagaimana cara menemukan apa yang kita cintai?
. . . .
Saya buka buku, tidak bermaksud untuk mencari jawaban pertanyaan dia, hanya lebih ingin menjawab pertanyaan sendiri, "Proses apa yang saya lakukan ketika pencarian itu? Bisakah saya duplikasi kepadanya?"
Titik terang mulai muncul.
"Intuisi bukanlah mistik." Demikian ujar James Watson (pemenang Nobel dan rekan penemu DNA) suatu hari.
Jawabannya ternyata ada di dalam.
Dia bisa temukan keputusan apa yang paling tepat untuknya dengan mendengarkan intuisinya.
Kita hanya perlu menyempatkan diri untuk mendengarkan intuisi kita sendiri, sebelum mengambil keputusan. Untuk mengakses kebijakan intuitif kita, mungkin orang lain menyebutnya dengan bermeditasi. Tapi, kita juga dapat melakukan meditasi informal. Kuncinya adalah menyempatkan diri.
Saya biasanya melakukannya dengan mendengarkan gemericik air, atau mendengarkan suara khas bagaimana Bumi ini berputar ketika dini hari. Orang lain ada yang mengakses intuisinya dengan duduk di tepi air terjun, menatap lautan, mengamati awan berarak, memandang bintang, duduk di bawah pohon, merasakan hembusan angin, mendengarkan musik, joging, atau ketika menulis dalam catatan pribadinya.
Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan pada intuisi kita sendiri :
"Apa yang sebaiknya harus aku lakukan?"
"Apa aku sebaiknya menerima pekerjaan ini?"
"Bagaimana caranya?"
"Apa yang selanjutnya harus dilakukan?"
Biarkan intuisi kita menjawab, segera tuliskan jawaban yang hadir, dan tindak lanjuti. Bukan seberapa hebat jawaban yang muncul, tapi seberapa banyak kita melakukan jawabannya.
Akhirnya, selamat mengambil keputusan dengan melibatkan intuisi. Ini akan menjaga kita tetap berada dalam koridor "Value"; menjaga kita sehingga tidak bertabrakan dengan nilai-nilai diri, nilai-nilai orang lain, dan nilai-nilai universal.
Terima kasih, Salam.
___
Asep Saeful Ulum
Decision Support Analyst
Twitter : @UlumDSA