Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Menelusuri Jejak Wali Majapahit; Resensi Buku dari Majapahit Menuju Pondok Pesantren

8 Agustus 2022   22:47 Diperbarui: 8 Agustus 2022   23:02 1530 0
Identitas Buku:
Judul Buku: Dari Majapahit Menuju Pondok Pesantren (Babad Pondok Tegalsari)
Penulis: Drs. Haris Daryono Ali Haji, S.H., M.M.
Tebal Buku: 322 halaman
Penerbit: Penerbit Elmatera Yogyakarta
Tahun Terbit: 2018


Majapahit adalah kerajaan mahabesar yang menguasai sebagian besar wilayah Nusantara, bahkan merambah ke beberapa wilayah Asia Tenggara. Agama yang dianut oleh Maharaja adalah sekaligus sebagai agama utama negara/kerajaan. Raden Wijaya, sebagai pendiri dan peletak dasar kebesaran Majapahit, hingga turun temurun ke Raja-Raja setelahnya tidak ada yang menganut agama Islam. Kecuali (mungkin), Raja terakhir yang bergelar Brawijaya V konon telah di Islamkan oleh Sunan Kalijaga menjelang akhir masa pemerintahannya.
Dengan latar belakang suasana kerajaan seperti ini, maka sesungguhnya sangat mengherankan melihat Islam bisa tersebar luas di wilayah kerajaan. Para wali sebagai pendakwah utama Islam di Nusantara nyaris bebas tanpa hambatan dari pemerintah kerajaan dalam menyebarkan ajaran agamanya.9
Dalam sebuah negara demokrasi modern saja, bukan perkara mudah untuk mendakwahkan  sebuah ajaran "agama baru". Faktanya, Indonesia pun sebagai sebuah negara hanya mengakui 6 agama saja. Apalagi proses dakwah ini berjalan di dalam sebuah wilayah yang negara beserta seluruh isinya adalah milik kerajaan, milik raja.
Buku ini menyingkap tabir sejarah, menjawab pertanyaan kenapa penyebaran Islam di tanah Nusantara, utamanya di Jawa era Majapahit berjalan dengan lancar dan nyaris tanpa hambatan? Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sulit dijawab. Anggapan umum menjawab sekelumit pertanyaan ini dengan jawaban berkat kesaktian atau kelinuwihan para wali yang berddakwah di Nusantara.
Bahwa para wali penyebar Islam adalah orang-orang pilihan, sosok yang linuwih memang tidak terbantahkan. Tetapi buku ini menyajikan fakta historis lain yang seakan menjadi jawaban tak terpikirkan oleh khalayak umum.
Cerita dimulai bahwa Raden Wijaya, sosok pendiri Majapahit adalah keturunan dari Dyah Lembu Tal, permaisuri dari Prabu Pamekas atau juga memiliki nama lain Rahiang Niskala Wastu Kencana, Raja Pajajaran yang memerintah mulai tahun 1233 M. Raden Wijaya memiliki saudara seayah lain ibu bernama Arya Bangah yang harusnya naik tahta menggantikan Prabu Pamekas di Pajajaran, namun karena terjadi huru hara di kerajaan, memaksa Arya Bangah lari ketimur mencari suaka politik kepada saudaranya yang saat itu telah menjadi raja di Majapahit.
Singkat cerita, Arya Bangah kemudian dikawinkan dengan anak Raden Wijaya yang bernama Dewi Sekar Kemuning, selanjutnya Arya Bangah beralih nama menjadi Arya Panoelar I. Ada tambahan I (satu) pada namanya, karena selanjutnya akan ada anak keturunannya yang memakai nama yang sama dengan urutan I-IV, yang menjadi generasi Patih dan Adipati di Majapahit.
Perlu diketahui, sebelum lari ke Majapahit, Arya Bangah ini telah di Islamkan terlebih dahulu oleh tokoh bernama Haji Tang di Pajajaran. Sehingga generasi keturunan Arya Bangah atau Arya Panoelar 1 ini adalah bangsawan-bangsawan keraton Majapahit yang beragama Islam. Hingga sampai pada suatu masa, bangsawan keturunan Arya Panoelar ini melahirkan putra-putra yang tidak mau lagi menapaki jalan kebangsawanan, namun lebih memilih menjadi kyai atau ulama yang sepenuhnya mengabdikan hidupnya sebagai pendakwah dan penyebar Islam di wilayah Kerajaan Majapahit.
Salah seorang keturunan Arya Panoelar I yang mungkin paling dikenal oleh kalangan ulama Islam adalah Syeh Abdul Mursyad Kediri, yang kemudian menurunkan juga Kyai Anom Besari sebagai leluhur Kyai Ageng Muhammad Besari Tegalsari Ponorogo, dan Juga Kyai Basarudin yang pesareannya berada di belakang Gunung Mbolu Tulungagung.
Jadi, selain dakwah yang dilakukan oleh para wali, di dalam internal pemerintahan kerajaan itu sendiri pun telah terjadi "infiltrasi" dan atau Islamisasi yang dilakukan oleh saudara sekaligus menantu dari Maharaja Majapahit Dyah Sanggramawijaya, atau Raden Wijaya, dan anak keturunannya.
Buku ini juga berhasil menyingkap jejak makam para tokoh yang disebut diatas, sekaligus juga mengabarkan dimana sebenarnya makam dari Mahapatih Gajahmada, yang pada masa tuanya dia sebut berganti nama menjadi Ki Ageng Tukum,, akibat intrik politik di Majapahit setelah peristiwa perang Bubat yang menciderai karirnya yang gemilang. Tukum sendiri adalah nama sebuah desa yang berada diwilayah Kediri, dekat dengan Pabrik Gula Mrican, Kota Kediri.
Melalui gaya bahasa yang mudah dicerna oleh semua kalangan, buku ini juga menjabarkan istilah-istilah yang justru selama ini belum saya fahami. Semisal kenapa seseorang "hanya" bergelar Kyai, saja, sementara ada yang lain bergelar Kyai Ageng. Sebelumnya saya berasumsi bahwa Kyai Ageng adalah Kyai Besar, semacam Imam Besar yang sempat digaungkan oleh FPI beberapa tahun belakangan. Namun ternyata, Kyai Ageng adalah akronim dari Kyai (ulama/tokoh agama Islam) yang menjadi pemangku/pejabat/pengageng (Ageng) dari sebuah wilayah perdikan anugerah kerajaan.
Tentang gelar ini dijelaskan merujuk pada gelar Kyai Ageng Mochammad Besari, yang menjadi ulama sekaligus lurah atau pengageng dari tanah perdikan Tegalsari anugerah dari Kasultanan Mataram Surakarta, karena jasa-jasa beliau dalam memadamkan huru hara kerajaan yang mengakibatkan Pakubuwono meninggalkan tahtanya.
Sebagai sebuah karya yang menuliskan peristiwa sejarah, buku ini terbilang sangat lengkap menampilkan data-data historis, termasuk referensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Masih juga dilengkapi tabel-tabel yang memudahkan pembaca memahami urutan silsilah mulai dari Raden Wijaya hingga Kyai Ageng Mochammad Besari, beserta keturunannya yang telah menyebar menjadi cikal bakal pondok-pondok pesantren besar dan tua di Nusantara.
Kalaupun toh ada kekurangan dari buku ini adalah kurang luasnya pembahasan pada masa jayanya Pondok Pesantren Tegalsari, dan bagaimana kebesarannya mempengaruhi proses penyebaran Islam di abad ke 18 an. Namun kekurangan itu mampu ditutupi dengan data silsilah keturunan Tegalsari yang telah menyebar ke seantero Nusantara, bahkan hingga ada yang menjadi Raja di Selangor, Malaysia dan meninggalkan keturunannya hingga sekarang.
Walau bagaimanapun, sebagai pembaca saya sangat mengapresiasi dan berterimakasih kepada Drs. Haris Daryono Ali Haji, berkat karyanya ini cakrawala pengetahuan saya akan perjalanan dakwah Islam di Nusantara menjadi terbuka luas. Banyak segi yang sebelumnya tidak saya fahami, kini menjadi gamblang setelah membaca buku ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun