Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Menemanimu Menanti Mati

6 September 2011   18:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:11 196 4
Ku rapihkan rambutmu anakku sayang. Karena aku tahu kau takkan mampu mengangkat tanganmu lalu mengelus-elusnya. Ku ciumi kau sampai kau merasa sudah tidak suka. Tidak terasa airmata membasahi pipiku. Kau diam saja memandangiku, dan aku tahu kau tak bisa jelas memandang aku karena pengelihatanmu cukup kabur. Bibirmu mengatakan sesuatu tetapi aku tak mengerti kau bicara apa.

Kenapa penyakit itu terlalu cepat mengrogotimu? Baru beberapa bulan yang lalu kau tak bisa lagi berjalan. Dilanjut lagi kau sudah tidak bisa melihat. Dan yang terakhir kau tak bisa mendengar. Yang aku lihat dirimu sekarang tak mampu apa-apa. Kau bagai mayat hidup di atas kasur lusuh ini.

“Kak…?”

Kau diam saja tetapi memandangi aku. Aku kembali lagi menangis, aku lihat jemarimu seperti ingin menggapai aku , namun apa? Kau tak mampu. Sampai harus aku yang mengangkat tanganmu mendekat pada pipiku. Puas nak? Rasakanlah pipi Ibumu ini yang mulai menua. Kak, Ibu rindu kamu! Kak, beberapa minggu yang lalu kau masih mampu berkata-kata padaku mengenai cita-citamu.

“Bu….. Pooo….pokoknnyyaaa…. ka…kakaaak… mauu….jadiiiii…… do…doo…kter…..” Kata-katamu terbata.

Sekarang apa? Kau tak mampu apa-apa. Penyakitmu mematikan pergerakanmu, kau kehilangan kendali atas fungsi tubuhmu. Penyakitmu pun mematikan pengharapanku. Pengharapanku yang dimulai sejak aku tahu bahwa kau akan hadir ke dunia ini. Semua karena Ataksia! Ataksia penyakitmu!

Kak, lihat Bapakmu di sana. Dia berlelah-lelah untuk kita. Tabungan yang dulu ingin dia buatkan rumah sekarang lenyap untukmu, Kak. Dia tak mengeluh dan memang sama sekali tidak. Dia selalu menciumi aku dan kau di malamnya. Tanpa ada kesal sedikit pun. Semua dia lakukan untuk kita, kak. Sekarang pun dia sudah bekerja jadi kuli bangunan. Kak… Kakak tahu? Bangunannya menjulang tinggi sampai ke angkasa.

Uneg-uneg di dalam hati terhenti seketika begitu aku merasakan basah di tempat tidurmu. Ku lihat kau diam dan tetap tak berkutik.

“Kakak pipis?”

Ku rapikan dirimu yang terlihat seperti hewan saja. Tak mampu berpikir? Bukan! Kau tak mampu melakukan apa-apa. Aku masih ingat perkataanmu sewaktu penyakitmu masih memperbolehkanmu bicara.

“Bu… ka…kaaaloooo…. Nannnntiiii makiii…nnnnn….. para…..aahhhh….. berarti akuuu…… gaaa….bisaa…. apa-apaaa…….. Buuuu…… kakakkkk….. taaaakkkaaan…… bisaaaa….. melakukaaaannn…..apa yang……kakakkkkk…… maaaauuuuu…….”

Hancur hatiku mendengarnya, Kak. Melebihi dari yang namanya puing-puing. Seharusnya kau kuliah… Umurmu sudah 20 tahun tetapi aku seperti merasa punya anak bayi kembali. Seharusnya kau mengetik sesuatu di Laptopmu. Tapi apa? Laptopmu pun telah terjual karena penyakitmu.

Tiba-tiba terdengar olehku suara mobil di depan rumah. Aku segera keluar melihatnya. Ku lihat beberapa orang membopong sesuatu. Dan……

“Aaaaarrrrrrggghhhhh!!!!!!!!!!!!” Aku memekik sekeras mungkin melihat wajahnya! Kakak, bapakmu…

Aku ambruk dari kesedihan paling nadirku. Gelap yang kurasa…
===

Begitu aku sadarkan diri. Aku mendengar cerita itu. Mengenai bapakmu yang terjatuh dari ketinggian saat bekerja. Kak, Ibumu ini melihatnya. Melihat kehancuran di tubuh itu. Tapi apa? Kau tetap di dalam kamar tanpa berniat ingin keluar menemui bapakmu terakhir kali. Tapi begitu aku menoleh ke kamar, aku melihat engkau menangis dan airmatamu sudah begitu banyak di pipi. Kau tak mampu mengelap airmatamu.

Aku beranjak dan mendekatimu yang tergugu dalam tangis. Ku usap airmatamu dengan pelan dan ku bisikan sesuatu ke telingamu tentang cinta.

Malam menyapa kita berdua dalam kehancuran. Malam pertama tanpa Bapakmu. Ku lihat sekelilingku. Aku menyadari kehancuranku ini dan ketidak layakanku ini. Hei! Besok-besok masih ada lagi maut akan menyapa.

Kupandang dirimu kakak. Dan aku bersujud di hadapanmu ditemani bulir-bulir airmata di pipiku.

“Kumohon, kak. Jangan tinggalkan Ibumu ini… Ibu akan lebih rapuh lagi tanpamu…” Jeritku kencang tetapi kau diam tak memberi tanggapan apa-apa untukku.

Tapi apa coba? Penyakit Ataksiamu lebih mengrogotimu lagi sampai aku merasa memang akan kehilangan dirimu suatu saat. Ya, suatu saat bukan sekarang. Maka itu aku akan menunjukkan kecintaanku padamu lebih lagi walau takdir jelas tergores di wajahmu akan menyapa tamatmu sebentar lagi.Aku akan tetap menemanimu menanti ajal. Menanti matimu. Dan aku pun tinggal sendiri di dunia ini akan melebihi dari yang namanya mati.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun