Setelah Orde Baru dan Peristiwa 1998, Indonesia mengawali babak baru di era Reformasi. Pemerintahan dipimpin oleh BJ Habibie sebagai presiden yang dimulai pada 21 Mei 1998-20 Oktober 1999. Masa pemerintahan Habibie dianggap sebagai masa transisi, karena pada masa pemerintahannya adalah masa yang rawan. Tekanan-tekanan yang ia hadapi membuat ia sulit untuk menemukan sumber daya material dan manusia pada masa pemerintahannya. Habiebie memulai memulai masa jabatanya dengan suatu reputasi yang membuatnya tidak dipercayai aktivis mahasiswa, militer, sayap politik utama, pemerintahan asing, investor luar negeri, dan Perusahaan internasional. Habibie tidak hanya mendapat perlawanan dari oposisi di luar parlemen tetapi ia juga harus menghadapi manuver-manuver dari kubu nasionalis maupun tentara dalam tubuh Golkar, yang ingin menyingkirkannya melalui Sidang Istimewa MPR. Mandat reformasi dan demokrasi disuarakan oleh oposisi di luar parlemen dan mahasiswa. pemerintahan BJ Habibie sering dianggap sebagai pemerintahan yang kurang kuat di dalam menghadapi reformasi. Kurangnya dukungan komunitas politik membuat pemerintahan pada masanya mengalami berbagai praktik kekerasan, disintegrasi sosial dan rapuhnya legitimasi kekuasaan yang ia pimpin.
Dilansir dari Sejarah Indonesia Modern MC Ricklefs, meski banyak menerima tekanan dari berbagai sisi, pemerintahan pada zaman Habibie dinilai begitu baik. Selama 17 bulan menjabat sebagai presiden ia menjamin adanya masyarakat yang lebih demokratis, terbuka dan adil. Ada jaminan di dalam sistem demokrasi yang ia jalankan seperti kebebasan pres, adanya pemilu multipartai, dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Prestasinya yang patut dibanggakan, salah satunya yaitu menurunnya nilai dolar hingga Rp 10.000 per 1 dollar AS. Hal yang paling penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah lepasnya Timor-Timur pada tahun 2002, yang diawali dengan peristiwa munculnya referendum Timor-Timur pada tanggal 30 Agustus 1999. Peristiwa lepasnya Timor-Timur menimbulkan kerusuhan yang tidak terkendali. Hingga akhirnya Habibie mengizinkan pasukan perdamaian PBB untuk mendamaikan situasi di Timor-Timur. Menurut Habibie, siapa pun yang menjadi Presiden pada saat seperti itu tidak dapat melakukan hal-hal sesuai dengan kehendaknya. Dia harus membuat keputusan berdasarkan keadaan. Indonesia akan terpecah jika tidak dilakukan. Ketidakstabilan politik seharusnya tidak lagi menjadi masalah di Indonesia, seperti yang terjadi antara tahun 1947 dan 1950. Namun jika mengingat krisis yang melanda Indonesia dan posisi pribadinya, capaian dalam pemerintahan Habibie tergolong sangat besar.
Kebijakan pertama Habibie setelah dilantik sebagai Presiden pada 21 Mei 1998 adalah mengumumkan dan meresmikan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan, pada 22 Mei 1998. Total ada 36 menteri, termasuk 20 menteri yang membawahi kementerian, 12 menteri negara, dan empat menteri yang membidangi koordinasi. Kabinet itu terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, Pokja, ABRI, unsur daerah, ulama, dan lembaga swadaya masyarakat, dan mencerminkan kekuatan bangsa.
Â
Habibie pun mengambil keputusan untuk menarik Bank Indonesia dari kabinet. Tujuannya adalah agar BI menjadi organisasi mandiri yang mampu membuat keputusan kebijakan yang sehat tanpa perlu keterlibatan politik. Selanjutnya, negara tidak boleh lagi meminjam uang dari BI dan harus mengandalkan pasar modal. Inilah rencana Habibie untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan mengakhiri krisis moneter. Habibie juga menjaga kebebasan berekspresi dan mendukung DPR/kredibilitas. MPR Dengan pengertian bahwa rakyat bebas mengungkapkan pikiran dan berdemonstrasi. Pers juga diberi ruang dan waktu untuk mengekspresikan diri. Tahanan politik telah dibebaskan, dan tidak seorang pun boleh dipenjarakan karena memiliki pandangan yang berbeda dengan presiden. Dinasti Golkar dibubarkan, dan personel sipil tidak lagi diperlukan untuk memilih Golkar, memperkuat legitimasi DPR/MPR. Langkah selanjutnya adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membentuk partai politik yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau aturan MPR.
Â
Fenomena inflasi di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi di masa krisis berada pada angka -13,6% dan laju inflasi pada tahun 1998 berada di angka 77,6%. Inflasi yang tinggi sangat berdampak pada pertumbuhan perekonomian Indonesia karena sangat berkaitan dengan daya beli masyarakat serta stabilitas ekonomi makro. Perkembangan inflasi yang meningkat di suatu negara akan memberikan hambatan pertumbuhan terhadap ekonomi untuk menjadi lebih baik, kebijakan pemerintah sangat diperlukan dalam mengatasi inflasi yang cukup tinggi untuk menjadikan perekonomian lebih baik dan krisis ekonomi tidak terjadi lagi akibat tingginya inflasi.
Â
Kebijakan dan strategi yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan cara melakukan likuidasi perbankan. Pada awal pemerintahan reformasi menghadapi kondisi perbankan yang lemah dimana Sektor perbankan tidak berfungsi sebagai intermediasi aliran dana karena banyak ditemukan bank-bank yang bermasalah. Pemerintah melakukan likuidasi terhadap 38 bank, mengambil alih 7 bank dan melakukan rekapitalisasi 9 bank. Program tersebut diawasi langsung oleh Badan penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hal tersebut dilakukan agar semua proses tersebut dapat berjalan dengan lancar, tidak terjadi sebuah penyalahgunaan tabungan dari nasabah dan juga hal tersebut dapat meningkatkan kepercayan masyarakat terhadap bank-bank yang beroperasi. Program likuidasi ini berdampak pada peningkatan investor asing yang mulai kembali melakukan kegiatan ekonominya dan juga melakukan beberapa pengambilalihan saham-saham bank. Selain dapat meningkatkan investor asing program likuidasi ini juga berdampak pada penguatan nilai rupiah serta dapat mengendalikan tingkat inflasi.
Â
Semasa menjabat sebagai Presiden, Habibie percaya bahwa ada tiga faktor utama yang paling penting mengenai pendekatan Indonesia terhadap urusan internasional. Pertama, ada kebutuhan untuk memahami bahwa 'kebangkitan bangsa' telah terjadi. Kedua, tidak ada jalan keluar dari fakta bahwa terdapat perhatian yang besar terhadap hak asasi manusia beserta nilai-nilainya, dan hal tersebut dianggap sebagai tanggung jawab integral bagi rakyat dan negara Indonesia. Ketiga, pandangan bahwa umat manusia berada dalam posisi untuk mengendalikan dan mengembangkan aspek fisik dan non-fisik dari kekuasaan. Dalam konteks ini, hubungan luar negeri Indonesia harus dilakukan dengan batas-batas parameter tersebut.
Â
Era reformasi  telah  memberikan  ruang  yang  cukup  besar  bagi  perumusan  kebijakan-kebijakan  pendidikan  baru  yang  bersifat  reformatif  dan  revolusioner.  Bentuk  kurikulum menjadi  berbasis  kompetesi  begitu  pula  bentuk  pelaksanaan  pendidikan  berubah  dari sentralistik. ada saat itu pemerintah menjalankan amanat UUD  1945  dengan  memprioritaskan  anggaran  pendidikan  sekurang-kurangnya  20%  dari anggaran  pendapatan  belanja  negara.  Berdasar  pada  UU  No.  20  tahun  1999  tentang pemerintahan  daerah,  yang  kemudian  diperkuat  dengan  UU  No.  25  tahun  1999  tentang perimbangan  keuangan  pusat  dan  daerah,  maka  pendidikan  digiring  pada  pengembangan lokalitas  dimana  keberagaman  sangat  diperhatikan,  masyarakat  dapat  berperan  aktif  dalam pelaksanaansatuan Pendidikan. endidikan  di  awal  era  Reformasi  1999  mengubah  wajah  sistim  pendidikan  Indonesia melalui  UU  No.  22  tahun  1999,  dengan  ini  pendidikan  menjadi  sektor  pembangunan  yang kemudian  di  desentralisasikan.  Pemerintahmemperkenalkan model "Manajemen Berbasis Sekolah".  Sementara  untuk  mengimbangi  kebutuhan  akan  sumber  daya  manusia  yang berkualitas, maka dibuatlah sistem "Kurikulum Berbasis Kompetensi".
Â
Mengenai masalah Timor Timur, jelas bahwa Presiden Habibie adalah penggerak utama dalam memberikan orang Timor Timur pilihan integrasi atau kemerdekaan karena Habibie tidak menginginkan persoalan Timor Timur tetap menjadi beban bagi Indonesia di masa mendatang. Aneksasi Indonesia terhadap Timor Timur dan integrasinya ke dalam Republik Indonesia pada tahun 1976, setelah kepergian pemerintahan kolonial Portugis, tidak pernah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mayoritas anggotanya. Hal ini menjadi penghalang utama dalam hubungan internasional Indonesia dan sangat mencoreng citra negara, khususnya di negara-negara Barat.
Â
Tawaran otonomi khusus dalam wacana ke-indonesia pertama kali dimunculkan oleh presiden Habibie di timor timur, baru kemudian menyusul ditawarkan di provinsi daerah Istimewa acah dan provinsi papua. Namun di timor timur tawaran otonomi khusus ini ditolak oleh rakyat timor timur. Kebijakan Habibie terhadap timor timur tidak begitu mendapatkan dukungan dari kalangan politik nasional. Badan pengawas pelaksanaan reformasi total (Bappertal) menilai kebijakan Habibie mengenai timor-timur adalah kebijakan yang dadakan yang tidak tepat waktu, ketentuan yang harus diterima MPR, tanpa prosedur, dan tanpa mekanisme yang jelas. Beppertal mengkritik Habibie karena Keputusan melepas Timor Timur belum dikonsultasikan lebih dalam dan terbuka dengan pihak DPR atau MPR.Referendum yang menawarkan kepada penduduk timor-timur pilihan antara otonomi dalam Indonesia atau kemerdekaan dipastikan dengan satu perjanjian antara Menteri luar negeri, sekertaris jenderal PBB, Menteri luar negeri Portugal, di new York, pada 5 mei 1999. ABRI memberikan dasilitas terhadap serangan-serangan kelompok milisi timor timur yang pro-indonesia seiring meningkatnya suhu politik.Â
Â
Referendum timor timur terjadi pada 30 agustus 1999, secara hampir penuh damai dan tenang. Hal tersebut karena dilakukan pengamanan ketat oleh TNI dengan menyiapkan pengawalan bagi tamu-tamu asing yang akan datang. Namun sebelum referendum ini diumumkan terjadi terror oleh kaum milisi pro Indonesia yang menurut laporan, dibantu oleh ABRI yang berpakaian preman.terjadi pembunuhan terhadap orang-orang prokemerdekaan, perusakan fasilitas umum, dan Tindakan anarkis lainnya. Habibie memberlakukan hukum darurat perang terhadap timor timur, namun ia tidak memiliki kendali atas peristiwa yang terjadi disana.
Â
12 september 1999, Habibie tunduk terhadap amarah internasional yang telah memuncak dan setuju untuk memberikan izin masuk terhadap pasukan perdamaian PBB ke timor timur. kemudian dimulailah masa transisi di bawah PBB menuju kemerdekaan timor timur.
Sejak beralihnya pemerintahan Presiden Suharto pada tahun 1998, dibawah pemerintahan Presiden Habibie, Indonesia memulai perjalanannya menuju demokrasi. Legitimasi kebijakan Habibie pada masa pemerintahannya cenderung lemah karena adanya transformasi pemerintahan secara transisi, kritik dari berbagai pihak nasionalis. dan oposisi Habibie pada saat itu. Berbagai masalah dari mulai inflasi, kerusuhan, aksi separatis, serta masalah lainnya membuat Habibie yang naik sebagai presiden Indonesia setelah soeharto harus mewarisi dan memikirkan cara untuk mengakhiri semua masalah tersebut. meskipun menempati jabatan dengan waktu yang cukup singkat namun dilain sisi, ia juga terbukti memiliki semangat demokratis yang tinggi. Meskipun banyak yang menganggap kebijakan-kebijakan Habibie sebagai kebijakan yang kontroversial dan menimbulkan berbagai perbedaan pendapat pro dan kontra terutama masalah yang berkaitan dengan lepasnya wilayah timor timur dari indonesia, kebijakan-kebijakan tersebut telah mengajarkan banyak pengalaman dan menjadi sebuah pembelajaran bagi bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka:
Agung Setiawan, Eti Yusnita, Hatta Azzuhri, "Model Keputusan Politik Rezim Teknokrat Di Indonesia (Studi Pada Periode Presiden B.J Habibie)", JSIPOL, Vol.1 No.2, October 31, 2022
Anwar, D. F. (2010). "The Habibie Presidency: Catapulting Towards Reform." s.l.:ANU Press.
Cordula Maria Rien Kuntari, (2008). "Timor Timur Satu Menit Terakhir: Catatan Seorang Wartawan" (Bandung: Mizan),
Huda Ni'matul. "Tawaran Otonomi Khusus yang Ditolak di Timor Timur". Nusamedia.
Nindi Safitri Mamonto. (2017). "Perkembangan   Pendidikan   Zaman Reformasi." Academia.Edu.
Riclefs, Merle Calvin. (2005). "Sejarah Indonesia Modern 1200-2004". (Jakarta: Serambi).
Singh, B. (2000). "Habibie's Foreign Policy in Succession Politics in Indonesia: The 1998 Presidential Elections and the Fall of Suharto." London: Macmillan Press.
Wijaya, A. M., Marjono, & Sugiyanto. (2020). "The Role of President B.J. Habibie In Overcoming Economic Crisis In Indonesia In The 1998- 1999." Historica.